Menengok Kembali Pancasila dan UUD 1945

Era reformasi, yakni sebuah tahapan transisi dari orde baru ke orde yang lebih baik, to reform, bak jalan di tempat. Sepuluh tahun usia reformasi hanya memunculkan teriakan-teriakan “memajukan” Indonesia dan rakyatnya yang begitu lantang terdengar: dari forum-forum diskusi, seminar-seminar, rapat-rapat para eksekutif-legislatif-yudikatif, hingga berbagai pelatihan yang melibatkan birokrasi pemerintahan. Namun, sepertinya tahapan to reform ini tidak mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kehidupan berbangsa dan bernegara tampak kian sulit: dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.


Dari segi politik, orang sudah segan bicara tentang Pancasila. Para pemimpin Indonesia, dari presiden hingga para kepala desa, sudah jarang menyebut-nyebut kata “Pancasila” selama memimpin pemerintahan di era reformasi. Maka, tak ayal, jika pada hari kelahiran Pancasila, 1 Juni, seolah tak lagi menjadi hari bersejarah: sepi tanpa perayaan dan pekikan Pancasila sakti. Komitmen pemimpin Indonesia sekarang pada Pancasila, seperti yang diamanatkan Bung Karno pada 1 Juni 1945, layak dipertanyakan.

Pancasila yang bisa dimaknai sebagai ideologi bangsa yang antikapitalisme dan antineoliberalisme, berdasarkan demokrasi politik-ekonomi-sosial, telah dikhianati oleh para pemimpin negeri sekarang ini. Lihat saja, praktek penjualan aset-aset negara bernama privatisasi dan pengelolaan minyak bumi dan gas alam Indonesia yang dikuasai oleh asing. Bukankah praktek tersebut telah melanggar demokrasi politik-ekonomi-sosial? Sebab, kekayaan sumberdaya alam semacam itu semestinya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

Di sisi lain, orang bicara tentang sistem presidensiil, tetapi faktanya ada sistem pemerintahan di mana kekuasaan presiden dikebiri akibat dari amandemen UUD 1945. Bahkan, ada kecenderungan bahwa presiden tidak bisa sepenuhnya menjalankan hak interogratifnya. Kehidupan politik Indonesia mestinya berpegang kepada aturan main yang ada pada UUD 1945 yang tidak mengenal partai oposisi dan partai pemerintah. Dengan amandemen 1-4, maka ada partai yang menamakan diri partai pemerintah dan ada yang menamakan diri partai oposisi. Bukankah seluruh kekuatan partai politik mendasarkan pada Pancasila dan membela UUD 1945? Karena itu, seharusnya di DPR tidak muncul partai oposisi dan partai pemerintah. Sebab menurut perundang-undangan, seluruh partai politik mempunyai kewajiban yang sama: membuat Undang-Undang, menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dan melakukan pengawasan terhadap eksekutif.

Dari segi ekonomi, siapa sebenarnya yang dibela sekarang ini. Ketika ekonomi membaik dengan indikasi inflasi menurun, rupiah menguat dan ekspor meningkat; kehidupan rakyat tetap sengsara. Apalagi sekarang ini, bahan bakar minyak (BBM) naik yang mengakibatkan pada naiknya semua bahan pangan, sandang dan papan. Tentu efeknya kian menyengsarakan rakyat. Ditambah lagi, lapangan pekerjaan berkurang, pengangguran bertambah, kehidupan sosial merosot, tingkat kualitas kesehatan merosot, dan biaya pendidikan juga semakin mahal.

Belum juga ada kehendak melakukan keberpihakan kepada rakyat, pemerintah kini malah ngotot akan menjual Krakatau Steel, perusahaan BUMN, yang mestinya ikut andil dalam memakmurkan rakyat. Mengingkari nilai-nilai Pancasila yang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang bertumpu kepada keadilan sosial lantas berpaling kepada praktek ekonomi kapitalisme dan neoliberalisme, kian mengkhianati kedaulatan rakyat.

Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 menyebutkan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Selanjutnya bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Jadi, pasal 33 UUD 1945 melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang. Monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33. Kemudian hak negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh (tak kurang dalam 11 Undang-Undang) yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta mengatur hubungan hukumnya.

Dari segi pertahanan keamanan, apa yang bisa dibanggakan sekarang ini: darat, laut dan udara! Khususnya laut, sebagai negara kepulauan yang memilki sekitar 17.504 pulau dengan pantai terpanjang di dunia, tapi tak diurus dengan baik. Banyaknya pulau itu tidak ditopang oleh sistem pertahanan maritim yang memadai, sehingga kasus perebutan pulau-pulau oleh negara tetangga Indonesia menjadi hal biasa yang berdampak pula menimbulkan konflik kawasan. Indonesia sama sekali belum memperbarui konsep pertahanannya yang tidak berorientasi jangka panjang dan hanya memikirkan stabilitas politik dalam negeri.

Sekitar setahun lalu, rencana perjanjian pertahanan dengan Singapura, juga nyata-nyata merugikan Indonesia. Indonesia diberi hak untuk memakai fasilitas simulasi dari Singapura yang dikatakan modern. Padahal, dalam lima tahun saja, teknologi itu sudah usang. Tetapi yang didapatkan oleh Singapura adalah 20 tahun mereka bisa berlatih di Indonesia, di darat, di laut, di udara. Itu tentu nilainya jauh lebih besar daripada simulasi. Dan kita sebagai bangsa, kehilangan kemandirian kita: karena kita tidak boleh menentukan penggunaan alat-alat pertahanan, tetapi ditentukan oleh Singapura.

Dalam konstitusi dikatakan, siapapun presiden Republik Indonesia, dia memiliki tiga fungsi, status dan fungsi yang tidak bisa diubah: he is head of state, dia adalah kepala negara, dia adalah kepala eksekutif, dan dia adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut dan udara.

Tapi kenyataannya, presiden dibantu oleh menteri-menteri. Namun, yang terjadi adalah panglima TNI dan kepala staf berada di bawah Menteri Pertahanan, padahal menteri adalah pembantu presiden. Sebaliknya Kepolisian, yang bukan alat pertahanan Negara, malah berada di tangan presiden langsung. Lantas, bagaimana sebenarnya sistem ketatanegaraan Indonesia? Labih dari itu, dengan sistem presidensiil, tapi heavynya pada legislatif, sampai sedikit-sedikit menyorongkan hak interpelasi.

Jalan keluar dari sulitnya kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah menengok kembali Pancasila dan UUD 1945 lalu berpegangteguhlah! Pancasila sebagai ideologi kerja bagi aparatur negara (penyelenggara negara) dan menjadi spirit membangun kekuatan politik dan ekonomi secara mandiri. [OI, Perspektif, Edisi 103 / Tahun III / Tanggal 9 Juni - 15 Juni 2008

Label:

0 komentar: