Zaman Keemasan, Zaman Kecemasan

Seabad kebangkitan nasional Indonesia yang diperingati pada 20 Mei 2008 masih menyisakan tanda tanya. Mengapa tonggak sejarah kebangkitan bangsa itu berpijak pada kelahiran organisasi Budi Utomo?

Kelahiran Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908 adalah sebuah terobosan kultural-intelektual yang penting bagi sebuah suku yang kebetulan berjumlah mayoritas dibandingkan dengan suku-suku lain, yaitu suku Jawa. Jasa tokoh-tokoh seperti Dr Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo dengan gagasan pencerahannya bagi suku (bangsa) Jawa tentu punya makna.
Namun, di tangan para priyayi yang menjabat sebagai bupati, jaksa, dokter, mantan letnan pada legiun Pakualam Yogyakarta, tentu orang tidak boleh berharap bahwa organisasi ini akan mengkritik tatanan kolonial, betapa pun menghisapnya.
Dalam Anggaran Dasar BU, ditetapkan di Yogyakarta pada 9 Oktober 1908, pasal 2 berbunyi: “Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Tetapi harus dikatakan bahwa sebelum tahun 1920-an, memang tidak ada organisasi mana pun di nusantara yang sudah menggagas tentang kemungkinan munculnya sebuah bangsa yang kemudian bernama Indonesia yang tegas dengan watak nasionalnya.
Sejak lahirnya BU sampai 31 tahun kemudian, organisasi ini tidak pernah mau mengakui bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Gerakan ini juga sangat eksklusif dan tidak mau menerima anggota dari luar Jawa serta menginginkan bahasa Jawa atau Belanda sebagai bahasa nasional. Masalah ini membuat kesal beberapa tokoh pejuang nasional pada waktu itu dan menganggap bahwa gerakan BU adalah gerakan kebudayaan kejawen tulen yang menafikan peranan orang luar Jawa.
Nuansa jawanisme 5 Oktober tahun itu juga dilangsungkan Konggres Nasional Jawa yang diketuai oleh Wahidin. Konggres memutuskan, mendirikan perkumpulan BU, seperti yang telah ada di Jakarta dan diketuai oleh R.A.A Tirtokusumo.
Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, merupakan suatu pengabaian terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang lahir terlebih dahulu dari BU, yakni pada tahun 1905 --yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka-- tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.
Pada 1912, sekelompok kecil orang-orang Islam di Indonesia dengan dipelopori oleh Tamar Djaja, mengemukakan bahwa SDI didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905, dan Sarekat Islam (SI) persis setahun kemudian. Pendiri SDI, Kiai Haji Samanhoeddhi, mengemukakan pendapat yang sama. Kelompok tersebut selanjutnya menuntut agar 16 Oktober 1905 haruslah diakui sebagai permulaan kebangkitan nasional Indonesia. Namun pemerintah malah memutuskan hari kebangkitan nasional jatuh pada 20 Mei 1908, sebagaimana hari berdirinya BU.
Keberadaan BU kala itu --yang belum berpikir tentang Indonesia tentu perlu dikaji ulang, apakah pantas ditetapkan sebagai awal kebangkitan nasional atau kita cari dasar yang lebih kokoh, misalnya berpijak pada kelahiran SDI 16 Oktober 1905 atawa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928?
Bahwa BU telah berjasa dengan caranya sendiri, tak seorang pun dapat menyangkal. Begitu juga gerakan pemuda kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumateranen Bond, dan Jong Islamieten Bond dalam kapasitasnya masing-masing tentu telah pula berjasa dalam upaya penyadaran dan pencerahan kelompok masing-masing dalam suasana kolonial yang masih mencekam.
Dengan sumpah pemuda, semua gerakan kedaerahan ini meleburkan diri dan bersepakat mendeklarasikan trilogi pernyataan yang menyebut tumpah darah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah ini didukung oleh berbagai anak suku bangsa dan golongan. Jadi, biar tongggak kebangkitan nasional tak “rapuh”, maka selain pilihan bagi awal kelahiran dan kebangkitan sebuah bangsa Indonesia didasarkan pada kelahiran SDI, juga representatif didasarkan pada sumpah pemuda.

Zaman Kecemasan

Tafsir kebangkitan nasional mengacu pada masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, nasionalisme, dan kesadaran memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang tidak pernah muncul selama masa penjajahan. Kala itu ketika gerakan menuju kebangkitan bangsa semarak. Pantas disebut zaman keemasan. Zaman di mana kekuatan moral untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan itu menyeruak. Sekali lagi, bermula dari SDI hingga sumpah pemuda.

Kini, keadaan telah berubah menuju kebangkrutan, Indonesia berada pada titik nadir kecemasan. Jika dulu kita memiliki musuh bersama bernama penjajahan maka kini kita memiliki musuh bersama bernama kemiskinan, pengangguran, hutang, korupsi, lemahnya penegakan hukum, lemahnya perekonomian dan keadaan politik-keamanan yang rentan.

Belum lagi soal bencana ekologi. Di hulu, kawasan pemasok air, hutannya terus mengalami penggundulan hingga 2,7 juta hektar pertahun. Di hilir, ekosistem mangrove terus mengalami penyempitan hingga menyisakan kurang dari 1,9 juta hektar sepanjang pesisir Indonesia. 75% dari 12.000 varietas padi lokal musnah sehingga memaksa petani untuk tergantung pada pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan lintas negara. Walhi memperkirakan, seluruh hutan alam dataran rendah Indonesia akan musnah pada tahun 2022.

Bencana ekologis mengkhawatirkan karena tahun 2006-2007 tercatat telah terjadi 840 kejadian bencana yang telah menelan korban 7.303 jiwa meninggal dan 1.140 dinyatakan hilang; sedikitnya 3 juta orang menjadi pengungsi dan 750 ribu unit rumah rusak atau terendam banjir.

Sementara hasil sumber daya alam dari laut Indonesia kerap dicuri negara lain. Sekitar 2-4 jutan ton ikan dari perairan Indonesia telah dicuri. Dan itu telah berlangsung hingga 15 tahun terakhir ini. Jika ini tidak diatasi, maka pada 2015 Indonesia akan mengalami krisis ikan. Perusahaan lintas negara juga telah menguasai lebih dari 90% ladang-ladang minyak dan gas bumi Indonesia. Sementara total bumi produksi gas bumi dan lebih dari 80% batu bara pertahun diekspor.

Hasilnya, tahun 2007 lebih dari 37 juta orang masih berada pada kategori miskin dan angka pengangguran masih berada pada kisaran 10%. Beban utang Indonesia pun sudah hampir menyentuh angka Rp 900 triliun untuk outstanding Surat Utang Negara (SUN), termasuk beban utang luar negeri yang pada triwulan kedua tahun 2007 sudah mencapai US$ 79 miliar.

Lantas, bagaimana kita mempertahankan bangsa dari amuk ribuan persoalan dan jatuhnya moral para individu? Salah satunya adalah mulai melirik kembali sejarah untuk memunculkan semangat baru: bangkitnya akal budi, hormat pada aturan dan moral, serta sepenuhnya merdeka bagi setiap orang.

Membangun Indonesia ke depan harus mengutamakan pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang berdasarkan pada semangat dan jiwa kebangsaan. Semangat dan jiwa kebangsaan adalah antitesis dari cara berpikir, bersikap dan berperilaku individual atau perorangan, kedaerahan, kepartaian, golongan, aliran dan antitesis dari cara berpikir, bersikap dan berperilaku kolonial. [OI, Perspektif, Edisi 100 / Tahun II / Tanggal 19 Mei - 25 Mei 2008]


Label:

0 komentar: