Topeng Narimo Sampai Korea

Ketekunan membuat Narimo mencapai tangga keberhasilan. Karya topengnya pun sempat mampir ke Korea Selatan.

Puluhan topeng berjajar dan bergelantungan di Jatisobo RT 02 RW 06, Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Itulah tempat Narimo dan istrinya, Supriyati, menyulap kayu sengon laut dan kayu jati menjadi beragam jenis topeng.

Dari tangan pasangan suami istri itu lahirlah topeng-topeng yang dipergunakan untuk menari. Ada Kelono, Raja Molo, Sekartaji, Panji, Pentul, Tembem, Cakil, Buto Terong, Punakawan dan Durno. Topeng-topeng lainnya yang digunakan untuk asesori interior antara lain ada motif Merak, Bunga, Bulan Sabit dan Badak. Sementara topeng-topeng buat sovenir, gantungan kunci dan bandul kalung lebih beraneka ragam: dari topeng yang bermotif bunga hingga rojo molo.

Narimo, 43 tahun, adalah prototipe orang kampung yang ulet. Sejak lulus Sekolah Dasar di tempat kelahirannya Kabupaten Klaten, ia telah memulai membuat wayang kulit. Empat tahun kemudian, minat seninya bertambah hingga memutuskan untuk belajar membuat topeng. Kala itu, ia hijrah ke Kota Surakarta, belajar membuat topeng kepada Bambang Suwarno, dosen STSI Solo Bagian Pedalangan.

Sambil terus menerus menggeluti topeng, Narimo tak menyia-nyiakan kesempatan ajakan budayawan Murtijono untuk turut aktif di Taman Budaya Surakarta (TBS). Ia juga bersekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta, hingga tamat pada 1989. Tak heran bila Narimo kian matang dalam berkarya. Lantas, topeng-topeng karya Narimo muncul ke pasaran.

Sejak menikah dengan Supriyati, gadis tamatan SMA Bakti Praja Bekonang-Surakarta, pada 1994, karya topeng Narimo kian mewarnai pasar. Dari Solo, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, hingga ke mancanegara.

Meski Narimo orangnya ntrimo ora neko-neko (menerima apa adanya), ayah dua anak ini tak berarti harus pasrah. Untuk memasarkan karya topengnya, Narimo mengikuti pameran di setiap ada kesempatan. Bahkan, tak hanya di Indonesia, ayah dari Aji Ahmad Muhtarom (11) dan Arfian Panji (3) ini pernah mengikuti pameran di Korea Selatan pada Oktober 2007. Sepekan di sana, 30 topeng motif kelono, gunung sari dan merak besar, yang dibawanya habis terjual.

Pasangan suami istri, Narimo-Supriyati, memang kompak. Keduanya saling melengkapi dalam menempuh kehidupan, termasuk dalam usahanya membuat kerajinan topeng. Selama proses pembuatan topeng dikerjakan berdua: dari menatah kayu menjadi topeng, mengukir, menyungging, mengamplas, mendempul, mencat putih, mengamplas lagi, mengecat warna muka dan ornament. Namun khusus memberikan alis (ornamen di atasnya dicat dengan menggunakan tangan) dikerjakan Narimo.

Dalam sebulan, galeri Panji milik Narimo dan istri mampu memproduksi topeng Rojo Molo 4 biji dengan harga Rp 600 ribu per biji; 8 Hanoman, 4 Garuda Jaksa, dan 15 kelono @Rp 400 ribu-500 ribu; 20 Sekartaji dan Panji @Rp 300 ribu; 30 Tembem dan Pentul @Rp 150 ribu; dan ratusan asesori, gantungan kunci dan bandul kalung @Rp10 ribuan. “Baru-baru ini Pak Walikota Solo memesan 500 buah bandul kalung motif rojo molo,” ujar Supriyati. Mengapa rojo molo? “Sebab semua molo dimakan oleh rojo molo,” tambahnya.

Topeng yang merupakan rupa khusus ukiran kayu telah menjadi bagian hidup keluarga Narimo. Bagi Narimo, membuat topeng tak hanya bisnis semata namun sekaligus turut melanggengkan tradisi.

Walaupun berada di sepanjang gugusan pulau Ibu Pertiwi dan bisa ditemukan pada upacara-upacara pemakaman dan sebagainya, bentuk topeng yang paling gampang dikenal adalah topeng yang dipergunakan pada tarian wayang topeng Jawa dan Bali.

Pengenalan wayang topeng itu disifatkan pada kedatangan Sunan Kalijaga, salah seorang walisongo abad XV seiringan delapan handai taulan lainnya memutus berdomisili di buana Nusantara (pulau Jawa) agar memancarkan agama Islam. Namun beberapa tarian adalah warisan tata adab Hindu-Buddha.

Penari-penari menyelenggarakan cerita wiracarita India seperti misalnya epos Mahabharata atau hikayat-hikayat khas setempat dan topeng dimanfaatkan guna mewakili para tokoh. Topeng-topengnya berpusparagam dari topeng Jawa Barat dan Tengah yang formal tapi polos hingga topeng Jawa Timur yang ukirannya sangat berliku-liku.

Jadi, tak sekadar berbisnis, membuat topeng adalah juga memelihara budaya yang adiluhung. Dengan begitu, Narimo dan Supriyati adalah pemelihara budaya yang hidup dari ketekunannya bergelut dengan topeng. Mau berkunjung ke Galeri Panji? Dari Solo, ambil jurusan Sukoharjo. Nah, begitu ketemu Pasar Bekonang, itu pertanda sudah dekat: tinggal beberapa kilometer lagi sampai kedapatan SD Jatisobo. Nah di samping SD itulah Narimo dan istri menyulap kayu sengon laut menjadi topeng-topeng yang menawan.

Kampung Topeng
Bermula dari pertanian, kini sawah menjadi sambilan. Begitulah kehidupan penduduk Dusun Bobung, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Setelah mengembangkan kerajinan topeng batik kayu sejak pertengahan tahun 1980-an, kini penduduk dusun itu mulai memetik hasilnya. Kerajinan batik kayu dari Bobung tidak hanya dikenal di Indonesia, namun juga sudah mendunia.
Sejak dicanangkan sebagai desa wisata tahun 2000, kegiatan pembuatan kerajinan berbahan baku kayu semakin meningkat. Wisatawan yang mampir ke perajin-perajin yang ada di Bobung dapat melihat dari dekat, bahkan ikut belajar mengerjakan kerajinan kayu yang akan dibeli. Hampir setiap penduduk dusun yang terletak lebih kurang 30 kilometer arah timur Kota Yogyakarta ini mahir membuat kerajinan dari kayu, tak terkecuali anak-anak yang baru duduk di bangku taman kanak-kanak atau sekolah dasar.
Kerajinan batik kayu di Bobung berawal dari kebutuhan topeng kayu untuk lakon-lakon dalam seni tari Topeng Panji yang berkembang di dusun ini sejak tahun 1960-an. Tari tersebut merupakan pengembangan dari seni pedalangan yang menghadirkan topeng sebagai media berkesenian. Sunan Kalijaga merupakan pencipta topeng dari kayu yang kemudian dikenal sebagai topeng Panji itu, dengan cerita yang diambil dari pakem wayang Gedog.
Selain bentuk topengnya khas, mirip dengan penggambaran tokoh wayang purwa yang matanya tertarik ke atas dengan hidung lancip, motif batik yang mendasari pewarnaan topeng menambah nilai keindahan hasil kerajinan dusun yang letaknya sekitar 1,5 km dari Jalan Raya Wonosari ini. [OI, profil usaha, Tahun III, Edisi 111, 4-10 Agustus 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Menuju Zaman Kalasuba

Zaman carut marut. Tata hukum, tata kenegaraan, dan tata pembangunan amburadul, lantas melahirkan kalatida dan kalabendu. Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan, perbedaan benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tidak adil, tak digubris. Kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan didewakan.

Coba simak peristiwa demi peristiwa korupsi (juga kolusi dan nepotisme) yang melilit negara Indonesia ini, tak kunjung berhenti. Yang terjadi justru, cenderung menyeruak ke segala ranah kepentingan: dari kepentingan memperkaya diri (keluarga dan kerabat), menyumbang partai politik, hingga bisnis! Karena itu praktik korupsi kerap berjalin berkelindan dengan pelibatan orang secara berjamaah, serta menjangkau ke lintas profesi dan kelembagaan.

Lihat saja kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang melibatkan banyak orang, profesi dan lembaga. Begitu pula dengan korupsi menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan kasus-kasus korupsi lainnya. Kisah kasus korupsi ini juga pernah melanda Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Namun yang masih hangat adalah kejahatan korupsi yang membuka borok lembaga legislatif.

Setelah Al Amin Nur Nasution (kasus alihfungsi lahan) dan Bulyan Royan (kasus lelang pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut) menjadi tersangka korupsi, kasus lainnya terungkap. Sedikitnya, sebagaimana kesaksian Hamka Yandhu di depan persidangan, 52 anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX pada periode 1999-2004 terlibat korupsi: yakni menerima duit dari aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR.

Tampaknya korupsi telah melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat dan para penyelenggara negara di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para penyelenggara negara kerap menciptakan sistem yang menguntungkan dirinya sendiri demi melanggengkan kekuasaan. Di sisi lain masyarakat dipaksa menanggung akibat dari sistem yang mereka ciptakan. Akibatnya, masyarakat terperangkap di dalam sistem yang dikuasai oleh orang-orang yang korup. Nah, jika dari jajaran Rukun Tetangga (RT) hingga lembaga kepresidenan (serta lembaga yudikatif dan legislatif) diisi oleh aparat-aparat yang korup, maka praktik korupsi merajalela di setiap strata lembaga pemerintahan.

Sepertinya, pada tatanan penyelenggaraan negara, korupsi menjalar mulai dari level lembaga tinggi negara hingga level terendah. Sebagian besar aparat negara sudah terkontaminasi praktik korupsi, secara terang-terangan maupun terselubung. Sementara itu, berkembangnya korupsi juga didukung oleh berbagai kepentingan masyarakat yang memberi ruang tumbuh suburnya praktik korupsi. Bagi sebagian orang, menyogok aparat telah menjadi keseharian dan budaya yang wajar untuk dilakukan.

Inikah zaman edan? Seperti tersurat dalam karya sastra tembang “Sinom” dalam “Serat Kalatida” bab 8: //Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ melu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya kaduman melik/ kaliren wekasanipun// Ndilallah karsa Allah/ Sakbeja-bejane kang lali/ luwih beja kang eling lawan waspada// (Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak, ikut gila tidak tahan, jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik, akhirnya menjadi ketaparan. Namun dari kehendak Allah, seuntung-untungnya orang yang lupa diri, masih lebih berbahagia orang yang ingat dan waspada).

Isyarat dari Raden Ngabehi Ronggowarsito perlu ditilik bahwa bangsa Indonesia harus bersikap waspada menghadapi kalatida dan kalabendu. Tokoh yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan “warisan piwulang yang sangat berharga” berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estetika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya dan teologi, mendudukkannya sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.

Ramalan R. Ng. Ronggowarsito yang terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 Jawi atau 1802 Masehi, putra dari RM. Ng. Pajangsworo, ternyata terjadi sekarang ini dan mungkin juga nanti, kalau zaman kalatida-kalabendu tak kunjung berujung pada lahirnya zaman kalasuba. Kalasuba adalah zaman stabilitas dan kemakmuran.

Menuju Zaman Kalasuba
Masyarakat tahu bahwa lembaga-lembaga kenegaraan, seperti lembaga kepresidenan, kabinet, DPR, dan peradilan, tak bersih dari korupsi. Betapa canggihnya para pelaku korupsi dengan predikat pejabat negara memindahkan uang rakyat yang terkumpul melalui pajak atau retribusi ke kantung-kantung mereka. Belum lagi uang-uang lain yang berasal dari pinjaman, atau bantuan dari negara-negara lain. Bagaikan mencari jarum di dalam tumpukan jerami, sulit menemukan aparat yang bersih.

Tak berlebihan kalau ada anggapan bahwa perilaku korup sudah ada bersama dengan adanya kekuasaan dalam masyarakat. Karena kekuasaan itu dianggap bersifat korup, dengan sendirinya orang yang mempunyai kekuasaan akan sama saja. Tak heran jika kemudian ada orang yang menganggap bahwa kecenderungan korupsi yang ada dalam diri aparat selama ini muncul karena mereka mempunyai kekuasaan untuk melakukan itu.
Kekuasaan pula yang membuat aparat yang korup menjadi kebal hukum. Mungkin ini salah satu sifat dari kekuasaan dan pemegang kekuasaan di negeri ini yang bisa berbuat apa saja tanpa harus merasa takut dengan hukum. Dampaknya, aparat hukum menjadi mandul ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. Kalaupun terjadi keputusan hukum, paling-paling hukumannya ringan, atau dibebaskan dengan berbagai alasan. Bagaimana tidak, citra mereka selama ini jauh dari yang diharapkan masyarakat.
Untuk itu, janganlah menyerah pada kekuasaan yang korup. Jadikan kekuasaan itu untuk menyejahterakan dan memakmurkan sang pemegang kedaulatan. Mereka adalah rakyat! yang sungguh-sungguh memiliki kekuasaan. //Wis wayahe ana presiden utama/ wakil presiden linuwih/ pra nayaka tyas raharja/ panekare becik-becik..// (Sudah saatnya ada presiden yang baik, wakil presidennya cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik..)
Jika para pemimpin itu dapat dipercaya, memegang janji-janjinya ketika membujuk rakyat agar dapat menaiki singgasana, maka zaman kalasuba akan segera datang. Andai zaman kalatida-kalabendu adalah puncak aji mumpung, maka sebagaimana berputarnya roda sejarah –zaman kalasuba hampir tiba: hidup rakyat makmur dan tenteram. Kapan? Mungkin setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk semua koruptor: dari daun, ranting, pohon, hingga ke akar-akarnya! [OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 111, 4-10 Agustus 2008]


[...Selengkapnya]

Label: