Bikin Sopi Rezeki Tak Bertepi

Andai pasar sopi terbuka, mungkin masyarakat Sifnana hidup makmur. Bayangkan, setiap hari sebuah keluarga di Desa yang terletak tak jauh dari Saumlaki itu mampu menghasilkan 16 liter sopi dengan harga Rp 30 ribu per liter.

Menuju Desa penghasil sopi (minuman khas sejenis arak), cuma kira-kira 7 kilometer dari Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Desa Sifnana yang juga disebut sebagai pusat penyulingan sopi itu tak menampakkan masyarakatnya hidup makmur. Dilihat dari fisik bangunan rumah dan tampilan orang-orang yang menghuni desa tersebut tampak sederhana. Tak tergambar ada kemewahan di sana.

Namun, siapa sangka potensi ekonomi desa itu sangat besar. Dengan menyuling sagero (air perasan dari mayang kelapa) menjadi sopi, maka penghasilan sebuah keluarga tak kurang dari Rp 300 ribu per hari. Persisnya, setiap KK mampu memproduksi sopi tak kurang dari 16 liter per hari. Dengan harga per liter Rp 30 ribu, maka penghasilan yang didapat adalah Rp 480 ribu.

Sayangnya, pasar sopi tertutup. Masyarakat Sifnana yang telah berabad-abad membuat sopi itu dilarang memasarkan produknya ke luar rumah. Mereka hanya diperbolehkan menunggu pembeli yang datang. Oleh sebab itu pasar sangat terbatas, dan penghasilan pun terbatas. Hasil penyulingan sopi sebuah keluarga yang 16 liter per hari itu pun tak bisa dihabiskan dalam sehari. “Bisa-bisa sepekan baru habis,” ujar seorang penyuling sopi.

Menurut Bupati MTB BS Temmar, bagi masyarakat sopi adalah sumber pendapatan. Tapi bagi pengkonsumsi sopi adalah penyakit. Dua hal yang berbenturan. Apa jalan keluarnya? Tahun lalu Pemda MTB mengundang tim dari Universitas Sam Ratulangi Manado, karena mereka punya pengalaman mengolah sopi menjadi produk lain. Dan mereka sudah melakukan survei dan penelitian. Sayangnya sopi yang dihasilkan di MTB tidak cukup memadai untuk dikembangkan. Padahal Sulawesi Utara yang mampu memproduksi cukup besar, maka kemungkinan investasi mengolah sopi menjadi produk lain sangat terbuka. “Oleh karena itu dari pada kita ribut-ribut tentang sopi, ya kita kendalikan saja produksinya sambil mencari alternatif usaha lain,” kata BS Temmar.

Masalahnya, menuju alternatif lain itu butuh waktu. Membangkitkan usaha lain dengan meninggalkan sebuah usaha yang sudah berjalan secara turun temurun tidaklah mudah. Apalagi jenis usaha yang harus ditinggalkan tersebut adalah membuat sopi --sebuah usaha yang sebetulnya gampang mendatangkan untung, selain itu tentu karena alasan menjaga tradisi.

Sopi menjadi bagian dari model hubungan sosial masyarakat adat Maluku. Hubungan-hubungan sosial antar sesama itu di tertibkan melalui aturan-aturan adat dengan sanksi-sanksi bagi pelanggar. Jadi dalam aturan-aturan adat itu masyarakat dibina menjaga ikatan persaudaraan dan untuk mencapai partisipasi antar sesama, kerja sama dan saling membantu, menghargai dan saling memberi hormat serta mengindahkan seseorang pada tempatnya, mana yang tua dan mana yang muda. Dimensi kekeluargaan dan kekerabatan itu dengan muatan-muatannya terdiri dari Familia, Ain Ni Ain, Pela atau Teabel, Gandong, Masohi, Badati.

Sopi merupakan lambang persatuan dan kesatuan, sudah digunakan dalam berbagai upacara adat di Maluku sejak zaman dahulu. Kalau dalam upacara bikin-panas-pela, diisi dengan acara khusus, seperti makan patita dengan disajikan khusus makanan daerah, yang semuanya mengingatkan dan membuat hidup kembali persekutuan pela ini. Tiap dilakukan panas-pela itu dimaksudkan mengulang mengangkat peristiwa pertama ke hari ini, yang berarti mengingat dan mempererat ikatan pela itu. Panas pela ini di hadiri oleh kepala adat dari negeri-negeri berpela itu (Raja), tua-tua adat, anggoto-anggota Saniri Negeri, pimpinan agama, tokoh-tokoh seperti kepala mongare dan jujaro, para guru bersama rakyat yang datang dari negeri-negeri berpela itu.

Upacara adat panas pela ini masih dilakukan di Maluku dengan mengulang janji dan sumpah serta minum bersama dari satu gelas minuman sopi (dulunya di gelas itu biasanya dimasukan setetes darah pada sopi) sebagai tanda materai yang kuat pada ikatan pela itu dengan sanksi keras kepada yang melanggar atau merusak hubungan pela ini.

Jadi, mengapa produksi dan pemasaran sopi harus dihambat? Bukankah minuman sopi sebagai warisan leluhur adalah menjadi bagian dari tradisi dan juga mata pencaharian? Karena itu, mungkin jalan keluar itu adalah dengan mengemas sopi sedemikian rupa hingga pantas diekspor ke luar negeri. Kalau pun sopi harus diolah menjadi produk lain, beberapa jenis produk turunan sopi dengan kadar alkohol yang rendah masih tak terlalu mengganngu pengkonsumsi untuk dipasarkan. Begitu pula dengan sopi yang sudah disaring berkali-kali, baunya tak lagi menyengat dan rasanya tak sepanas sopi dengan kadar alkohol tinggi. Bahkan, rasa sopi bisa manis dengan kadar alkohol sangat rendah.

Jadi, masih banyak cara untuk mempertahankan tradisi penyulingan sopi sekaligus membuka pasar secara terbuka. Untuk menjaga agar pengkonsumsi tidak menjadi liar terkena pengaruh alkohol, rasanya pemerintah tidak harus membatasi produksi dan pasar para penyuling sopi.


Mewarisi Tradisi Bikin Sopi
Hari-hari Abraham Sesermudi penuh dengan semangat hidup. Pria beranak dua yang kerap dipanggil Ampi ini menjalani hidup apa adanya. Dengan keyakinan bahwa menyuling sopi adalah menjaga tradisi sekaligus dapat menuai penghasilan dari sana, Ampi sudah mantap memenuhi hari-harinya dengan menyuling sopi. Dan betul, Ampi memenuhi kebutuhan hidup dari membuat sopi. “Menyekolahkan anak, menafkahi istri dan bikin rumah, semua dari penghasilan membuat sopi,” ujar Ampi, jebolan SMA Negeri Saumlaki tahun 2001.

Pria kelahiran Desa Sifnana Kecamatan Tanimbar --menikah pada Februari 2005 ini, bersama kedua orang tuanya bertekad mewarisi kebiasaan nenek moyangnya membikin sopi. Karena itu, tiap hari Ampi memanjat pohon kelapa, mengambil mayang lalu diperas menjadi sagero (air perasan mayang kelapa). Dari kira-kira 48 mayang akan menghasilkan 80 liter sagero. Dari 80 liter sagero itu direbus di belanga selama satu jam, dan setelah itu uapnya akan menerobos melalui bambu yang memanjang (ke atas, lurus, ke bawah, lurus lagi, kira-kira 15 meter) berkelok-kelok hingga kemudian menetes ke botol minuman mineral (tempat menampung tetesan). Uap yang menetes pelan itu adalah sopi. Melalui penyulingan sederhana ini, Ampi mendapatkan 16 liter sopi dalam sekali produksi.

Nah, Ampi dan kedua orang tuanya itu rata-rata mampu menghasilkan dan menjual sopi 16 liter per hari. Tentu saja sang pembeli datang sendiri ke tempat produksi. Jadi, dengan harga jual sopi Rp 30 ribu per liter, pendapatan Ampi cukup tinggi bukan? [Profil Usaha, Opini Indonesia, Tahun III, Edisi 106, 30 Juni-6 Juli 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Memanfaatkan Jaringan Memberdayakan Masyarakat

Potret keadaan ekonomi masyarakat tampak kian bopeng. Berbagai persoalan terus mendera mereka, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah. Kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, tidak tersedianya lapangan pekerjaan, dan bencana alam, membuat nasib orang-orang miskin kian miskin.

Meski menurut pemerintah, angka kemiskinan berkurang namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi masih menghampiri sebagian besar masyarakat. Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6%. Ini didasarkan pada perhitungan penduduk yang hidup dengan penghasilan di bawah USD 2 per hari per orang, dari jumlah penduduk Indonesia 232,9 juta pada 2007.

Tingkat kemiskinan itu berkorelasi dengan sempitnya kesempatan kerja yang bisa diakses masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% namun menurut laporan Bappenas (2006), pada tiap pertumbuhan 1% hanya membuka 48.000 kesempatan kerja. Itu berarti, pertumbuhan ekonomi tidak selaras dengan pembukaan lapangan kerja.

Lantas, apa jalan keluar yang bisa menjadi alternatif bagi kemampuan ekonomi masyarakat. Disinilah pentingnya langkah pemberdayaan masyarakat yang tidak hanya menjadi tugas pemerintah tetapi tugas masyarakat itu sendiri. Suatu pemberdayaan yang mampu mendukung kemampuan masyarakat dalam menghadapi kondisi kekinian dan mampu memperkuat keberdayaannya dalam jangka panjang.

Upaya pemberdayaan masyarakat terkait dengan pemberian akses bagi masyarakat, komunitas, dan organisasi masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan hak masyarakat bagi peningkatan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Karena itu, pemberdayaan masyarakat penting dilakukan untuk mengatasi ketidakmampuan masyarakat yang disebabkan oleh keterbatasan akses, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, adanya kondisi kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat dan adanya keengganan pemerintah membagi wewenang dan sumber daya kepada masyarakat.

Di sisi lain, berbagai program pemberdayaan yang bersifat parsial dan sektoral yang pernah dilakukan, kerap menghadapi kondisi kurang menguntungkan. Misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar, terciptanya benih fragmentasi sosial, dan melemahkan kapital sosial yang ada di masyarakat seperti gotong royong, musyawarah dan keswadayaan. Lemahnya kapital sosial pada gilirannya mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang kian jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalan secara bersama.
Salah satu sebab melemahnya kondisi kapital sosial dan perilaku masyarakat adalah karena keputusan dan kebijakan. Juga tindakan dari pengelola program pemberdayaan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang cenderung tidak berorientasi kepada masyarakat golongan ekonomi lemah, tidak adil dan tidak transparan.

Hal ini menimbulkan kecurigaan, kebocoran, stereotype dan skeptisme di masyarakat. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil dapat terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang tidak benar-benar melibatkan masyarakat. Salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, tidak berorientasi pada keadilan, dan tidak dikelola secara jujur-terbuka.

Kelembagaan masyarakat tidak berdaya karena karakteristik lembaga masyarakat yang ada di masyarakat cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Di ditengarai pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini dalam beberapa hal lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya.

Lembaga masyarakat yang mandiri mampu menjadi wadah perjuangan kaum ekonomi lemah, menyuarakan aspirasi masyarakat, memengaruhi proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, sehingga berorientasi kepada masyarakat miskin dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik: dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan, perumahan dan pemukiman.

Jaringan Membuat Masyarakat Berdaya
Lembaga masyarakat yang mandiri akan bermunculan apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat tersebut adalah kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas, relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat, dan bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Tentu, ini bukan pekerjaan mudah karena upaya-upaya membangun kepedulian, kerelawanan dan komitmen pada dasarnya terkait dengan proses perubahan perilaku masyarakat.

Langkah Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) memanfaatkan jaringan yang dimiliki Nahdlatul Ulama (NU) untuk menyukseskan program kerjanya adalah langkah yang tepat. Sebagai kementerian negara yang tidak punya kaki di daerah sebagaimana departemen, Kemenneg PDT tidak akan mampu berbuat banyak tanpa bantuan dan dukungan dari unsur-unsur di dalam masyarakat sendiri, apalagi kewenangan Kemenneg PDT kian diperluas, antara lain menyangkut pengembangan perekonomian lokal dan pembangunan infrastruktur di pedesaan.

Nota Kesepahaman Kerja Sama (MoU) antara Kemenneg PDT dengan PBNU, yang meliputi program pemberdayaan ekonomi lokal, pelatihan dan pendampingan masyarakat di daerah tertinggal, akan menggerakkan potensi-potensi lokal.
Untuk menggerakkan ekonomi lokal, Kemenneg PDT juga bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, berencana mendirikan 25.000 lembaga keuangan mikro (LKM) untuk membantu permodalan masyarakat di desa-desa tertinggal. Inilah salah satu cara memberdayakan perekonomian masyarakat, yakni dengan menyediakan LKM yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pembentukan LKM yang menjadi salah satu fokus program Kemenneg PDT pada 2008 yang masuk dalam program "Green Bank", diharapkan mampu memberdayakan masyarakat. Sehingga terwujudlah misi pemberdayaan masyarakat, yakni “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri”.

Beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan program tersebut antara lain, yaitu: (1) adanya kesesuaian antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket program dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) adanya kegiatan monitoring yang terencana (4) dan adanya kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan program.

Untuk mencapai hasil yang optimal, perlu dilakukan pola pendekatan partisipatif dan transparansi. Partisipatif artinya menempatkan masyarakat sebagai subyek (pemilik) dalam pemberdayaan itu dan bukan obyek (penerima), sekaligus mempunyai keterlibatan aktif dalam semua level kegiatan. Di sini, target kelompok masyarakat hars benar-benar didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam program. Transparansi dimaksudkan untuk mempertegas bahwa seluruh upaya pemberdayaan masyarakat dikelola dalam tata kelola yang baik dan dapat diakses informasinya oleh para pihak terkait. Dalam hal ini, setiap perubahan pelaksanaan program perlu diberitahukan dengan baik, aktif dalam kegiatan hubungan masyarakat.

Lebih sahih lagi, perlu (1) akuntabilitas, yakni mempertanggungjawabkan setiap pemanfaatan dana, serta melakukan audit keuangan; (2) berorientasi lapangan dan pemanfaatan sumber daya lokal, di mana seluruh kegiatan mempertimbangkan situasi, tradisi, dan nilai-nilai setempat termasuk ketika melakukan pemilihan peralatan selalu mempertimbangkan aspek pemeliharaan dan perbaikan yang dapat dilakukan secara lokal setempat; (3) berkesinambungan, yakni upaya berbagai kegiatan seyogyanya dapat dipertahankan oleh masyarakat walaupun program telah berakhir; (4) membangun kemitraan: seluruh pihak yang terlibat berupaya sekuat-kuatnya untuk bekerjasama secara gotong royong.

Dengan memanfaatkan jaringan NU dan beberapa yang lain, maka tujuan pemberdayaan masyarakat akan tercapai. Pemberdayaan yang merupakan paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya, yakni mulai dari aspek intelektual, material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial, akan berkembang menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.

Harapannya, 33 ribu desa tertinggal dari 70 ribu desa yang ada di Indonesia segera tinggal landas. Sejumlah desa tertinggal tersebut berada di 199 kabupaten; tersebar di 58 kabupaten di Sumatera, 123 kabupaten di kawasan Indonesia Timur, dan 18 kabupaten di Jawa dan Bali. Kemenneg PDT bertekad sebanyak 40 kabupaten harus sudah terentaskan dari status tertinggal pada 2009. Jadi, butuh waktu 5 tahun untuk mengentaskan semua desa tertinggal yang tersebar di 199 kabupaten itu. [Versi OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 106, 30 Juni-6 Juli 2008, berjudul "Menebar Jaring Berdayakan Masyarakat"]


[...Selengkapnya]

Label:

Iwan Bokings Membangun dari Dusun

Serba “yang pertama”, itulah model pembangunan yang diterapkan Iwan Bokings di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Ia, bupati yang pertamakali mensubsidi raskin, mengumumkan daftar gaji pejabat di pendopo kabupaten, draf APBD disebar ke dusun-dusun, retribusi jasa pemakaian kendaraan dinas di luar jam kantor, kain kafan buat koruptor, dan membangun berbasis dusun.

SEKALI layar terkembang, pantang surut ke pantai. Itulah tamsil yang cocok untuk menggambarkan etos kerja Iwan Bokings. Pria yang satu ini selalu menempatkan tugas sebagai amanah yang harus tuntas. Tepat, rakyat Kabupaten Boalemo memberinya kepercayaan menjadi bupati di wilayah tersebut. Tak tanggung-tanggung, mandat rakyat itu dipercayakan kepadanya untuk periode 1999-2001, 2001-2006 dan 2007-2012.

Kepercayaan rakyat yang begitu besar kepada Iwan tentu sangat berdasar. Bukan karena sudah dikenal, tapi juga tingginya rasa empati dan peduli kepada khalayak yang membuat ia didukung. Ia rela melepas waktu liburnya demi melayani rakyat. “Saya hampir tidak mengenal waktu untuk istirahat. Sabtu dan Minggu saya tetap bekerja,” ungkap suami dari Hajjah Kasma Bokings Bouty SE MM ini.

Waktu libur sering tersita karena Iwan justru kerap memanfaatkan masa akhir pekan, untuk mengunjungi warganya. Ia bersilaturahmi ke rumah para pemberi amanah, yang berada di dusun-dusun, berkilo-kilo meter jaraknya, naik turun gunung.

Hasilnya, kebijakan bupati Iwan Bokings sangat pro rakyat. Antara lain, kebijakan membebaskan rakyat miskin membayar raskin (beras miskin). Menurut Iwan, uang Rp 1.000 tersebut yang semestinya untuk membeli raskin, bisa dipergunakan untuk keperluan yang lebih produktif. Ini masuk akal karena di setiap KK (kepala keluarga) tak cukup hanya dengan membeli sekilo beras. Ada yang memerlukan 10 kilogram dan seterusnya. Sehingga, dari uang Rp 1.000 dikalikan 10 itu, bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih produktif. Tapi, rencana pembebasan raskin ditolak DPRD Boalemo. Akhirnya, subsidi hanya Rp 500 per KK, rakyat miskin membayar Rp 500 per kg raskin.

Langkah Iwan meringankan beban orang miskin ini tetap ditentang DPRD dengan melapor ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri), 28 Maret 2007. Alasannya, kebijakan ini tidak sesuai ketentuan. Selain itu, rakyat miskin terlalu dimanjakan. Namun jawaban Depdagri bertolak belakang dengan keinginan DPRD. Pada 16 April 2007, Depdagri melalui Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah menyatakan bahwa pemerintah kabupaten Boalemo tidak menyalahi aturan. Depdagri menganggap, pembebasan biaya raskin merupakan bentuk optimalisasi fungsi APBD sebagai instrumen pemerataan dan keadilan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tahu akan kebutuhan rakyat, Iwan pun menyebar poster yang berisi rincian dana APBD ke rumah-rumah warga di desa-desa maupun di dusun-dusun. Tujuannya, agar rakyat tahu persis program yang dijalankan pemerintah kabupaten. Sementara itu, proses penyusunan APBD juga didasarkan pada kebutuhan rakyat. Karena aspirasi rakyat itulah, maka setiap PNS (pegawai negeri sipil) yang bertugas di daerah terpencil mendapatkan tunjangan tambahan penghasilan. Seorang guru mendapat Rp 1.500.000,- per bulan, para medis Rp 1.750.000,- per bulan, dan dokter Rp 2.000.000,- per bulan. Begitu pula dengan subsidi raskin dan mengalokasikan dana APBD Rp 50 juta bagi pelapor korupsi.

Sikapnya yang merakyat, terutama terhadap rakyat miskin, membuat Iwan Bokings dijuluki “Panglima Rakyat Miskin”. Entah dari mana asal muasal julukan itu muncul, tapi masyarakat Boalemo mafhum ke mana arah sebutan tersebut jika meluncur ke khalayak. Dan memang, Iwan menjalankan kekuasaannya dengan melibatkan rakyat. Persetujuan rakyat (consent of the people) terhadap kekuasaan menjadi faktor menentukan dan karena itu istilah “akuntabilitas” merupakan sesuatu yang jamak dalam system pemerintahan kekinian. Salah satu buktinya adalah model pemerintahan Kabupaten Boalemo yang berjalan di atas rel good governance (pemerintahan yang baik).

Bupati Boalemo Iwan Bokings menata pemerintahannya ke arah adanya dan berfungsi baiknya beberapa perangkat kelembagaan, sehingga memungkinkan kepentingan rakyat bisa terjamin dengan baik. Hal ini mencakup adanya birokrasi yang bersih dan efisien, adanya legislatif yang aspiratif dan tanggap terhadap kepentingan masyarakat dan menjadi alat kontrol yang baik dan kontruktif bagi birokrasi pemerintah, adanya system penegakan hokum yang kredibel, termasuk aparat penegak hukum yang mempunyai integritas yang baik, serta adanya masyarakat warga (civil society) yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan warga serta mengontrol lembaga pemerintah. Juga termasuk di dalamnya, adanya distribusi kekuasaan yang seimbang dan saling mengontrol secara kontruktif, bukan demi para pemegang kekuasaan, melainkan demi kepentingan rakyat banyak.

Konsepnya dilatari oleh “kuasa rakyat adalah kuasa Tuhan”, sehingga model pembangunan yang diterapkan oleh kabupaten Boalemo berlandaskan kepentingan rakyat. Misalnya aura yang dibangun di ranah masyarakat religius tersebut mendahului negara dalam mengkampanyekan program anti korupsi. Sampai-sampai pegawai yang memakai kendaraan dinas di luar kepentingan kantor, dikenai sewa. Untuk kendaraan dinas roda empat (mobil) Rp 20.000,- per hari, sedangkan roda dua (motor) Rp 5.000,- per hari.

Slogan BERTASBIH (Beriman, Taqwa, Aman, Sehat, Bersih, Indah dan Harmonis) bagi Boalemo, terasa benar terimplementasikan. Boalemo mewujudkan good governance. Misalnya, pihak berwenang telah melakukan punishment dan reward kepada instansi dan atau para pegawainya. Ada penilaian instansi terburuk, penurunan pangkat PNS, penghargaan guru/ PNS/ honorer tenaga abdi teladan, hingga pemberian honor bagi aparat Desa/ Dusun.

Dilengkapi dengan program transparansi, antara lain (a.l.) pencantuman gaji pokok pejabat/PNS secara terbuka; dan laporan keuangan Pemkab diumumkan di koran. Partisipasi, a.l. bedah RAPBD bersama pemuda dan mahasiswa. Efisiensi, a.l. menurunkan pos belanja bupati dari tahun ke tahun. Hemat Energi dan BBM, a.l. menurunkan daya listrik 60% di seluruh kantor Pemkab dan kantor bupati; serta sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan program “hemat energi”, pejabat Boalemo sudah memulainya dengan naik sepeda ke kantor. Penegakan hukum, a.l. memberikan bonus kepada staf yang melaporkan korupsi di instansi. Peningkatan moral, a.l. ceramah anti korupsi. Reformasi pengadaan barang dan jasa, a.l. pengambilan sumpah bagi panitia tender di masjid. Pemberdayaan masyarakat, a.l. memberikan modal usaha kepada KK miskin.

Seiring dengan berjalannya pemerintahan yang baik, pertumbuhan ekonomi terus meningkat: 4% pada tahun 2000 dan 6,3% pada 2006. PAD (pendapatan asli daerah) juga meningkat: Rp 2 milyar pada tahun 2000 dan Rp 9 milyar pada 2006. Tahun 2006, World Bank memberikan apresiasi berupa bantuan sebesar Rp 4,5 milyar untuk program prakarsa pembaharuan tata pemerintahan daerah. Awal Mei 2007, ketika meninjau komoditi rumput laut yang menjadi unggulan sektor perikanan di Boalemo, World Bank menyatakan ketertarikannya. Abdul Wahab Sunetsa dari Tim World Bank menyatakan bahwa pengembangan budi daya rumput laut di Boalemo tepat dan potensial.

Kabupaten Boalemo yang menjuarai P2WKSS (Program Peningkatan Wanita Keluarga Sehat Sejahtera) se-provinsi Gorontalo selama 4 tahun berturut-turut (2003, 2004, 2005, 2006) ini, terus melaju dengan program kesehatan lingkungan. Barometer derajat kesehatan masyarakat ini terus dipacu hingga ke dusun-dusun. Apalagi, sang bupati memang sedang membangun daerahnya dimulai dari dusun-dusun.

Dalam APBD 2007, Pemerintah Kabupaten Boalemo telah menetapkan lebih berpihak pada rakyat kecil. APBD 2007 lebih diarahkan pada kepentingan rakyat kecil. Komposisi terbesar sekitar 70% dialokasikan untuk belanja langsung, 30% untuk belanja tidak langsung. Untuk mencapai target pembangunan berorientasi kerakyatan, pemerintah telah menetapkan metode pembangunan berbasis dusun.

Menurut Iwan Bokings, dalam pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan publik di desa, sebetulnya yang jadi obyek adalah dusun. Status dusun, jika dilihat dari hak dan kewajibannya, perlu lebih diperbesar dan diatur melalui peraturan perundangan. Ini disebabkan karena di dusunlah bermukim rakyat yang harus diberdayakan. Tapi secara fisik relatif agak jauh rentang kendalinya dari kepala desa. Sebegitu jauhnya dusun dari kendali pusat desa, sehingga relatif hampir seluruh bantuan program/proyek hanya dinikmati oleh rakyat seputar pusat desa.

Di sisi lain, tidak ditetapkannya karakteristik dan program unggulan masing-masing dusun, yang kadang kala seluruh dusun dianggap sama, sehingga sering terjadi bantuan pemerintah/dinas kurang tepat sasaran. Misalnya bantuan bibit/benih pertanian yang diberikan kepada nelayan dan sebaliknya. Karena itu, potensi dusun harus terdata dengan baik. Dengan begitu diketahui, mana dusun yang berlahan sawah, dusun berlahan kering, dusun berlahan kritis, dusun perikanan, dusun peternakan, dan dusun perdagangan/jasa.

Lalu, kandidat doktor administrasi publik Universitas Negeri Makassar (UNM) ini pun menawarkan konsep “Desentralisasi Dusun”. Dusun menjadi pusat pelayanan publik. Dusun menjadi bagian dari pemerintahan Desa, yang otonom. Otonom dalam arti, kepala dusun harus dipilih, desa harus mendesentralisasi beberapa hak dan wewenangnya, kekuasaannya, kepada dusun. “Karena itu, kalau RUU Desa tidak memposisikan Dusun secara otonom, maka kita perlu mengatur lagi RUU Dusun,” kata ayah dua anak ini.

Tak hanya berteori, Iwan Bokings sudah menerapkan sebagian dari konsep desentralisasi dusun tersebut. Antara lain, pemerintah kabupaten Boalemo telah melangsungkan Pilkadus (pemilihan kepala dusun). Dari situ, hasil sudah diperoleh. Dalam penarikan PBB (pajak bumi dan bangunan), Boalemo meraih ranking 10 besar nasional secara berturut-turut pada 2004, 2005, 2006. Kini, per 20 Juni 2007, PBB yang diperoleh telah melampaui target PBB tahun ini, mencapai 127,25%. Dari target Rp 476 juta, realisasi pada bulan Juni Rp 670 juta. Menurut Iwan, salah satu kuncinya adalah berfungsinya aparat Dusun. Dan, kepala dusun pun diberi insentif sebesar Rp 375 ribu per bulan.

Merasa beroleh manfaat, Iwan mencanangkan “Dusun Sehat”, yang mulai dijalani tahun ini. Tapi, yang dimaksud “Dusun Sehat” tak hanya sehat secara lahiriah atau jasmaniah. “Saya mau dusun yang sehat jasmaniah dan rohaniah. Ada keseimbangan antara fisik jasmaniah dan mental rohaniah,” ujarnya.

Soal keseimbangan ini pula yang digagas Iwan dalam transmigrasi terpadu. Pemerintah Boalemo menerapkan sistem akulturasi. Sekitar 60% transmigran lokal bahu membahu dalam satu lokasi dengan 40% transmigran dari luar daerah.

Kedekatannya dengan kaum dhuafa, membuat Iwan hidup sederhana. Pola hidup model ini tak lepas dari pengalaman masa kecilnya. Ayahnya, MN Bokings, memperkenalkan Iwan kecil kepada kematian. Ketika Iwan sakit, sang ayah menanyakan lokasi mana yang dipilih untuk tempat berkubur. Juga, ketika Iwan menjalani operasi menentukan antara hidup-mati di Australia, lima tahun lalu. Iwan bernazar akan memberikan kesempatan hidup kedua kali bagi dirinya untuk kepentingan masyarakat miskin.

Mungkin karena itu, Iwan pernah empat kali menolak gelar “Doctor Honoris Causa”, dari empat lembaga pendidikan swasta di luar negeri. Iwan juga pernah menolak gelar “Khalifah Al Mustaqim” dan “Panglima Pembangunan” dari Fraksi Persatuan Penegak Demokrasi DPRD Boalemo. Ia kembali menolak gelar “Kiai Haji” yang diusung mahasiswa asal Boalemo karena kepeduliannya terhadap program keagamaan. Satu-satunya gelar kehormatan yang ia terima adalah Ta’uwa Lo Madala, setelah para pemangku adat me”maksa”nya. Namun, Iwan tetap berkomentar, “Rakyat Boalemo lah yang lebih layak menerimanya.” Boalemo Bertasbih dan Desentralisasi Dusun, juga ia persembahkan buat rakyat! (shodiqin nursa)

BIODATA
Nama
Ir. H. Iwan Bokings, MM
Tempat Tanggal Lahir
Ayuhulalo, 20 September 1953
Agama
Islam
Jenis Kelamin
Laki-laki
Alamat
Jalan Merdeka Kec. Tilamuta Boalemo
Isteri
Ny. Ha. Kasma Bokings Bouty, SE, MM
Anak
1. Ricky Zulkifly Bokings
2. Riska Nurain Muftadin

Pendidikan :
- SDN II Gorontalo tahun 1964- 1966
- SMP 2 Gorontalo tahun 1967-1969
- SMA Gorontalo tahun 1970-1972
- UNSRAT Manado Fakultas Pertanian 1973-1981
- Magister Management di STIE Widya Jayakarta, Jakarta (1998-2000)
- Mahasiswa S3 Jurusan Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar

Pengalaman Organisasi Selama Studi :
- Pengurus IPSMA/OSIS tahun 1971
- Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Golkar tahun 1971
- Sekretaris Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian UNSRAT (1977-1779)
- Anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) UNSRAT Manado (1979-1980)
- Ketua Perhimpunan Asrama Mahasiswa Perantauan di Manado (1980)
- Ketua Umum HPMIG-Manado (1980)
- Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) Manado (1980)

Pengalaman Organisasi Setelah S1 :
- Ketua Himpunan Pelestari Lingkungan Hidup (HPLH) Nyiur Melambai Kabupaten Bolaang Mongondow (1981)
- Wakil Ketua KNPI Kabupaten Gorontalo (1981)
- Ketua KNPI Kabupaten Gorontalo (1984-1986)
- Ketua ORARI Gorontalo (1985-1987)
- Sekretaris I DPD Golkar Kabupaten Gorontalo ( 1987-1992)
- Ketua DPD Gorkar Kabupaten Gorontalo (1992-1997)
- Ketua DEPICAB SOKSI Kabupaten Gorontalo (1998-2001)
- Penasehat KAHMI Provinsi Gorontalo (2001)
- Ketua DEPIDAR SOKSI Provinsi Gorontalo (2001)
- Ketua DPRD Golkar Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo (2003-2005)
- Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Gorontalo (2006 sampai sekarang)

Pengalaman Kerja :
- Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Utara di Manado
- Kepala Seksi Penyuluhan Pertanian Kabupaten Gorontalo (1984-1985)
- Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kodya Gorontalo (1985-1986)
- Sekretaris Bimas Kabupaten Gorontalo (1986-1992)
- Wks Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Gorontalo (1992-1993)
- Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Gorontalo (1993-1998)
- Ketua BAPPEDA Kabupaten Gorontalo (1998-1999)
- Penjabat Bupati Boalemo (1999-2001)
- Bupati Boalemo pada tanggal 20 Juni 2001 Sampai dengan 20 Juni 2006
- Terpilih ulang pada Periode ke-2 sebagai Bupati Boalemo Provinsi Gorontalo dan dilantik pada 1 Februari 2007 sampai dengan sekarang

Penghargaan :
Dunia organisasi yang digeluti semasa muda telah memperkuat ilmu manajemennya,
hingga membuat dikenal sampai tingkat pusat. Dari situ, berbagai penghargaan
diperoleh, antara lain:
- Penyuluh Pertanian Teladan Nasional (1991)
- Satya Lencana LVRI (1994)
- Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun (1998)
- Manggala Kencana (2002)
- Dan penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional atas kepedulian terhadap pendidikan luar sekolah (2002)

Disamping itu, penghargaan diperoleh pula dari LSM/Non Pemerintah, diantaranya :
- Citra Pembangunan Award (2000)
- The Best Award, Aktivitas SDM dan Keutuhan Persatuan Bangsa (2001)
- Asean Executive Golden Award (2001)
- Profil Eksekutif dan Pengusaha Indonesia (2000-2001)
- Citra Eksekutif Pembangunan Indonesia (2002)
- Adapun penghargaan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan swasta dari luar negeri untuk gelar Doctor Honoris Causa (HC) sebanyak 4 kali dari institute yang berbeda ditolak, karena bertentangan dengan hati nuraninya dan prosedur akademis yang dijunjungnya.
[Profil, FORUM KEADILAN No. 10, 01 Juli 2007]


[...Selengkapnya]

Label:

BS Temmar: Rumah Bagi Semua Orang

Maluku Tenggara Barat (MTB) sedang menata diri. Gugusan pulau-pulau nan cantik yang dimiliki Kabupaten yang berbatasan dengan negara Timor Leste dan Australia itu segera menyusul Bali. Industri pariwisata akan segera dibangun, begitu pula dengan sektor-sektor lainnya yang melengkapi. Berikut wawancara Shodiqin Nursa dengan BS Temmar, Bupati Kabupaten MTB, Provinsi Maluku, di Saumlaki, 6 Juni 2008:

Anda akan menjadikan MTB sebagai rumah bagi semua orang?
Memang MTB adalah suatu daerah baru yang secara sosiokultural mengalami sejarah yang sangat panjang. Dan sejarah yang panjang itu memperlihatkan bahwa masyarakt di MTB ini berada dalam situasi kemiskinan yang luar biasa. Oleh karena itu ketika menjadi kabupaten, kita harus mengentaskan kemiskinan itu, dan menurut saya visi dasar untuk itu ialah menjadikan MTB ini rumah yang nyaman bagi semua orang. Maksudnya bagaimana membuat masyarakat itu hidup dalam ukuran-ukuran yang wajar. Itu yang kita usahakan selama tiga tahun ke depan.

Kapan Anda akan memenuhi kebutuhan masyarakat?
Mulai tahun 2007. Kita mulai berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar atau basic need mereka secara bertahap. Menyediakan air bersih, pelayanan kesehatan harus semakin membaik, pendidikan harus kita konsolidasikan ulang, kemudian kita menata lingkungan desa-desa atau lingkungan pemukiman mereka, kita juga harus menyiapkan sarana dan prasarana termasuk meningkatkan tingkat pendapatan mereka. Oleh karena itu sejak 2007 kita secara bertahap sudah mulai, dan saya berharap di tahun 2012 wajah MTB itu sudah berubah di mana manusia dan masyarakat di kabupaten ini sudah mulai mengalami peningkatan-peningkatan tingkat maupun kualitas kehidupan mereka. Saya kira itu yang menjadi obsesi dasar untuk mewujudkan misi yang saya sebutkan tadi.

Jadi MTB akan menjadi kabupaten yang terbuka?
Memang MTB adalah satu kabupaten terbuka, dan sampai sejauh ini masyarakat di bagian-bagian lain di luar Maluku termasuk dari pulau Jawa sudah memasuki wilayah MTB. Dan karena ini koridor negara republik Indonesia, kita harus bisa menerima mereka apa adanya dan secara bersama-sama kita upayakan MTB ini mengalami kemajuan-kemajuan yang berarti untuk kesejahteraan semua orang, termasuk masyarakat kita yang berasal dari luar. Mereka-mereka terutama tenaga kerja yang mengalami kesulitan di pulau Jawa untuk mendapatkan pekerjaan, ternyata banyak masuk ke MTB, dan setelah mereka melakukan perekerjaan lalu mereka kembali lagi. Itu berlangsung sejak tahun 2007 sampai hari ini. Saya berharap bahwa ke depan mereka tidak lagi menjadi migran sirkular, tapi kalau bisa kita jadikan MTB ini rumah kita semua. Ini juga tergantung dari kesiapan kita menyediakan lapangan pekerjaan dan kebijakan-kebijakan yang kita lakukan.

Lalu, bagaimana Anda menata pendidikan?
Saya diwarisi oleh kondisi pendidikan yang cukup semrawut. Dan karena itu mulai tahun 2007, saya berharap pertengahan 2008 ini konsolidasi manajemen pendidikan pada semua level itu sudah selesai. Dan kita mulai merintis membuka jalur baru bagi output lulusan di MTB tidak lagi ke Ambon, tapi kita mulai merintis ke pulau Jawa. Ada masyarakat MTB yang sudah tertarik dan bahkan menyekolahkan anak mulai dari tingkat SMP, SMA, SMK di pulau Jawa. Nah kita sudah mendorong juga untuk mulai memasuki perguruan-perguruan tinggi di pulau Jawa. Dan secara tradisional memang ada beberapa sekolah di MTB yang memiliki hubungan-hubungan kerjasama dengan lembaga pendidikan di Jawa. Seperti SMA 1 Saumlaki dengan salah satu SMA di Kota Malang. Dan ini akan kita dorong terus, bahkan 2007 sejumlah sekolah mengambil inisiatif untuk melakukan studi tur maupun studi banding ke sejumlah sekolah di pulau Jawa.

Bagaimana dengan pembangunan kesehatan?
Nah bidang kesehatan sudah kita rintis termasuk dengan Departemen Kesehatan. Pada tahun 2008 kita mulai mengujicoba model pelayanan kesehatan untuk 2009, kerjasama Pemda MTB, Depkes dan Unicef. Kita berharap dari ujicoba ini akan menjadi model untuk kita kembangkan di gugus-gugus pulau yang lain.

Pertanian?
Pertanian kita rintis, bahkan dengan sejumlah perusahaan di pulau Jawa –mengembangkan pola pertanian baru di MTB. Pola pertanian yang berkembang di kabupaten ini adalah lahan berpindah, dan ini sangat mengganggu pelestarian lingkungan. Oleh karena itu mulai 2008 ini kita mulai mengujicoba pola pertanian baru yang bersifat menetap. Kita harapkan melalui kerjasama-kerjasama itu sektor pertanian tumbuh dalam produktifitas yang kita inginkan tetapi sekaligus tetap memelihara lingkungan.

Saya kira itu, bidang-bidang lain juga sudah kita rintis, bahkan dalam tahun 2007-2008 kita mendorong pihak TNI Polri kalau bisa mempercepat pembangunan infrastruktur baik kantor maupun infrastruktur lain yang ada di kabupaten kita. Saya berharap dengan hadirnya TNI Polri khususnya angkatan laut dan angkatan darat, kita akan terbantu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan persoalan-persoalan pembangunan di kabupaten kita.

Soal eksplorasi minyak?
Ada 10 perusahaan. Eksplorasi minyak ya memang baru sampai pada tahap penyelidikan umum. Ada juga yang sudah sampai pada tahap eksploitasi. Di pulau Wetar sekarang sedang dirampungkan 1 pabrik tambang nikel. Sedangkan dari yang lain-lain itu baru masih tahap penyelidikan umum. Termasuk gas di pulau Marsela, kita berharap tahun depan konstruksi sumber-sumber gas itu sudah selesai –untuk sepertinya sampai pada tahap eksploitasi.

Pola bagi hasil bagaimana?
Pola bagi hasil saya kira ini terikat dengan Undang-Undang. Yang paling kita harapkan, pertama adalah royalti, dan yang kedua adalah program pemberdayaan masyarakat.

Untuk melibatkan perusahaan ikut memberdayakan masyarakat, adakah rencana program semacam recognisi?
Saya kira begitu, menjadi bagian dari kesepakatan. Kita berharap sarana dan fasilitas umum yang diperlukan masyarakat setempat itu bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di MTB. Jadi misalnya perbaikan permukiman, penyediaan sarana komunikasi, kesehatan, dan bahkan membantu anak-anak setempat bisa terlibat dalam perusahaan-perusahaan tambang tersebut dengan menyekolahkan mereka di pulau Jawa.

Adakah blue print untuk membangun MTB ke depan?
Kita sudah punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 20 tahun ke depan, dan rencana itu kan masih sangat makro. Oleh karena itu melalui RPJM kita sudah melakukan konstruksi tentang arah pembangunan 5 tahun ke depan. Oleh karena itu ada beberapa sektor prioritas, pertama yang mendasar dulu. Penuhi kebutuhan dasar masyarakat dulu yang masih sangat tertinggal. Kita perbaiki dulu pendidikan, kesehatan, pemukiman, menata lingkungan mereka. Saya berharap akhir tahun 2008 ini konstruksi dasar itu sudah mulai menemukan modelnya. Dan mulai tahun 2009 baru kita sampai pada program pemberdayaan masyarakat bagi peningkatan kesejahteraan mereka. Termasuk pada 2009 itu kita sudah berani mengajak investor ke MTB.

Bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan?
Sebetulnya persoalan dasar di MTB terutama yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah pertama pengetahuan dan kedua ketrampilan. Serta yang ketiga, melalu rapat koordinasi yang kita bicarakan, yaitu infrastruktur bagi masyarakat. Kita memerlukan jalan, hampir di semua pulau. Kita memerlukan jalan dari desa-desa ke perkebunan masyarakat. Tetapi itu tidak cukup, kita memerlukan masyarakat yang memahami atau mengetahui tentang perkembangan di bidang kerja mereka masing-masing. Misalnya pertanian, kita sudah harus memperkenalkan pertanian modern: produktifitas tinggi dan tidak merusak lingkungan.

Ada banyak hasil karya masyarakat MTB tak terpasarkan ke luar, bagaimana Anda menyiasatinya?
Pasar lokal kita sudah mulai, pasar domestik juga sudah mulai kita siasati dengan mendirikan kantor perwakilan Kabupaten MTB di Surabaya. Melalui kantor perwakilan itu, pertama kita mengakses perkembangan harga pasar terhadap komoditi masyarakat kita –tetapi juga melakukan promosi terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat kita. Nah dengan kesiapan seperti ini, paling kurang pada 2009 kita sudah bisa memasuki pasar domestik. Kalau pasar internasional, saya kira itu belum menjadi agenda kita. Mungkin 2010 kita mulai melirik pasar internasional.

Apa harapan Anda dengan dilaksanakannya rapat koordinasi percepatan pembangunan wilayah perbatasan di MTB?
Harapan permulaan saya sudah tercapai. Para partisipan memiliki empati yang sangat dalam terhadap MTB ini. Harapan saya yang kedua ialah para partisipan juga telah menyaksikan dengan mata kepala tentang realita MTB, dan harapan ketiga ialah kalau yang sudah kita sepakati itu mulai kita kerjakan bersama-sama. Saya memiliki record khusus kepada para peserta, teristimewa bapak Deputi Bidang Pengembangan Wilayah Khusus. Empati beliau terhadap kabupaten kita luar biasa. Empati itu akan merupakan entry point bagi kita untuk mulai membicarakan tentang program dan kebijakan-kebijakan yang sekaligus bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kita di kabupaten ini.

Bagaimana dengan pengembangan wisata, akan menjadi seperti Bali?
Kita tidak harus sama dengan Bali. Tapi paling sedikit MTB sudah memanfaatkan potensi wisata yang ada di sini, dan itu menjadi salah satu sumber peningkatan pendapatan daerah termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dinas Pariwisata MTB termasuk di dalamnya kita sudah datang ke pemerintah pusat meminta agar dibuka port of entry. Dari port of entry itu saya berharap kunjungan-kunjungan dari luar, apakah kunjungan pemerintahan apakah itu kunjungan bisnis dst, itu akan memperkenalkan MTB, hingga pada waktunya mulai tahun 2010 kita memasuki wilayah pembangunan dunia pariwisata di kabupaten kita.

Problem listrik byar pet, cocokkah dengan tawaran KPDT soal pengadaan listrik alternatif?
Saya kira sangat cocok. Penerangan listrik untuk kebutuhan rumah tangga adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Maka energi listrik alternatif seperti listrik tenaga surya, memang kita butuh dalam skala yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan penerangan hampir di semua desa. Sementara itu untuk tujuan-tujuan produksi kita memerlukan energi alternatif misalnya tenaga surya atau tenaga angin dalam skala lebih besar sehingga membantu upaya kita mulai membangun sektor industri. Nah beberapa waktu yang lalu melalui pihak swasta, terutama yang berminat berinvestasi di bidang pertambangan, kita juga sudah membangun kerjasama-kerjasama untuk kemungkinan penelitian dan penerapan listrik tenaga arus (laut). Dan sejumlah investor sesungguhnya sudah memperlihatkan ketertarikan mereka, bahkan komitmen mereka untuk kita mulai mengeksplorasi arus laut yang ada di MTB untuk pembangkit listrik.

Termasuk penelitian LAPAN?
Dari penelitian LAPAN, yang paling visible adalah pertama tenaga surya dan kedua tenaga angin. Tetapi pada musim hujan atau pada bulan tertentu keadaan angin di wilayah kita ini hampir-hampir tidak ada, oleh karena itu kita sedang berpikir bagaimana menggabungkan dua sumber energi listrik ini. Mudah-mudahan melalui rapat koordinasi yang kita lakukan, implementasinya melalui pengkajian-pengkajian –kita akan sampai pada kebijakan-kebijakan dalam rangka penerapan teknologi tersebut.

Soal PLN?
Kita tidak berharap banyak pada PLN. Saya sudah usulkan ke Kanwil PLN di Ambon supaya ranting-ranting PLN yang ada di MTB ini bisa dikonsolidasi menjadi cabang. Tetapi persyaratan-persyaratan mereka untuk itu luar biasa ketatnya, sementara ranting-ranting pada saat ini yang tersebar di kabupaten kita ini memiliki manajemen yang sangat buruk. Dan manajemen yang sangat buruk itulah yang menyebabkan pelayanan listrik di kabupaten kita ini benar-benar sangat memprihatinkan. Saya memperoleh informasi dari ranting-ranting di sejumlah wilayah, pada saat mau menagih rekening baru listrik itu dinyalakan. Sesudah tagihan itu diperoleh, kemudian mati lagi. Oleh karena itu saya sendiri sudah tidak mau balik lagi dengan PLN. Saya lebih cenderung merekomendasikan energi listrik alternatif di luar PLN, kalau ada pihak swasta yang berminat ke sini. Saya kira lebih baik kita dorong daripada capek-capek, bolak-balik Ambon-Tual untuk membicarakan ini tapi sampai sejauh ini tidak pernah ada solusi.
Anda bertekad membangun MTB tanpa merusak lingkungan?
MTB memiliki karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat rentan. Dan selama ini tidak pernah ada kebijakan yang berarti dalam penataan lingkungan hidup. Karena itu sejak saya menjabat pada 2007, salah satu aspek yang menjadi perhatian utama saya ialah soal pelestarian lingkungan.*


[...Selengkapnya]

Label:

Patung Tumbur dari “Forgotten Islands of Indonesia”

Menyulap kayu hitam menjadi barang kerajinan yang apik. Itulah salah satu usaha masyarakat Desa Tumbur, berupa karya seni pahat. Kebiasaan ini melekat sejak berabad-abad silam.

Seperti nama desa di mana patung itu dibikin, maka nama patung yang dibuat dari kayu hitam (juga kayu salamudi dan kayu besi) hasil pahatan masyarakat Desa Tumbur, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), pun diberi nama patung tumbur. Usaha pembuatan patung tumbur berlangsung secara turun temurun, dan menggambarkan aktivitas kehidupan manusia purba sejak ribuan tahun silam.

Hal ini tergambar dari aneka motif yang melukiskan kehidupan sebagai nelayan, petani, berburu, berperang dan acara ritual. Karena itu, karya pahatan warga Tumbur tak terbatas pada patung, tetapi ada juga hasil pahatan apik berupa perahu yang ditumpangi oleh beberapa orang yang menggambarkan etos kerja dan solidaritas yang mantap. Selain itu, ada produk asesori berupa kalung berbandulkan patung kecil nan elok.

Namun begitu, nama patung tumbur lebih populer. Mengapa demikian? Jawabannya mungkin karena ragam atawa motifnya lebih banyak. Ada patung tongkat dagu (persembahan), yang menggambarkan seorang kakek mempersembahkan suatu maksud kepada yang dianggap sebagai Tuhan agar mengabulkan kehendaknya.

Motif patung yang berdiri atau duduk sambil memegang tombak dan parang, menggambarkan pertahanan wilayah atau merencanakan perang dengan kampung lain untuk memperluas kekuasaan. Motif patung yang memegang tombak dan kepala manusia, menggambarkan menang perang dan sebagai buktinya membawa kepala manusia yang dibunuh. Motif patung yang sedang berdiri memegang kapak dan sebuah balok di pundak, menggambarkan seorang lelaki tua baru pulang dari hutan sambil membawa hasil usaha berupa sebuah balok.

Lalu, motif patung yang membawa busur, anak panah dan parang di pinggang, menggambarkan mata pencahariannya adalah berburu babi di hutan untuk menghidupi keluarganya. Motif patung keko kalabasa, menggambarkan seorang wanita baru pulang mengambil air dengan menggunakan wadah kalabasa. Motif patung yang sedang duduk silang kaki dan kedua tangannya bertopang dagu, menggambarkan kegembiraan seorang lelaki tua sedang duduk merenungkan nasib hidupnya. Motif patung yang berdiri memegang tombak dan silang salah satu kakinya di tombak, menggambarkan kegembiraan seorang tete tua (panglima perang) yang melampiaskan kepuasannya dengan membuat atraksi karena menang dalam perang.

Berikutnya adalah motif patung yang sedang duduk lipat kakinya dan kaki sebelahnya berdiri sambil memegang tempat minuman, menggambarkan seorang tete tua sementara duduk sambil minum sagero (tuak) di mana cangkirnya terbuat dari ruas bambu atau sasou (tempurung kelapa). Motif keko bakol, menggambarkan aktivitas seorang ibu yang baru pulang dari kebun sambil membawa umbi-umbian dan hasil kebun lainnya yang dimasukkan dalam bakul sebagai bahan makanan bagi keluarganya. Motif patung memegang parang dan kepala manusia, menggambarkan pada zaman dahulu orang yang pergi berperang harus membawa kepala manusia --setelah itu mereka berpesta sambil minum sopi (arak) kemudian kepala manusia tersebut dibawa ke hutan sebagai suatu persembahan kepada arwah leluhur dengan cara meletakkannya di bawah pohon besar.

Itulah sebelas motif patung tumbur yang penuh makna dari sejarah panjang MTB, yang berada di wilayah provinsi Maluku. Sebuah daerah yang memiliki keindahan panorama pulau-pulau dan wilayah lautnya ini, disebut oleh Nico De Jonge dan Toos Van Dijk (1995) “forgotten islands of Indonesia”.

Kabupaten MTB yang dibentuk berdasarkan UU No. 46 tahun 1999 ini memang tersusun atas gugusan pulau-pulau nan elok. Daerah ini memiliki wilayah seluas 125.442,4 Km2 yang terdiri lautan seluas 110.838,4 Km2 (88,37 %) dan daratan seluas 14.584 Km2 (11,63 %). Oleh karena itu filosofi pembangunan di MTB diarahkan dan dibangun dari laut ke darat dengan mendewakan laut dan bertumpu di darat.

Secara geografis, daerah ini berada pada posisi 6°- 8°.30' LS dan 125°.45' - 133°BT yang berbatasan langsung dengan Laut Banda, Laut Timor dan Lautan Arafura, Selat Ombai dan Selat Wetar, serta Laut Arafura. Topografi wilayahnya sangat bervariasi mulai dataran rendah, berbukit dan bergunung.

Keadaan alam nan elok membuat masyarakat MTB mampu menghasilkan karya seni pahatan yang juga elok dengan detail yang sempurna. Lihat saja hasil berbagai jenis kerajinan yang diproduksi di Desa Tumbur dan sekitarnya itu!

Dengan berbekal kapak, gergaji, pahat, pisau dan amplas, masyarakat Tumbur bisa menghidupi diri dan keluarganya dengan menyulap kayu hitam (juga kayu salamudi dan kayu besi) menjadi beragam motif patung, perahu dan asesori lainnya seperti kalung, bandul kunci dan sisir. Rata-rata produksi 1.500 buah per bulan. Setiap orang mampu menghasilkan 1 buah per dua hari. Jadi ada 100-an orang yang terlibat sebagai pengrajin. Kalau dirata-rata harga sebuah patung Rp 100 ribu, maka setiap pengrajin menghasilkan uang Rp 1,5 juta per bulan.

Menengok Patung Tumbur di Desa Tumbur
Melakukan perjalanan menuju Desa Tumbur, tidaklah sulit. Dari Ambon, naiklah pesawat Trigana Air jurusan Saumlaki, kira-kira ditempuh dalam 2 jam. Nah, dari Saumlaki, ibukota Kabupaten MTB itu, kita tinggal menuju lokasi pengrajin patung tumbur yang berjarak 27 kilometer.

Sesampai di Desa Wisata itu, kita bisa menyaksikan proses produksi. Kayu dibuat balok ukuran 12x10x150 cm atau 5x3x150 cm; balok dipotong sesuai panjang patung; lalu menggambar motif yang akan dipahat; memahat sesuai motif; menghaluskan dengan cara melimar, serut dengan pecahan kaca, lantas diamplas. Maka jadilah patung tumbur!

Patung tumbur tentu terdiri dari berbagai ukuran. Tinggi patung kategori 1 adalah ukuran 30 cm, bisa dibuat 29-33 cm. Tinggi patung kategori 2, ukuran 25 cm, bisa dibuat 24-26 cm. Tinggi patung kategori 3, ukuran 20 cm, bisa dibuat 19-21 cm. Tinggi patung kategori 4, ukuran 15 cm, bisa dibuat 14-16 cm. Lalu ukuran 10 cm untuk model-model modifikasi asesori seperti mainan kunci. Harga patung-patung ini berkisar antara Rp 15 ribu hingga Rp 500 ribu, tergantung pada besar kecilnya ukuran patung.

Patung berukuran 15 cm Rp 15 ribu, 20 cm Rp 20 ribu, 25 cm Rp 25 ribu, 30 cm Rp 30 ribu, 50 cm Rp 50 ribu, 1 meter Rp 250 ribu; serta perahu 30 cm Rp 250 ribu, 40 cm Rp 350 ribu dan perahu panjang 1 meter Rp 500 ribu.

Sambil menikmati pemandangan pulau-pulau beserta lautnya yang indah sekaligus mengunjungi Desa Tumbur adalah pengalaman yang mengasyikkan. Di sana, kita akan mendapati banyak hal: panorama elok di wilayah perbatasan dan bisa berbelanja karya agung masyarakat Tumbur. [Profil Usaha, Opini Indonesia Tahun III Edisi 105, 23 Juni-29 Juni 2008]



[...Selengkapnya]

Label:

Jakarta: Ruang Publik yang Menyesakkan

Penuh sesak. Itulah kesan pertama bagi orang yang pertamakali datang ke Jakarta. Sepanjang mata memandang kita akan dihadapkan pada jalanan padat, gedung-gedung pencakar langit menjamur, angkutan umum dijejali penumpang, dan berbagai kesesakan lainnya. Begitu kita terbiasa hidup di Jakarta, maka kesesakan adalah sebuah keniscayaan. Hidup penuh sesak ketika berada di rumah kumuh di belakang gedung pencakar langit (mal megah dan lain-lain), di gang-gang jalan yang dipenuhi parkiran mobil, hingga ketika bekerja –bagi para pedagang kaki lima, para buruh pabrik, dan pekerja-pekerja kasar lainnya.

Tak Sesak Sesaat
Untuk mengimbangi pemandangan yang terasa sesak, pemerintah DKI Jakarta telah membuat beberapa ruangan hijau. Antara lain berupa taman kota yang berada di beberapa pinggiran sungai dan yang terasa menonjol bisa dinikmati khalayak adalah Taman Ruang Agung Monas. Sayangnya, beberapa taman kota kurang terawat seperti Taman Bersih Manusiawi dan Wibawa (BMW) yang berada di sebelah timur Jalan Ancol Baru, Taman Karapan Sapi di Volker dengan luas 9.000 meter dan Taman Agung Sunter di Sunter dengan luas 5.000 meter.

Keberadaan taman kota tidak hanya berfungsi untuk mempercantik penampilan tata ruang kota, tetapi juga berfungsi sebagai paru-paru kota –apalagi kota Jakarta merupakan kota yang tingkat polusi udaranya tinggi. Selain dapat berfungsi sebagai paru-paru kota, taman kota juga dapat difungsikan sebagai tempat interaksi warga kota Jakarta.

Dalam rangka mempercantik tata ruang kota, pemerintah DKI Jakarta juga telah berupaya menindak kendaraan yang parkir secara liar. Penertiban tempat parkir yang dilakukan di sejumlah tempat di Jakarta pada 2 Mei 2008 menjaring 128 mobil: 106 ditilang dan 22 dikunci. Dua pekan berikutnya, 38 mobil diderek dan 36 mobil digembok. Sayangnya, upaya penertiban kendaraan yang parkir sembarangan juga berjalan tak maksimal. Buktinya, masih banyak kendaraan yang parkir di jalan maupun di trotoar. Pemandangan ini bisa disaksikan di jalan-jalan kawasan Bendungan Hilir, termasuk di jalan pintu belakang rumah sakit Mintohardjo. Di kawasan ini para pejalan kaki tak mendapat tempat.

Merespon penobatan kota Jakarta sebagai kota berudara paling buruk ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok, pada 1995, pemerintah DKI Jakarta juga tak tinggal diam. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pencemaran Udara pun dibuat, dilengkapi dengan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Sayangnya, meski telah diterapkan selama dua tahun lebih, Perda (yang juga mengatur tentang rokok) dan Pergub itu belum menunjukkan taringnya. Kalau kita naik angkutan umum dan KRL nonAC, cemaran kepulan asap rokok masih terasa menyengat dan menyesakkan, terutama bagi penumpang bukan perokok. Hal yang sama terjadi di banyak ruang publik lainnya seperti di terminal bus, stasiun kereta api, bandar udara, ruang seminar di hotel-hotel berbintang, dan bahkan di pusat-pusat olah raga seperti GOR Senayan dan lain-lain.
Penobatkan UNEP (United Nations for Environmental Project) terhadap kota Jakarta sebagai kota berudara paling buruk ketiga tampaknya tak beranjak membaik. Ketika itu, predikat terburuk ketiga didasarkan pada kondisi banyaknya jumlah kendaraan, industri, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil, sehingga menghasilkan polutan CO, HC, NOx, SOx, Pb, dan TSP (partikulat tersuspensi) yang mencemari udara. Nah, bukankah keadaan yang memperburuk udara sekarang ini juga belum berubah membaik?

Sesak Melihat Kota Budaya yang Rusak
Sejarah kota Jakarta atau Batavia juga identik dengan kota budaya. Kota Jakarta tak hanya identik dengan sejarah kebudayaan Betawi, tetapi jauh sebelumnya sudah ada kebudayaan China peranakan atau Tionghoa. Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, peninggalan kebudayaan Tionghoa yang bersejarah masih banyak meninggalkan jejak di bangunan rumah, kelenteng, gedung, dan masjid yang berarsitektur Tionghoa. Sekarang sudah banyak yang hancur karena dilindas oleh kepentingan segelintir orang.

Yang sudah dinyatakan sebagai cagar budaya, Gedung Candra Naya, yang pernah dipakai Sin Ming Hui atau Perhimpunan Sinar Baru pada tahun 1946 itu, kondisinya juga tidak terawat. Beda dengan daerah lain seperti Semarang, bangunan bersejarah Tionghoa masih terawat. Di banyak kota-kota di Cina sendiri, bangunan tua sejak zaman Dinasti Yuan (1279-1368) masih terawat baik.

Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ, yang menulis buku Historical Sites of Jakarta (2000) dan Gereja-gereja Tua di Jakarta dan Masjid-masjid Tua di Jakarta (2003), sebelum tahun 1740 rumah orang Tionghoa masih banyak di Batavia atau Kota Jakarta. Di masa kolonial Belanda, rumah Tionghoa banyak yang dibakar dan dibongkar. Namun demikian masih ada peninggalan bersejarah yang dapat ditemukan sekarang, walau tak banyak. Itu pun kondisinya memprihatinkan.

Bangunan tua berarsitektur Tionghoa yang tersisa dan masih terawat hanya berupa klenteng. Sedangkan rumah-rumah berarsitektur Tionghoa di kawasan Senen, Glodok, Pinangsia, walau masih ada yang tersisa, kondisinya memprihatinkan. Ini sangat disayangkan, karena dari dulu banyak juga sumbangan etnik Tionghoa dalam pembangunan kota Jakarta.

Arsitektur Tionghoa tidak hanya ditemukan di rumah, gedung, dan klenteng Tionghoa, tetapi juga ditemukan pada bangunan Masjid, seperti pada bangunan Masjid Kebun Jeruk, Masjid Tambora, dan Masjid Angke. Jika di Masjid Kebun Jeruk dan Tambora dengan pengaruh Tionghoa cukup kuat, maka di Masjid Angke juga ada pengaruh arsitektur Belanda.

Menengok Jakarta Tempo Dulu
Cerita dalam buku-buku lama menggambarkan bahwa Jakarta sebagai kota yang menyenangkan dan sejuk. Ketika masih disebut Batavia, berpusat di sekitar Museum Fatahillah, terdapat lima jalan utama yang menjadi akses masuk dari wilayah pinggiran. Di kedua sisi jalan utama yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan Ancol dibuat taman. Batavia dikelilingi oleh hutan primer, yang diperkirakan masih bertahan hingga abad ke-18. Bangunan masjid dan gereja yang kini disebut masjid-masjid tua dan gereja-gereja tua kian memperkaya khazanah kota Jakarta yang indah dan menawan kala itu.

Mari menengok Jakarta tempo dulu, yang indah dan memerhatikan ruang publik yang enak dinikmati. Kala itu, orang-orang kecil yang bekerja keras dengan memeras keringat tak harus disingkarkan demi mengatur tata ruang Jakarta.

Orang-orang kecil yang menjadi pedagang kaki lima bukanlah obyek untuk diusir dan disingkirkan. Mereka punya hak hidup dan punya hak untuk berusaha di mana saja di wilayah Indonesia. Demikian pula dengan para pendatang yang kerap diusir gara-gara tak ber-KTP Jakarta, sebab keadaan penuh sesak tidak selalu disebabkan oleh banyaknya jumlah orang yang berurbanisasi.

Jadi, cara menata kota Jakarta supaya tidak terasa penuh sesak dan menyesakkan adalah soal gampang. Salah satunya adalah dengan menengok Jakarta tempo dulu. Lantas, libatkan lebih banyak orang (termasuk orang-orang yang dipinggirkan, dimiskinkan dan ditelantarkan) dalam menata ruang publik Jakarta agar kian bisa dinikmati. Dengan ulang tahun Jakarta ke-481, mari kita mulai! [Perspektif, Opini Indonesia Tahun III Edisi 105, 23 Juni-29 Juni 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Mendorong Maluku Tak Malu-Malu Maju

“Selamat datang Pak Menteri..,” begitulah seorang master of ceremony (MC) membuka percakapannya dalam menyambut kedatangan Deputi Menneg PDT Bidang Pengembangan Daerah Khusus Ir Tatag Wiranto MURP di Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Provinsi Maluku, Selasa dua pekan lalu.

Mengapa demikian? Pasalnya tentu karena pegawai negeri sipil (PNS) di daerah tak begitu mengenali wajah para menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang umumnya terlalu sibuk di Jakarta. Penantian berbulan-bulan menunggu kedatangan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Ir HM Lukman Edy MSi membuat sikap kelewat semangat masyarakat MTB di mana menteri yang bersangkutan telah memastikan hadir.

Namun, ternyata Pak Menteri mendadak berhalangan hadir. Dan kabar batalnya kedatangan menteri yang baru diketahui beberapa jam sebelum acara penyambutan, membuat sang MC keliru menyebut tamu yang hadir: Pak Deputi jadi Pak Menteri. Rombongan yang hadir bersama Pak Deputi pun tersenyum simpul.

Meski demikian, pesan Menneg PDT yang diwakilkan kepada Deputi Menneg PDT Bidang Pengembangan Daerah Khusus itu tak mengurangi substansi digelarnya Rapat Koordinasi Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP). Rapat Koordinasi yang dihadiri oleh peserta lintas departemen yang datang dari Jakarta itu berlangsung pada 3-6 Juni di Saumlaki, MTB.

Kabupaten MTB sebagai kabupaten perbatasan memiliki 13 pulau terluar –10 di antaranya telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah-- dan berbatasan dengan negara Timor Leste dan Australia, memiliki karakteristik kepulauan.

Nah, karena itu tugas Tatag Wiranto dalam rapat koordinasi P2WP yang diprakarsai Kementerian PDT itu sangat maksimal, yakni bagaimana mendorong wilayah perbatasan sebagai beranda depan NKRI. Selanjutnya beberapa langkah berikut, pertama, menyusun dan menyelaraskan program serta rencana strategis pengembangan wilayah perbatasan bersama sektor-sektor terkait.

Kedua, mengamankan wilayah perbatasan dari kegiatan ilegal serta memfasilitasi pergerakan barang atau orang secara sah, mudah dan legal. Ketiga, mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat MTB. Keempat, ikut menjaga dan memelihara ekosistem kepulauan yang tetap lestari.

Lantas, bagaimana menggerakkannya Pak Menteri, eh.. Pak Deputi? Menurut Tatag Wiranto, harus disiapkan infrastruktur dasar untuk pelabuhan dan lapangan terbang. Kemudian listrik. Selain itu, menyusun suatu rencana investasi untuk memberikan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Kemudian infrastruktur-infrastruktur pendukung untuk perkotaan dan perdesaan. Untuk perdesaan, yang paling penting di setiap komunitas itu harus ada listrik, air bersih dan telekomunikasi. Lantas, mengembangkan kerjasama dengan perbankan untuk membuka lahan usaha: yang unggul saja. “Kemudian kita membuat sektor pengembangan marine. Industri dan parawisata. Cukup itu dulu. Mungkin 5 tahun kita kerjakan,” ujar Tatag.

Sementara soal investasi, “Nanti kita bicarakan dulu, kita tidak tahu investasinya berapa. Yang penting rencananya dulu. Ini unggulan, karena menurut saya, dengan pariwisata itu kita membuka link ke Australia, turis Australia harus masuk ke sini. Oleh karena itu pelayanan terpadu untuk exit entry harus bagus, dengan misalnya mempermudah urusan visa,” tambah Tatag. Dengan begitu, menurutnya, “Harus ada center di daerah pariwisata itu, lokasi-lokasinya kita tata betul sampai dia menjadi unggulan.”

Untuk listrik, PT PLN (Persero) dan Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) telah menandatangani kesepakatan pembangunan kelistrikan di daerah tertinggal, April lalu. KPDT menargetkan tahun 2008 mampu menerangi 3.000 desa, dari total 32.000 desa berkategori tertinggal. Saat ini ada 32.000 desa tertinggal, yang otomatis belum masuk listrik. Sepertiganya, sekitar 10.000 desa atau 6 juta KK diperkirakan tidak masuk jaringan listrik PLN 5-10 tahun ke depan. Untuk yang 6 juta KK tersebut, telah dimintakan solusinya kepada Departemen ESDM. Penandatanganan telah dilakukan akhir Maret lalu. Sedang sisanya, diperkirakan dapat dimasuki jaringan PLN dalam lima tahun ke depan.

Kebutuhan listrik untuk desa tertinggal mencapai 600 megawatt (MW). Defisit ini dapat dipenuhi dengan membangun pembangkit bertenaga terbarukan, seperti tenaga surya, mikrohidro dan angin. Pembangkit model ini sangat cocok untuk memenuhi minimnya penerangan di MTB. Byar pet listrik di MTB akan segera usai jika sumber angin yang besar dan pusaran air laut yang tiada henti itu, dipergunakan sebagai tenaga untuk menerangi MTB.

Jika semua potensi yang ada digerakkan, melibatkan semua stakeholder, pemerintah, PLN, swasta, Pemda, dan masyarakat, kebutuhan penerangan di MTB akan segera terpenuhi. Bahkan, menurut Tatag, ada sistem kelistrikan bertenaga magnet yang hanya membutuhkan biaya awal saja. Soalnya, alat ini akan bergerak terus secara magnetik dengan hanya dihidupkan melalui aki. Dengan harga sekitar Rp 300-an juta untuk penerangan 40-an KK, alat ini terbilang terjangkau.

Dengan demikian, KPDT yang telah menerapkan program desa terang mencakup 120 desa di 47 kabupaten (2006), 170 desa di 77 kabupaten (2007) dan ditargetkan dapat mencapai 450 desa di 260 kabupaten pada tahun ini, kian mudah menggapainya.

Selain itu, demam lingkungan yang melanda KPDT dengan membuat tema “Green Development” sebagai program prioritas pembangunan pada 2008, yang meliputi lima program prioritas, yakni green energy, green estate, green bank, green movement dan green belt, dapat segera terwujud.

Dengan green energy, maka pemanfaatan sumber energi alternatif untuk desa tertinggal yang belum sepenuhnya tersentuh listrik akan segera menikmati terangnya listrik. Sedangkan green estate adalah penanaman satu juta pohon di desa-desa tertinggal dengan menanam tanaman produktif. Green bank, yakni mendirikan micro banking di perdesaan terkait pengembangan ekonomi lokal. Green movement adalah pembentukan kader penggerak pembangunan satu bangsa, yakni penguatan kelembagaan yang ada.

Green belt adalah program untuk desa tertinggal yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Selama ini banyak desa yang berbatasan langsung dengan negara tetangga justru berstatus tertinggal dan membuat negara tetangga lebih menggiurkan. Menurut Tatag Wiranto, perlu diperkecil jarak kesenjangannya agar wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga memiliki kesejahteraan yang sama dengan tetangganya. Bahkan harus lebih baik.

Jadi, sudah waktunya memang, mendorong Maluku Tenggara Barat tak malu-malu untuk maju. Daerah yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia itu, harus menggenjot pembangunan secara terpadu: paradise of hiterland?[Figur, Opini Indonesia Edisi 104 / Tahun III / Tanggal 16 Juni - 22 Juni 2008]



[...Selengkapnya]

Label:

Menyulap Kaleng Bekas Jadi Burung

Burung kaleng buatan Kusnodin terbang ke mana-mana. Dari Magelang hinggap ke pulau-pulau besar Indonesia, hingga menclok ke mancanegara semacam Jerman, Austria dan Amerika Serikat.

Orang-orang biasa dengan penghasilan biasa-biasa saja: cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, tampak lebih bersahaja. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan tanpa melupakan lingkungan sosialnya. Maka, sudah sewajarnya jika dari sana lahir sebuah budaya yang santun, guyup rukun, saling menghormati, saling membantu, alias damai, tenteram dan nyaman.

Dari sana pula kebiasaan menjaga lingkungan lestari, jalan-jalan dan sungai yang bersih, terus terawat. Tanpa banyak cakap, sebuah kerja kreatif pun lahir.

Kita sering melihat tempat sampah yang terbuat dari kaleng. Bentuknya seperti tabung. Di bagian atasnya berfungsi sebagai asbak dan di bagian tengahnya dibiarkan bolong berbentuk bundar. Bolongan ini sengaja dirancang untuk mempermudah orang membuang sampah. Tabung sampah berbentuk tabung ini biasa kita temukan di bank, mal dan tempat keramaian lainnya. Waktu kita mengantri di bank, maka kita berbaris memanjang dan dibatasi oleh sebuah pembatas. Pembatas itu juga terdiri dari beberapa tiang yang terbuat dari kaleng, di mana masing-masing tiang itu dihubungkan oleh seutas tali.

Kita juga sering melihat gemerlap lampu panggung? Tepatnya lampu panggung yang terdapat di kanan dan kiri panggung bagian depan. Lampu panggung itu seperti kubah dan disambung dengan sebuah tabung. Kita juga biasa melihat dandang, oven, pencetak roti dan seterusnya. Semuanya terbuat dari kaleng. Kita dapat menyaksikan para pengrajin kaleng tersebut. Usaha home industry yang mengandalkan kerja kreatif ini dapat ditemukan di daerah Magelang, Jawa Tengah.

Salah seorang yang mewujudkan kerja kreatifnya dan memperoleh penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarganya, tentu tanpa melupakan kepedulian terhadap lingkungan sosial, adalah Kusnodin. Ia menyulap kaleng bekas menjadi aneka jenis burung (juga ayam jago). Karya-karya Kusnodin ini berkelas dan berkualitas. Buktinya, hasil karyanya menyebar ke mana-mana: di dalam negeri dapat dijumpai di hampir semua pulau-pulau besar Indonesia seperti pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua; sementara para konsumen dari luar negeri seperti Jerman, Austria dan Amerika Serikat, mendapatkan berbagai jenis burung kaleng nan cantik ini melalui pihak ketiga.

Karena bahan baku aneka jenis burung yang dibikin Kusnodin umumnya berasal dari kaleng bekas, itu berarti ia telah menyelamatkan lingkungan dari pengrusakan. Otomatis penduduk yang tinggal di sekitar rumah Kusnodin tak lagi membuang kaleng bekas, melainkan menjualnya ke tempat usaha pria yang memulai menyulap kaleng bekas menjadi aneka jenis burung itu pada 1987.

Pada tahun itu, 1987, Kusnodin memantapkan diri memulai bergelut di dunia kerajinan, terutama kerajinan kaleng. Awalnya, ia memproduksi beragam jenis kerajinan kaleng, namun di tengah perjalanan usahanya ia memilih spesialisasi produksi, yakni menyulap kaleng bekas menjadi aneka jenis burung. Umumnya jenis burung bangau, merak dan garuda dengan beragam ukuran, dari 20 cm sampai 50 cm. Demikian pula dengan harga jual, dari mulai Rp 95.000,- hingga Rp 1.750.000,-

Dengan alat sederhana seperti gunting, palu, tatah, tang, solder, dilengkapi meja kerja serta keperluan finishing, tangan-tangan terampil yang tersebar di sekitar rumah Kusnodin, mampu memproduksi burung kaleng sekitar 3.000-5.000 “ekor” per bulan. Sebagian besar produksi berukuran 20 cm, yang dijual dengan harga Rp 95 ribu per “ekor”. Dengan rata-rata keuntungan per bulan Rp 30 juta.

Sekitar 90 pekerja yang membantu menyulap kaleng bekas menjadi aneka jenis burung itu juga mendapatkan hasil yang lumayan setiap bulannya. Setiap pekerja setidaknya menghasilkan 300 “ekor” burung kaleng per bulan dikali Rp 5.000, maka tak kurang pendapatan rata-rata pekerja di bawah komando Kusnodin adalah Rp 1.500.000,- per bulan. Lumayan bukan?

Guyup, rukun dan menghasilkan. Itulah suasana usaha rumahan Kusnodin yang ia beri nama “Pengrajin Kaleng Karya Baru”. Mungkin betul, aneka jenis burung dari kaleng itu terbilang karya baru dibanding karya dari kaleng lainnya seperti dandang. Lagian, hasil karya tangan-tangan terampil di bawah manajemen Karya Baru ini tak menggunakan kaleng baru, tetapi kaleng bekas yang disulap menjadi barang baru.

Jadi, kalau kita tertarik berusaha sendiri atau bahu membahu membuka usaha semacam home industry, ternyata tak harus memiliki modal uang terlebih dahulu. Namun, yang pasti dan harus dimiliki adalah modal semangat lalu kerja keras. Dengan semangat dan kerja keras, maka keterampilan segera dimiliki dan uang pun segera dipunyai. Kusnodin adalah contoh di mana dengan modal keyakinan dan tekad dapat mendatangkan uang cukup bahkan merembet ke para tetangganya. Maka, bagi pembaca yang ingin mandiri dengan berusaha sendiri, berbuatlah dan terus berbuat!

Borobudur Borongan
Siapa tak mengenal Candi Borobudur? Orang mancanegara pun rata-rata mengenal Candi yang tersohor di dunia itu. Bangunan raksasa dengan arsitektur yang luar biasa hebat itu dibangun oleh nenek moyang bangsa Indonesia tempo dulu. Nah, Candi Borobudur yang tak tertandingi –dari sisi kontruksi, arsitektur, interior-eksterior, bahan bangunan yang dipakai, seni-budaya dan keunikan-kekhasan dan lain-lain-- hingga kini itu, terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Di daerah inilah Kusnodin dan 90 pekerja seni kerajinan kaleng itu lahir dan besar, lalu merengkuh kehidupan dengan cara alamiah: harmoni yang sesungguhnya, dalam pengertian bahwa dinamika kehidupan selalu ada dan terus terjadi tetapi semua perbedaan yang ada pada mereka justru melekatkan solidaritas kemanusiaan.

Mau memuaskan plesiran dengan menikmati aneka kerajinan dan makanan? Magelang adalah gudangnya. Kita bisa menikmati komoditas agro, yakni padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Di beberapa kawasan home industry, kita bisa mengoleksi berbagai produk kerajinan dengan harga terjangkau: kriya kayu, burung kaleng, pigura kuningan-tembaga, replika kapal yang mengarungi samudera, sapu payung, boneka kapas dan kerajinan kayu kelapa. Sementara kalau kita mau memanjakan lidah atau membawa oleh-oleh panganan buat keluarga yang di rumah, di Magelang ada slondok, ceriping ketela dan rengginan.

Jadi, di Borobudur kita bisa borongan membeli aneka produk kerajinan, makanan khas dan lain-lain yang istimewa. [Profil Usaha, Edisi 104 / Tahun III / Tanggal 16 Juni - 22 Juni 2008]



[...Selengkapnya]

Label:

Penampakan Hantu Kekerasan di Monas

Menyebut Monas (Monumen Nasional), yang terletak di pusat pemerintahan Republik Indonesia, tentu yang terbayang oleh khalayak ramai adalah sebuah tempat yang damai, aman dan tenteram. Konotasi indah terhadap sebutan Monas tergambar dari ruang terbuka yang juga menjadi salah satu obyek wisata kebanggaan Indonesia tersebut.

Namun, suasana di area monumen satu-satunya yang berlapis emas itu tiba-tiba berubah menjadi prahara: kekerasan menyembul mengoyak rasa damai, rasa aman dan rasa tenteram. Darah menetes pada 1 Juni 2008. Korban yang jatuh terluka terdiri dari orang dewasa (bapak-bapak dan ibu-ibu), anak muda dan bahkan anak berusia di bawah sepuluh tahun. Dari nama-nama korban terluka, ada beberapa tokoh Islam yang konsen terhadap upaya perwujudan amalan Islam sesuai predikat “rahmatan lil alamin”.

Segerombolan orang berpakaian putih-putih menyerang kelompok lain yang bersiap-siap menggelar unjuk rasa damai. Laskar Islam (juga Front Pembela Islam) menyerang orang-orang yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), dengan dalih bahwa AKKBB membela Ahmadiyah.

Sebuah dalih yang konyol, sebab tak ada hak bagi siapapun dan organisasi apapun –bahkan negara—memvonis sesat keberadaan ormas semacam Ahmadiyah. Selain masih terjadi perbedaan pendapat dari sudut pandang para ahli Islam tentang keberadaan Ahmadiyah, mengumbar kekerasan juga bukanlah sikap Islami –yakni perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang agung: menjunjung tinggi rasa keadilan bagi semua, hingga salah satu postulat penting dalam referensi Islam menyebut bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin).

Berita tentang kekerasan FPI seolah tak hendak beranjak pergi dari halaman-halaman media massa di Indonesia. Dari tahun 2001 hingga kini, setidaknya tercatat 32 kali FPI melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk: mengancam, mengusir, merusak bangunan fisik, hingga melukai orang. Sasaran serangan FPI juga beragam: dari kelompok ahlus Sunnah, mahasiswa, hotel, diskotek, hingga pengusiran orang asing yang dianggap sebagai agen Zionis dan lain-lain.

Kekerasan demi kekerasan datang silih berganti, bangsa dan rakyat menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan. Tanpa melihat siapa yang memulai, semua korban juga anak bangsa. Apakah kekerasan harus menjadi solusi dari semua ketidakadilan yang menimpa hidup kita? Apakah kita tidak mampu menarik pelajaran bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru? Dan ini terbukti, beberapa cabang FPI disatroni ormas lain dengan tuntutan pembubaran FPI.

Peristiwa kekerasan di ruang publik terus merebak, seolah tak peduli pada perubahan politik yang telah berlangsung. Kekerasan semacam ini terus menghantui publik. Avery Gordon, sosiolog yang mengamati fenomena hantu dalam diskursus sosial-politik, memberi petunjuk bahwa momok kekerasan kerap menampakkan dirinya justru dalam ruang-ruang yang tak langsung dikuasai negara secara kasat mata. Dalam ruang sosial, kekerasan muncul dan sekaligus dipisahkan dari sejarah, kemudian dijelaskan dalam hubungan timbal baik ekonomi dan politik.

Menarik diamati bahwa kekerasan yang muncul belakangan ini justru ada dalam ruang semacam ini. Sementara negara malah mampu mencitrakan dirinya sebagai “agen perdamaian” dengan keberhasilannya membidani berbagai perjanjian damai antara berbagai kelompok yang berkonflik.

Antropolog James Siegel mengkaji diskursus politik di Indonesia bahwa terdapat gejala hantu dalam peristiwa kekerasan di Indonesia. Siegel menyatakan, saat negara tak lagi mampu memonopoli kekerasan, ia menciptakan dan kemudian menghantui beberapa kategori sosial tertentu yang menjalankan fungsi kekerasan yang seolah-olah tak memiliki legitimasi.

Bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat massif kerap diperagakan dalam rangka merebut kekuasaan. Kekuasaan yang dipersepsi bersifat absolut, terpusat pada segelintir orang atau kelompok, dan tidak menyisakan ruang sama sekali bagi yang lain (the other). Model melibas semacam itu sepertinya tak terhindarkan, termasuk oleh arus pembentukan negara-bangsa modern yang landasannya mengandaikan mekanisme pembagian kekuasaan.

Berbagai kajian historis terhadap praktik-praktik kekerasan di Indonesia memperlihatkan betapa akar-akar budaya kekerasan telah tertanam dan tersebar. Penggunaan cara-cara kekerasan, baik yang dilakukan secara sistematis oleh negara maupun praktik-praktik sporadis masyarakat, seringkali diterima sebagai jalan penyelesaian masalah yang sah.

Kekerasan dipandang sebagai cara sah “hanya jika ditujukan pada orang asing.” (Colombijn dan Lindbald, 2002). Di sini, “orang asing” merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok, tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok yang dipersepsi sebagai “orang asing”. Atau bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti “zionis”, “kapitalis”, “komunis”, dan seterusnya.

Akar-akar kekerasan itu sudah ada pada bagaimana cara kita memersepsi dan memperlakukan “sang lain”. Ketika orang lain tidak lagi diterima dan dihargai sebagai orang lain dengan segala keberbedaannya, melainkan direduksi menjadi sekadar simbol identitas yang beku dan dibekukan, atau dikonstruksi sebagai “orang asing” yang layak disingkirkan, di situ kekerasan telah siap menebarkan jaring-jaring pesonanya.

Dalam sejarah panjang menjadi Indonesia juga diwarnai oleh trauma historis seperti itu, konstruksi “musuh-musuh imajiner” yang dapat dikenakan pada orang atau kelompok manapun yang akan disingkirkan. Identitas kecinaan berhadapan dengan “pribumi”, kekristenan sebagai “agama kolonial”, kaum penghayat kepercayaan sebagai kelompok “belum beragama” dan lain-lain, merupakan hantu-hantu yang terus menggelisahkan kenyamanan kita. Pada titik ini, bisa jadi upaya membangun tatanan ke-Indonesia-an yang anti kekerasan bagaikan upaya mempertahankan suatu mimpi tak bertepi.

Dalam analisa Henk Schulte-Nordholt, proses-proses pembentukan negara-bangsa Indonesia yang modern berjalin berkelindan dengan penciptaan rezim teror “negara kekerasan” oleh ekspansi kolonial Belanda. Karena itu tidak mengherankan jika kekerasan lalu dimaknai banyak kalangan telah menjadi “budaya kekerasan” yang berurat berakar dalam kehidupan.

Insiden Monas hanyalah satu dari pola kekerasan yang berulangkali terjadi, termasuk model kekerasan yang dilakukan FPI berulangkali pula. Masalahnya jadi aneh, FPI (juga Laskar Islam) yang mengklaim menegakkan panji-panji Islam (yang berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kemanusiaan) justru menodai Islam dengan menebar kekerasan. Bukankah barang siapa melukai seorang anak manusia yang tidak berdosa, maka dia telah melukai seluruh umat manusia (kemanusiaan)? [PERSPEKTIF, Tahun III Edisi 104, 16 Juni-22 Juni 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Joko Widodo: Wali Kota Pasar Tradisional dan PKL

Tidak semua orang punya komitmen kuat untuk membina PKL dan pasar tradi­sional. Keduanya itu selalu diangap kumuh, jorok dan bau busuk. Tapi tidak untuk Wali Kota Solo, Jokowi. Baginya pasar tradisional dan PKL merupakan potensi.

Joko Widodo atau Jokowi memang berpengalaman dalam mengembangkan kreatifitas dan inovasi. Dia melihat adanya satu potensi besar di kalangan PKL dan pasar tradisional. Bagaimana pun mereka itu perlu dibina dan diberikan kemudahan oleh pemerintah daerah.

“PKL di kota yang lain dipandang sebagai momok, di kota Solo saya memangdang PKL berbeda, PKL sebagai sebuah potensi,” katanya ketika menyampaikan pandangan dalam Dialog Publik di Bentara Budaya beberapa waktu lalu. Demikian juga dengan pasar tradisonal, ia tata sedemikian rupa sehingga dapat menjadi tempat transaksi yang indah dan nyaman.

Wali kota yang santun ini tidak berani melakukan tindakan ke­sewenang-wenang kepada war­ganya yang berprofesi sebagai PKL. “Kalau di tempat lain, kalau mau menggusur PKL itu pasti gunakan satpol PP dan aparat, gebuk-gebukan. DI Solo saya ngak mau begitu. Saya tidak mau latah menangani PKL dengan gebug-gebugan,” paparnya.

Konsep Jokowi dalam petaan PKL di kot Solo, yaitu membuat kawasan PKL, membuat kantong-kantong PKL, relokasi, membuat selter, membuat gerobak, dan membuat tenda. Semua itu diberikan secara gratis. Pemkot kota Solo pun mengeluarkan dana senilai Rp Rp 9,6 miliar dari APBD 2006 untuk pemimdahan PKL klithikan Banjarsari ke Semanggi.

Sejumlah 999 PKL yang berdagang di seputar Monumen 45 Banjarsari pun mendapatkan berbagai fasilitas cukup bagus dari Pemkot di lokasi baru selain kemudahan permodalan. Untuk itu Jokowi membantu para pedagang kaki lima menyiapkan dana penjamiman kredit sebesar Rp 9 miliar. Dana penjaminan kredit itu diberikan cuma-cuma, tujuannya supaya para pedagang kaki lima bisa akses ke perbankan.

Wali Kota yang bersusia muda ini menata kehidupan mereka sesuai dengan pengalaman dirinya semasa mengwali karir sebagai pengusaha. “Saya ingat dulu mulai dari nol, mau cari pinjaman ke bank itu sulitnya itu mesti ditanya ijin. Mau cari ijin diminta juga uang, untuk modal saja ngak cukup, diminta lagi uang untuk ijin,” kenangnya.

Unik memang cara pendekatan Jokowi kepada para PKL. Jokowi melakukan pendekatan yang sifatnya manusiawi dengan menyerap aspirasi dan keinginan mereka, sebelum dipindahkan ke tempat baru, sebuah tempat yang sangat elit namanya Banjarsari. Disitu sudah diduduki kurang lebih 13 tahun oleh lebih 999 PKL, tiga periode wali kota tidak bisa memindahkan.

54 kali Jokowi mengajak para PKL makan bersama di kediamannya. Para pedagang pun aneh dan kaget, bukan intruski penggusuran yang diterima para PKL tetapi ajakan makan bersama. “Saya baru berani ngomong, bapak dan ibu akan saya pindahkan. Mereka diam semua, karena sudah makan siang dan makan malam,” tuturnya sambil tersenyum.

Truk disediakan pemerintah kota sendiri, Jokowi ingin menunjukkan pentingnya kesadaran kolektif dalam menata wilayah. Perpindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta keraton dan prajurit kraton dan ditonton oleh 400.000 masyarakat. Sambil membawa tumpeng masing-masing para PKL pun tersenyum puas dengan parade itu. Kini monumen Banjarsari sudah kelihatan, ruang hija pun kembali terlihat, tempat kumuh itu kini menjadi tempat rekreasi gratis anak-anak.

Nama Jokowi pun berkibar ke pentas Dubai dan Denhaag. “konsep yang saya buat dari mereka serndiri, apa keinginan mereka, apa aspirasi mereka, itu yang saya buat konsep, itu pun konsep lapangan,” lanjutnya.

Kemudian pasar tradisional, kalau di tempat lain yang namanya pasar tradisional mau dibangun pasti terbakar dulu. Itu latah terjadi dimana-mana. Di kota Solo menurut Jokowi ada 37 pasar tradisional dan 16 ribu pedagang. Setiap tahun pemerintah kota di Solo membangun 4 pasar tradisional, semuanya itu diberikan dengan gratis. Tetapi pemerintah kota mengutip Rp 2600 setiap hari untuk mencicil harga kios, kira-kira 8 tahun mereka pun dapat melunasi harga kios baru.

Tahun ini menurut Jokowi, semua pedagang tradisional di kota Solo akan diberikan uniform, “Biar tidak kalah dengan mall dan super market,” ujar lulusan UGM ini. Memang wali kota Solo ini menggarap pasar tradisonal secara profesional, targetnya agar pasar tradisonal tidak kalah dengan mall dan supermarket. “Di Solo mall pakai hadiah moter, tahun ini juga di kota Solo pasar tradisional akan diberi hadiah mobil. Kita tidak mau kalah dengan mall,” lanjutnya.

Penampilan Jokowi memang sederhana, tidak seperti para birokrat lainnya. Padahal ia seorang pejabat pemerintah sebuah kota yang cukup terkenal dan bersejarah. Karena itulah dia punya pe­ngalaman tidak dianggap oleh orang-orang kedubes RRC ketika dirinya bertandang menghadiri undangan HUT negara itu.

Pengalaman ketika dirinya menghadiri peringatan HUT RRC di Jakarta terbukti. Awalnya ia tidak dilirik oleh sang pengundang dan para tamu lainnya, setelah Jokowi mengeluarkan kartu nama, mereka percaya padanya. “Setelah itu banyak investor datang kepada saya, terutama Cina,” ceritanya.

Memang begitulah penampilang Jokowi, sederhana dan tidak glamour. Ia menunjukan seorang yang berpendirian dan berpengalaman di lapangan. Sebagai seorang pengusaha ia selalu berhadapan dengan rintangan dan kendala dalam merancang usahanya. Pengalaman itu membuat dirinya sadar bahwa masyarakat membutuhkan kemudahan dalam mengurusi berbagai hal.

19 tahun Jokowi menggeluti dunia import meubel. Kesulitan-kesulitan pernah dirasakannya selama meniti karir di bidang suaha itu. Ia tidak mau kesulitan itu dirasakan oleh warga kota Solo yang dipimpinnya sekarang. “Perizinan yang sebelumnya 8 bulan sampai 1 tahun kemudian saya potong hanya 6 hari. Itu pun dengan mencopot banyak kepala dinas,” jalasnya.

Pengalaman sebagai pimpinan di kota Solo dapat memberikan pelajara pada dirinya. Janji-janji yang tidak ditepati menyebabkan trust rakyat hilang terhadap pemerintah. Kalau ada keberpihakan pimpinan terhadap rakyatnya, mudah sekali mengatasi apa masalah yang dihadap sekarang ini. “Ini harus ada keberpihakan pimpinan daerah, nasional terhadap rakyat lemah dan miskin sehingga trust itu terbangun kembali,” jelasnya.

Jokowi melihat ada yang hilang dari para pemimpin bangsa saat ini. Bangsa ini sudah kehilangan para pemimpina yang diharapkan bersama. Menurut penuturan pria kelahiran Solo ’61 ini, beberapa hal yang hilang daripara pemimpin nasional sat ini; pertama, pribadi dengan kejujuran dan punya integritas. Kedua, pribadi yang gigih dan kerja keras, ketiga, pribadi yang cerdas tetapi juga tegas. “Saya juga ingin menghimbau, marilah kita tinggalkan yang ini,” ajaknya.[Figur » Edisi 103 / Tahun II / Tanggal 9 Juni - 15 Juni 2008]

[...Selengkapnya]

Label:

Medi Botutihe: Bersih Lingkungan, Pemerintah Transparan

Selama dua periode menjabat walikota Kota Gorontalo, kepemimpinan Medi Botutihe terbilang berhasil. Empat kali meraih Adipura: 2004, 2005, 2006, 2007, dan pelayanan publik dipandang memuaskan masyarakat.

“Biar hitam si buah manggis”. Itulah ungkapan yang kerap kita jumpai di tengah masyarakat. Maksudnya adalah kita jangan sampai menilai sesuatu dari luarnya saja, tetapi tengoklah isinya. Untuk menilai buah, jangan melihat kulit buah manggis yang berwarna coklat hitam, tetapi daging buahnya yang berwarna putih, bertekstur halus, dan rasa yang manis bercampur asam –menimbulkan rasanya yang khas dan segar. Nah, seorang Medi Botutihe yang adalah khalifah, juga lazim tampil mirip seperti buah manggis. Boleh jadi sang khalifah itu bertampang garang, tetapi ternyata tutur katanya lembut, menyenangkan, dan berhati mulia.
Di sinilah pertautan antara buah manggis dan Medi Botutihe, seorang walikota, yang juga tokoh adat, dijalinkan. Sebagai pemimpin atau khalifah, Medi Botutihe dinilai bertampang garang. Namun, di balik tampangnya yang garang, ia adalah orang yang arif dan bersahaja.
Pada 8 Mei 1998, ia menorehkan lembaran baru di gelanggang pemerintahan ketika memenangi pemilihan walikota. Ketika itu, Medi Botutihe nyaris tak percaya dengan kenyataan perhitungan suara akhir yang mencatat skor: 15:3:2 untuk keunggulan dia terhadap dua nama kandidat lainnya. Pada periode berikutnya 2003-2008, Medi Botutihe terpilih kembali menjadi Walikota Gorontalo dengan keunggulan satu angka, 13:12.
Ayah lima putra dan opa dari sepuluh cucu ini akan menapaki usia 67 tahun pada 12 September 2008. Begitu panjang cerita di belakang waktu yang Medi Botutihe gores. Dari yang manis, pahit, hingga berujung luka. Dari pujian hingga kecaman. Ia memang sosok unik dan langka. Disayang-sayang oleh kalangan yang proporsional memandangnya, tapi juga dikritik habis oleh pihak-pihak yang memintanya mundur dari jabatan walikota.
Karena kelewat nakal waktu di Sekolah Rakyat, gurunya menempatkan Medi Botutihe kecil duduk sebangku dengan cewek. Juga mengangkatnya menjadi komandan acara baris berbaris di sekolah. Ajaib, kenakalannya, berhenti sejak ia diberi kepercayaan menjadi pemimpin. Sekarang gantian, bak guru kelas, ia memberi teguran dan peringatan jika kawan-kawannya melanggar peraturan sekolah.
Bakat Medi Botutihe menjadi calon pemimpin, ternyata sudah dibaca oleh seorang Cina Gorontalo, teman dagang bapaknya. Disebutkan, garis tangan Medi Botutihe memperlihatkan tanda-tanda ia dihampiri “Bintang Terang”. Ramalan itu terbukti kemudian. Salah satunya pada peristiwa 8 Mei 1998 di atas. Berikutnya, kembali terjadi pada Juni 2000 ketika Medi Botutihe diberi pulanga, gelar kehormatan adat tertinggi, berupa Ta’uwa berdasarkan musyarawah yang dihadiri seluruh pemangku adat.
Walikota Kota Gorontalo Medi Botutihe telah menggulirkan konsep pemerintahan yang terbuka. Karena itu, seluruh kegiatan pemerintah Kota Gorontalo dapat dipantau serta diikuti oleh masyarakat, informasi yang dikuasai-dimiliki pemerintah Kota dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat, proses pengambilan keputusan (sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak) bersifat terbuka bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya, dan dapat diajukannya keberatan apabila hak-hak pemantauan, pelibatan masyarakat dan akses informasi diabaikan atau ditolak. Dengan kata lain, masyarakat Kota Gorontalo dalam konsep open government memiliki: (1) right to observe; (2) right/access to information; (3) right to participate; dan (4) right to appeal/complain.

Program Bulan Masyarakat Mengadu (Bulan Madu), yang secara resmi dilakukan selama bulan Desember 2006 namun hingga kini terus berjalan, merupakan program Pemerintah Kota yang mendasarkan pada konsep open government tersebut. Masyarakat berhak mengadukan apa saja melalui telepon/sms ke 8715050 atau datang langsung ke Posko Induk Bulan Madu di Kantor Pemerintah Kota Gorontalo, Jl Ahmad Yani No.03 Kota Gorontalo. Untuk melayani keluh kesah masyarakat, Pemerintah Kota mendirikan Posko 4 CT (Cepat Temu, Cepat Tanggap, Cepat Tindak, Cepat Tuntas.

Bingkai yang dibangun Walikota mengantarkan Kota Gorontalo mampu bersaing dengan Kota-Kota lainnya di Indonesia. Terbukti, pada 24 Februari 2005 Kota Gorontalo mendapat KPPOD Award, sebagai (1) Kota dengan daya tarik investasi dengan kategori A untuk kategori Umum, dan (2) peringkat terbaik daya tarik investasi Kota di Indonesia tahun 2004, dengan kategori peringkat A untuk kategori Kelembagaan. Lalu, pada 2 Mei 2005, mendapatkan Piagam Widya Krama, yaitu prestasi tertinggi dalam pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun.

Selama kepemimpinan Medi Botutihe, Kota Gorontalo terbilang sukses menunjukkan keunggulannya bersaing dengan Kota-Kota lainnya di negeri ini. Empat kali berturut-turut Kota Gorontalo meraih Adipura: 2004, 2005, 2006, 2007. Pada 2007, Kota Gorontalo juga merupakan kota yang indeks kepuasan publiknya tertinggi (82,05), mengalahkan Jakarta di posisi kedua.

Namun begitu, kursi kepemimpinannya digoyang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gorontalo, sepanjang April-Mei 2007. Dalam rapat paripurna DPRD Kota Gorontalo pada 30 April 2007, diputuskan bahwa DPRD mengajukan usul pemberhentian Walikota Gorontalo, kepada Menteri Dalam Negeri dan Presiden. Alasannya, Medi Botutihe melakukan pengalihan aset, berupa tanah, yang di atasnya dibangun Quality Hotel, tanpa persetujuan DPRD Kota Gorontalo. Namun Medi Botutihe pasrah. “Kalaupun diberhentikan, saya tetap ikhlas. Apa yang saya lakukan semata-mata demi kepentingan masyarakat dan ibadah,” katanya. Hanya Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Gorontalo AW Thalib, yang membeberkan kronologi pendirian Quality Hotel, beserta bukti-buktinya, termasuk persetujuan DPRD Kota Gorontalo terhadap pendirian Quality Hotel tersebut.

Meski ia memiliki bukti bahwa pendirian Quality Hotel adalah kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Gorontalo, DPRD Provinsi Gorontalo, Pemerintah Kota Gorontalo dan DPRD Kota Gorontalo, Medi Botutihe tak lantang menyerang balik. Ternyata di balik tampangnya yang garang, ia seorang khalifah yang berhati mulia. Tulus! Dan kepemimpinannya sebagai walikota pun berakhir khusnul khatimah.[Figur » Edisi 102 / Tahun II / Tanggal 2 Juni - 8 Juni 2008]

[...Selengkapnya]

Label:

Syahganda Nainggolan : Komisaris Mau Pimpin Demo?

Gegap gempita terbukanya kran pendirian partai politik pada 1999, membawa nama Syahganda Nainggolan mencuat ke permukaan. Bersama seniornya, Adi Sasono, ia mendirikan Partai Daulat Rakyat (PDR). Alumnus ITB yang pernah merasakan pengapnya penjara tersebut hampir selalu disebut-sebut sebagai aktivis yang tak pernah kempis!

Suaranya tetap menggelegar, bicaranya lepas tanpa basi-basi. Meski posisinya kini sebagai komisaris independen PT Pelindo tetap bersikap seperti aktifis, kritis dan tegas. “Sekarang ini zaman perubahan, zaman bersih-bersih, zaman KPK. Jadi jangan main-main lagi. Itu gebrakan saya terjadi,” ujar mantan ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) kepada Opini Indonesia, Kamis pekan lalu.

Tender saja dari nilai proyek Rp 70 miliar pembangunan jalan sepanjang 100 meter di Dermaga Banten, yang menang adalah PT yang berani mengajukan tawaran hanya Rp 54 Miliar. Jadi Pelindo bisa saving Rp 16 miliar. “Itu saya lakukan terus. Sehingga Pelindo dengan gebrakan itu keuntungannya dari Rp 800 miliar naik menjadi Rp 1 triliun lebih, dalam kurung waktu 1 tahun keuntungan bisa naik Rp 200 miliar. Saya tidak akan memperkarakan masa lalu, tetapi jangan main-main dengan yang sekarang,” kata Syahganda.

Ia berharap Indonesia ini menjadi bangsa besar. Untuk itu tambang, batu bara, minyak harus dihitung ulang. Setelah itu kemudian masuk industri, termasuk manufaktur dibenahi lagi. “Jangan sampai garmen kita hancur, jangan sampai alat-alat teknologi elementer impor dari Cina. Kita kan negara besar. Peta industri dan manufaktur harus ditata ulang,” tuturnya.

Ketika DPR main-main dengan Pelindo, dia pun bersuara keras. Dia pun mengajak pekerja Pelindo Demo. Hingga orang-orang Pelindo pun kaget. “Saya bilang sama teman-teman Pelindo kalau kalian tidak mau demo saya akan pimpin Demo. Kaget juga mereka kan, komisaris mau mimpin demo, “ ceritanya.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelayaran yang sudah diketok DPR RI diprotes. Sebagai komisaris Pelindo, Syahganda keras kepada DPR. “Kejam itu DPR terhadap kita (Pelindo). Oleh karena itu kita sedang judicial reveiw ke Mahkamah Konstitusi. Kita mau minta beberapa pasal dicabut,” tandasnya. Sebagai Komisaris Pelindo, dia minta presiden untuk tidak menandatangani UU itu.


Seharusnya mereka itu realistis, perbandingannya, ketika Pertamina dibuat BP Migas, kekuasaan Pertamina dikurangi tetapi dia tetap mengelola konsesi minyak dia. Jasa Marga ketika diprivatisasi oleh perusahaan asing dan perusahaan swasta buat jalan tol, dia tetap dikasih jalan sekarang. Pelindo, di Tanjung Priok saja mau diambil oleh BPP pemerintah. Pelindo itu punya negara, “Itu kita kecewa, padahal itu punya kita.”

Kalau mau bangun, misalnya Sutiyoso dulu akan bangun Jakarta Newport, silahkan saja nanti bersaing. Pelindo hanya mau diberi terminal operator, bukan port operator. Kalau terminal itu, hanya ada dermaga. Sekarang Pelindo punya kawasan yang namanya pelabuhan.

Memang ada BUMN yang gagal, tetapi ada juga BUMN yang berhasil. Di Cina misalnya Petro Cina, Bank Exim Cina, di Singapura Temasek BUMN. Di Malaysia, Khazanah itu BUMN berhasil. BUMN itu bisa buruk bisa baik tergantung pengelolaannya.

Kalau asing atau swasta tidak boleh masuk, kenapa kita harus bilang swasta. Kalau ini punya negara, untungnya buat negara. Syahganda menjelaskan, UU kita awalnya lebih pada sosialis atau kerakyatan, bukan lebih pada liberalis. Sekarang mau dibuat liberalis semua.

Seperti kereta api diliberalisasi, untung saja dihentikan oleh menteri perhubungan selama 3 tahun. Kalau misalnya masuk PT KA Singapura atau Jepang, bisa mati rakyat. Makanya Indonesia butuh revolusi, cuma pemimpinnya belum ada. “Saya kemarin mengorganisir 21 serikat buruh KOBAR (Komando Buruh Revolusioner),” tegas Syahganda.

Posisinya sebagai Komisaris di Pelindo II sekarang semakin membuatnya independen. Menurutnya, itu merupakan bagian dari pekerjaan. Seoarang aktifis yang tidak punya pekerjaan akan bisa dibayar orang. Ia tidak mau seperti itu. “Kalau saya ditawari menteri juga saya ambil,” katanya.

Dia tidak pernah berubah sikap sejak muali mahasiswa dulu, sebab kalau dirinya berubah, namanya Pelindo itu dulu getset. Dulu yang namanya komisaris itu bisa dapat uang ratusan juta sekali menginjak Tanjung Priok “Cuma saja saya nggak mau,” tegasnya.

Tapi penempatan komisaris itu jangan asal penempatan, sehingga orang-orang tidak kompeten masuk ke situ. Menurut penilaian BPKB, prestasi Syahganda cukup bagus selama menjadi Komisaris Pelindo II. Itu terekam dari hasil audit terhadap good corporate governance (GCG) yang nilainya 80% baik. Artinya peran sang aktifis ini diterima.

Pengalaman aktivis selama di Pelindo mempengaruhi kerjanya di Pelindo. Pertama, dia tidak bisa dibeli. Kedua, berpikir independen, tidak bisa diatur-atur demi kepentingan orang. Ketiga, tidak kemaruk dengan harta. Keempat, mampu berunding.

Dalam konteks SBY ngambil aktivis jadi komisaris di beberapa BUMN, menurut pria kelahiran Medan itu, sebenarnya lebih bagus dari Taufik Kiemas. Taufik Kiemas waktu itu tidak ada membantu aktivis. “Saya jadi komisaris tidak ada kaitannya dengan kebencian orang sama SBY kan ?,” katanya.

Ia pun yakin pada kemampuan anak-anak muda termasuk dirinya, mampu menjadi pemimpin. Dalam gerakan buruh misalnya, hampir semua pimpinannya anak muda. Tetapi sejauh apa media massa mengapresiasi perjuangan mereka. Media lebih senang cari anak muda di DPR sudah selebritis kemudian dimuat terus.

Ia membuat surat resmi melalui CIDES, Edy Sucipto jadi Bawaslu, tetapi tidak ada media yang mendukung. Ia meyakini jaringan itu sangat penting dalam gerakan. “Kita teliti lagi jaringan-jaringan mana yang masih ada akal sehat untuk membangun bangsa ini,” ungkapnya.

Aktifis yang sudah bergerak sejak 84 itu tetap yakin atas perjuangannya, baik sendiri seratus, atau seribu bukan halangan bagi dirinya. “Sendiri, seratus, atau seribu orang, saya tetap berjuang. Saya dari dulu prinsipnya begitu, “ katanya. Ia tidak pernah berubah sikap tetap menjadi aktifis sampai sekarang.[Figur » Edisi 100 / Tahun II / Tanggal 19 Mei - 25 Mei 2008]

[...Selengkapnya]

Label:

Masyhudi Saan: Pendidikan Keaksaraan Dipandang Sebelah Mata

Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada awal tahun 2008 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah dibanding data tahun 2004 yang 10,2 persen. Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain.

Nah, diantara para pemberantas buta huruf itu adalah Masyhudi Saan SAg. Prestasi membanggakan telah diukirnya. Kepala SD Muhamadiyah Gejlig, Kajen, Kabupaten Pekalongan, itu keluar sebagai Juara I Nasional Lomba Karya Tulis Pendidikan Keaksaraan. Gelar yang diraih Masyhudi adalah satu dari lima gelar yang diraih Jawa Tengah dalam Jambore Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal (PTKPNF) di Bogor, 10-12 Agustus 2007.

Dalam pengumuman dan penganugerahan PTKPNF berprestasi di TMII Jakarta, 15 Agustus tahun lalu, itu telah ditayangkan di salah satu televisi swasta. Alumnus STAIN Pekalongan ini menyisihkan peserta lain dari 32 provinsi.

Tulisan warga Tambakroto, Kajen, tentang “Model Evaluasi Rekreatif untuk Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional” dinilai inovatif dan dipilih sebagai yang terbaik oleh tim yuri yang terdiri dari beberapa guru besar dari perguruan tinggi terkemuka di tanah air.

Masyhudi mengaku tak menduga jika gagasan yang disarikan dari pengalamannya selama jadi tutor sejak 2005 itu terpilih sebagai yang terbaik. “Selain hadiah materi, pengalaman melihat aktivitas presiden selama Agustusan adalah hadiah yang tak ternilai,” ujarnya.

Selain mendapat hadiah Rp 10 juta, suami dari Zaenab (34) itu memang diundang mengikuti serangkaian kegiatan Agustusan di Istana dan Gedung DPR RI. Di antaranya pembacaan detik-detik proklamasi, upacara bendera dan ramah tamah bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Meski telah mendulang prestasi di tingkat nasional, ayah dari Ilma Qurrota Aina (12) dan Ilma Hanifa Madina (8) mengaku belum puas. Pasalnya di Kabupaten Pekalongan masih ada 16.000 jiwa yang buta aksara. “Kami masih punya banyak tanggungjawab mendidik masyarakat agar tidak buta aksara,” ucap Masyhudi. Keberhasilan pendidikan termasuk pengentasan keaksaraan membutuhkan perhatian dan keseriusan dari pemerintah. “Selama ini kami melihat pendidikan keaksaraan masih dipandang sebelah mata. Padahal itu adalah indikator dari indeks pembangunan manusia (IPM),” tambahnya.

Masyhudi Saan tak pernah berhenti membuat melek orang-orang yang buta huruf. Metode, gaya, atawa model memelekkan masyarakat buta huruf itu pun bervariasi. Antara lain seperti cerita berikut ini:

Pada lomba Warga Belajar Keaksaraan Fungsional Kabupaten Pekalongan, 8 Desember 2007, tak ada suasana tegang. Suasana lomba yang digelar di Gedung Koperasi Giat Kajen berlangsung santai.

Tingkah laku peserta yang merupakan warga yang baru mengenal aksara dan berusia 40-60 tahun mengundang gelak tawa. Saniat (50), salah seoang peserta misalnya berulangkali memancing tawa dari juri saat kebingungan ketika diminta menjawab lembar soal yang diberikan juri.

“La iki piye tulisane ora genah tulung digenahke disik (la ini gimana tulisannya tidak jelas tolong dijelaskan dulu,” ucapnya dengan suara lantang.

Lontaran lugu dari peserta itu kontan membuat juri, peserta lain dan penonton tertawa. Dewan juri pun dengan sabar mendekati dan menebalkan ketikan dalam lembar jawab dengan pena. Wanita itu pun kembali serius menuliskan huruf demi huruf dengan hati-hati.

Namun belum selesai menuliskan sebuah kata dia kembali bertanya, “Tolong soalnya dibacakan lagi saya lupa.”

Derai tawa kembali pecah di ruangan itu, juri pun tertawa terpingkal-pingkal. Sebab soal yang dimaksud baru saja beberapa menit dibacakan. Setelah dibacakan ulang, sang ibu meneruskan aktivitasnya sambil melemparkan senyum ke peserta lainnya.

Persitiwa itu hanyalah sebagian kecil dari adegan lucu yang muncul dalam lomba itu. Pada babak penyisihan para peserta diuji kemampuan menulis dan menghitung yaitu dengan menjawab pertanyaan. Para peserta diberi surat undangan. Dari materi yang ada di surat undangan itu peserta diminta menjawab berbagai pertanyaan.

Dari 20 peserta terpilih enam orang yang punya nilai tertinggi dan lolos ke babak final yaitu sesi keterampilan membaca. Tiga peseta yaitu Sri Daepah (wakil dari PKK), Faizin (Aisyiyah) dan Casriyah (Muslimat) akhirnya keluar sebagai juara I, II dan III. “Mereka juara karena mengumpulkan nilai tertinggi,” ucap Ketua Dewan Juri, Masyhudi Saan.

Menjadi juri lomba, kata penerima Satya Lancana Bidang Pendidikan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tidak hanya harus teliti namun juga sabar. Sebab sebagian besar adalah orang tua yang tidak terbiasa dengan aktivitas baca tulis.

Namun dia mengaku terhibur sebab banyak kejadian lucu yang membuat ger-geran hingga suasana lomba menjadi lebih berwarna.

Dalam perjalanannya, tokoh pendidik ini menyabet peringkat I pada Training Of Trainers (TOT) Pendidikan Keaksaraan tingkat Nasional di BPPLSP Regional IV Surabaya, Harapan Tiga pada Seleksi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Berprestasi tingkat Provinsi Jawa Tengah di Bandungan, Penghargaan dari Bupati Pekalongan pada HUT Kabupaten Pekalongan ke-385 tahun 2007 sebagai tutor Pemberantasan Buta Aksara terbaik Kabupaten Pekalongan. Ranking pertama seleksi Lomba Karya Tulis Pendidikan Keaksaraan Provinsi Jawa Tengah, Juara I Lomba Karya Tulis pada Jamnas PTK-PNF Depdiknas 2007 Bogor. Serta Penerima penghargaan ’Satya Lencana Pendidikan’ dari Presiden RI pada Hari Guru Nasional di Pekanbaru, November 2007.

Masyhudi Saan adalah seorang guru yang tidak saja memfokuskan tugasnya mendidik para muridnya menjadi pintar, tetapi juga para orang tua murid yang masih buta aksara menjadi melek aksara. Baginya, mendidik tidak hanya di sekolah namun bisa di mana saja: musholla, rumah, dan di pinggir sawah. Wajarlah pria yang juga aktif sebagai pemimpin musholla di tempat tinggalnya itu beroleh berkah: satya lencana dari Presiden RI dan berbagai penghargaan lainnya.[Figur » Edisi 98 / Tahun II / Tanggal 5 Mei - 11 Mei 2008]

[...Selengkapnya]

Label: