Mendulang Uang Bikin Rebana

Ketika bulan rabiul awal (juga rajab) tiba, maka suara rebana menggema di mana-mana, terutama di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa: dari Karawang hingga Banyuwangi. Penjualan alat musik khas yang digemari masyarakat muslim itu pun laris manis.

Rebana atawa terbang adalah alat musik tradisional yang banyak dipakai untuk musik irama padang pasir. Pada musik gambus, kasidah dan hadroh adalah jenis kesenian yang kerap menggunakan rebana. Di Kampung Tanubayan, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, ribuan rebana dihasilkan dan dijual.

Alat musik ini dibuat dari bahan kayu mangga, mahoni, kayu pohon nangka, trembesi atau kayu munggur. Sedangkan bahan dasar lain yang digunakan adalah kulit kambing dan kulit kerbau. Semua bahan tersebut mudah dijumpai di Kabupaten Demak. Pemasaran hasil produk ini menjangkau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, hingga Hongkong. Setiap pengrajin pada umumnya memiliki omset penjualan sekitar 20 hingga 30 set rebana per tahun. Harga per set alat musik ini mencapai Rp 2.700.000.

Potensi pengembangan produksi ini ditunjang kultur budaya Demak yang Islami. Kesenian rebana yang tersebar di mana-mana (di hampir semua daerah berpenduduk muslim), memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika masyarakat muslim. Lebih-lebih Demak, sebagai kota santri yang mewarisi perjuangan para wali memiliki khasanah kebudayaan yang lengkap, termasuk rabana. Apalagi alat musik ini telah ada sejak masa Kanjeng Sunan Kalijaga, dan berperan dalam syiar Islam.

Rebana lazim digunakan untuk acara keagamaan seperti Mauludan, menyambut Bulan Rajab, sunatan, pernikahan, dan lain-lain. Di banyak daerah seperti Kediri, Semarang dan Brebes, kesenian yang menggunakan alat rebana sering difestivalkan: dari memainkan rebana hingga kreasi musik rebana. Berdasar hal itu, alat musik rebana tetap laku dijual, sehingga para pembuat rebana tidak takut kehilangan pembeli.

Mas’ud (65) yang sudah memiliki beberapa cucu, sejak muda beraktivitas membuat rebana. Profesi ini ia jalani begitu saja sepulang dari Malang, Jawa Timur. Saat itu, 1960-an, ia baru saja tamat nyantri di sebuah pesantren di kota apel tersebut.

Seperti biasa, seorang anak yang baru saja menamatkan pembelajaran kitab-kitab kuning tertentu (untuk ukuran tata bahasa berarti telah menguasai jurmiyah, amriti, bahkan alfiyah), maka akan diberi tanggungjawab oleh orang tuanya memangku masjid, musholla atau pesantren. Nah, demikian pula dengan Mas’ud. Sebuah musholla yang diasuh ayahnya diberikan tanggungjawabnya kepadanya. Mas’ud pun mengimami musholla tersebut sekaligus mengajar kitab kepada para santri di tempat kelahirannya itu, Demak.

Sejak itu pula Mas’ud memantapkan profesinya sebagai tukang bikin rebana. Profesinya itu diikuti pula oleh anaknya, Sugianto. Duet bapak dan anak itu dalam perkembangannya harus berpisah manajemen dengan membuat bengkel kerja sendiri-sendiri. Tujuannya ya biar sang anak itu mandiri. “Apalagi dia sudah punya istri,” ujar Mas’ud. Dan dari usaha membuat rebana itulah Mas’ud bisa memiliki rumah, demikian pula dengan Sugianto.

Kini, di saat usianya berkepala enam, Mas’ud masih rajin membuat berbagai jenis rebana. Ia masih sanggup memasang list penjalin, ngebor dan ngencengin kempling, menatah besi bundar, belanja kulit kambing dan papan kayu, serta memasarkannya. Namun, untuk memasarkan produknya ia tak beranjak ke mana-mana alias tetap di rumah. Para pembeli datang ke bengkelnya di rumah. “Mereka umumnya tahu dari pembeli sebelumnya yang merasa puas dengan terbang bikinan saya,” tutur Mas’ud.

Urusan pasar memang tak terlalu merepotkan buat Mas’ud. Pria yang sudah puluhan tahun menekuni usaha pembuatan rebana ini sudah cukup dikenal. Sebagai pemimpin musholla dan pernah nyantri di luar kota, Malang, maka pasar pun mengikutinya. Banyak pembeli datang dari komunitas masjid, sekolah Islam, dan pesantren dari berbagai kota. Pola pemasaran getok tular (dari mulut ke mulut) ini yang membuat Mas’ud tak pernah lowong pembeli. “Selalu ada pembeli meski hanya dua set sebulan,” ungkapnya.

Lain lagi kalau bulan rabiul awal dan rajab tiba. Di bulan maulid Nabi Muhammad dan isra’ mi’raj Rasulullah itu, masa laris manis datang. Di bulan yang ramai pentas rebana itu, kebutuhan akan produksi rebana meningkat. “Rata-rata empat sampai enam set terjual,” terang Mas’ud.

Bagi Mas’ud dan para pengrajin rebana lainnya di Demak, menangguk untung rata-rata Rp 2 juta per bulan sudah lebih dari cukup. Dengan pendapatan segitu, sudah cukup buat memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan menyekolahkan atau memondokkan anak di pesantren. Bahkan dengan berkarya membuat rebana, beberapa dari mereka mampu menunaikan ibadah haji. Namun, lebih dari itu, dengan membikin rebana, itu berarti telah ikut menjaga tradisi yang diwariskan oleh Waliyullah Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang pendakwah Islam tempo dulu yang memelopori pendirian masjid Demak yang tersohor itu. Melanggengkan tradisi mendapatkan berkah para wali?[Profil Usaha » Edisi 99 / Tahun II / Tanggal 12 Mei - 18 Mei 2008]

Label:

0 komentar: