Polisi Beringas Tak Pantas

Visi Polri yang antara lain berbunyi, “..mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, sebagai aparat penegak hukum yang profesional dan proporsional yang selalu menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM..”, menjelma menjadi sebuah untaian kata yang kontras dengan tindak tanduk polisi itu sendiri, eh.. maksudnya beberapa oknum polisi!

Kelakuan polisi nakal telah menjadi adagium negatif yang beredar di tengah masyarakat. Sudah jamak misalnya, ungkapan bahwa kalau ada orang kehilangan kambing melapor ke polisi maka orang tersebut justru bakal kehilangan sapi. Ini terjadi karena oknum polisi tersebut terlalu rajin minta duit buat ongkos mencari kambing yang hilang itu. Nah ongkos pencarian itu bisa menelan biaya seharga seekor sapi.

Nah, segala citra buruk yang menimpa polisi karena ulah beberapa oknumnya itu telah dicoba diperbaiki sejak zaman reformasi bergulir di Indonesia. Terbukti, cukup banyak polisi-polisi nakal yang dipecat dan diberi ganjaran setimpal. Namun, gaya militeristik polisi belum juga sirna meski polisi telah menjadi polisi sipil.

Sejak polisi dipisahkan dari ABRI 1 April 1999, masyarakat tak henti-hentinya mengingatkan agar polisi benar-benar berubah. Harapan sejak sembilan tahun lalu itu hanya satu, jadilah polisi yang berwatak sipil.

Namun, di tahun 2008 ini masih muncul perilaku polisi yang berbau militer. Dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, potret polisi yang menggunakan kekerasan yang luar biasa itu menghiasi berbagai media massa yang menjangkau ke seluruh penjuru tanah air dan dunia. Tak bisakah polisi Indonesia menjadi polisi sipil, polisi rakyat, polisi yang benar-benar melekatkan semboyannya ke dalam dada setiap personel polisi: melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat?

Tindakan represif polisi terhadap para demonstran (mahasiswa Unas) yang menentang kenaikan harga BBM hingga merusak isi kampus, dapat disebut sebagai operasi polisi di luar pemolisian (police operations other than policing).

Padahal, pemolisian yang efektif adalah pemolisian yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan, sehingga mampu menyesuaikan dengan corak budaya masyarakat dan lingkungan yang dihadapinya. Pemolisian merupakan cara pelaksanaan tugas polisi yang mengacu pada hubungan antara polisi dengan pemerintahan maupun dengan masyarakat yang didorong adanya kewenangan, kebutuhan serta kepentingan baik dari pihak kepolisian, masyarakat maupun dari berbagai organisasi lainnya. (Mark Findlay dan Ugljesa Zvekic, 1993)

MENDEMO FAKTA BURUK

Bagi para mahasiswa pengecam kenaikan harga BBM, kekerasan polisi itu mudah dipahami sebagai tindakan untuk melindungi rezim Orde Reformasi yang menganut paham ekonomi neoliberal. Ketika dihadapkan dengan pilihan, polisi bukan lagi melindungi masyarakat, tetapi lebih berpihak untuk melindungi rezim yang sedang berkuasa.

Fakta buruk dari kinerja pemerintah itu adalah harga minyak naik yang berakibat pada naiknya harga-harga sembako. Begitu pula ongkos angkutan umum, tak pelak turut naik tak kurang dari 20 persen. Yang paling sulit mengatasi imbas tersebut adalah orang-orang kecil, para pedagang kecil, pengusaha kecil. Yang kecil selalu dikucilkan! Mereka adalah orang-orang yang bekerja sungguh-sungguh, namun nasibnya dipingpong oleh orang-orang yang sebenarnya tak secara riil bekerja.

Coba saja lihat, apa kerjanya presiden, wakil presiden dan para menteri ekonominya, kalau mengurus minyak hasil bumi negeri sendiri saja tidak bisa. Akibatnya, rakyat Indonesia harus menanggung biaya atas “ketidakmampuan” pemerintah mengurus minyak.

Pemerintah mengambil minyak bumi milik rakyat secara gratis dengan biaya US$ 10 per barel. Tetapi karena hanya mampu menjual US$ 77 per barel, pemerintah merasa rugi jika harga minyak internasional lebih tinggi dari harga tersebut. (versi Kwik Kian Gie). Inilah susahnya, sebab 90 persen minyak Indonesia dikelola asing.

Energi Indonesia memang untuk pihak asing. Indonesia mengekspor 70 persen batu bara ke luar negeri (terbesar sebagai pengekspor LNG di dunia). Indonesia juga mengekspor 500 ribu bph minyak. Jadilah pemandangan kontras di mana listrik sering padam, rakyat antri gas, minyak tanah dan bensin.

Keuntungan perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia sangat besar. Tahun 2007, Exxon Mobil menangguk untung US$ 40,6 milyar (Rp 373 trilyun) dari pendapatan US$ 114,9 milyar (1.057 trilyun). Sementara itu, bagi hasil migas sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing baru dilakukan setelah dipotong “cost recovery” yang besarnya ditetapkan perusahaan asing. Jika tidak tersisa, Indonesia tidak dapat.

Di Blok Natuna, setelah dipotong cost recovery Indonesia dapat 0 dan Exxon 100 persen (Kompas, 13 Oktober 2006). Sementara Transparansi Internasional Indonesia menemukan biaya senang-senang main golf dimasukkan dalam cost recovery.

Jadi, dalam konteks ini demo mahasiswa (khususnya mahasiswa Unas) adalah perjuangan untuk mengaspirasikan keresahan masyarakat sebagai tandingan dari kekuatan politik negara yang tidak berpihak (the struggle for political power). Namun, mahasiswa mendapat jawaban melalui kekerasan polisi: berupa kekerasan fisik lewat tindakan berlebihan memasuki wilayah otonom kampus.


SOLUSI: PECAT POLISI BERINGAS

Mengubah kultur polisi yang militeristik ke kultur sipil memang tidak gampang, mungkin memerlukan waktu satu-dua generasi. Tapi apakah kita harus menoleransi polisi yang ringan tangan-ringan kaki: memukul dan menendang dengan beringas?

Agar kekerasan polisi terhadap masyarakatnya sendiri tak terulang, perlu dikembangkan budaya polisi yang berorientasi pada publik serta menggunakan pendekatan yang bercorak non-militeristik. Dengan demikian, budaya perseorangan aparat polisi harus didasarkan pada budaya organisasi (corporate culture). Budaya polisi yang diwarnai oleh pelaksanaan tugas polisi yang bersifat perseorangan (the policemen's working personality) dan diwarnai oleh lingkungannya (sociaty generated culture).

Untuk menjadi polisi sipil, pendapat A.C. German dapat menjadi panduan. Ia mengatakan bahwa untuk menjadi polisi yang otentik-sipil, maka polisi hendaknya “moving away from military configuration and shaking hands with the entire community” (semakin menjauhkan diri dari sekalian hal yang berbau militer dan selalu ingin bersalaman dengan masyarakatnya).

Polisi di negeri yang terkenal dengan masyarakatnya yang ramah ini, ternyata masih harus berusaha keras untuk bisa mewujudkan pola kerja yang ramah: menyalami, merangkul, dan menyayangi masyarakat.

Mengapa polisi di negeri yang masyarakatnya berbudaya dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan, justru bermental sebaliknya? Setiap personel polisi harusnya tahu bahwa polisi sipil bukanlah polisi kekuasaan: maka yang dikedepankan adalah kesopanan dan keramahan.

Karena itu, polisi yang bertindak beringas harus kita tolak. Supaya tidak menodai polisi yang sudah berubah (bahkan berani membuka boroknya sendiri kepada khalayak ramai), maka solusinya adalah: pecat polisi beringas! [OI, Perspektif, Edisi 102 / Tahun III / Tanggal 2 Juni - 8 Juni 2008]


Label:

0 komentar: