Penampakan Hantu Kekerasan di Monas

Menyebut Monas (Monumen Nasional), yang terletak di pusat pemerintahan Republik Indonesia, tentu yang terbayang oleh khalayak ramai adalah sebuah tempat yang damai, aman dan tenteram. Konotasi indah terhadap sebutan Monas tergambar dari ruang terbuka yang juga menjadi salah satu obyek wisata kebanggaan Indonesia tersebut.

Namun, suasana di area monumen satu-satunya yang berlapis emas itu tiba-tiba berubah menjadi prahara: kekerasan menyembul mengoyak rasa damai, rasa aman dan rasa tenteram. Darah menetes pada 1 Juni 2008. Korban yang jatuh terluka terdiri dari orang dewasa (bapak-bapak dan ibu-ibu), anak muda dan bahkan anak berusia di bawah sepuluh tahun. Dari nama-nama korban terluka, ada beberapa tokoh Islam yang konsen terhadap upaya perwujudan amalan Islam sesuai predikat “rahmatan lil alamin”.

Segerombolan orang berpakaian putih-putih menyerang kelompok lain yang bersiap-siap menggelar unjuk rasa damai. Laskar Islam (juga Front Pembela Islam) menyerang orang-orang yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), dengan dalih bahwa AKKBB membela Ahmadiyah.

Sebuah dalih yang konyol, sebab tak ada hak bagi siapapun dan organisasi apapun –bahkan negara—memvonis sesat keberadaan ormas semacam Ahmadiyah. Selain masih terjadi perbedaan pendapat dari sudut pandang para ahli Islam tentang keberadaan Ahmadiyah, mengumbar kekerasan juga bukanlah sikap Islami –yakni perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang agung: menjunjung tinggi rasa keadilan bagi semua, hingga salah satu postulat penting dalam referensi Islam menyebut bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin).

Berita tentang kekerasan FPI seolah tak hendak beranjak pergi dari halaman-halaman media massa di Indonesia. Dari tahun 2001 hingga kini, setidaknya tercatat 32 kali FPI melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk: mengancam, mengusir, merusak bangunan fisik, hingga melukai orang. Sasaran serangan FPI juga beragam: dari kelompok ahlus Sunnah, mahasiswa, hotel, diskotek, hingga pengusiran orang asing yang dianggap sebagai agen Zionis dan lain-lain.

Kekerasan demi kekerasan datang silih berganti, bangsa dan rakyat menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan. Tanpa melihat siapa yang memulai, semua korban juga anak bangsa. Apakah kekerasan harus menjadi solusi dari semua ketidakadilan yang menimpa hidup kita? Apakah kita tidak mampu menarik pelajaran bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru? Dan ini terbukti, beberapa cabang FPI disatroni ormas lain dengan tuntutan pembubaran FPI.

Peristiwa kekerasan di ruang publik terus merebak, seolah tak peduli pada perubahan politik yang telah berlangsung. Kekerasan semacam ini terus menghantui publik. Avery Gordon, sosiolog yang mengamati fenomena hantu dalam diskursus sosial-politik, memberi petunjuk bahwa momok kekerasan kerap menampakkan dirinya justru dalam ruang-ruang yang tak langsung dikuasai negara secara kasat mata. Dalam ruang sosial, kekerasan muncul dan sekaligus dipisahkan dari sejarah, kemudian dijelaskan dalam hubungan timbal baik ekonomi dan politik.

Menarik diamati bahwa kekerasan yang muncul belakangan ini justru ada dalam ruang semacam ini. Sementara negara malah mampu mencitrakan dirinya sebagai “agen perdamaian” dengan keberhasilannya membidani berbagai perjanjian damai antara berbagai kelompok yang berkonflik.

Antropolog James Siegel mengkaji diskursus politik di Indonesia bahwa terdapat gejala hantu dalam peristiwa kekerasan di Indonesia. Siegel menyatakan, saat negara tak lagi mampu memonopoli kekerasan, ia menciptakan dan kemudian menghantui beberapa kategori sosial tertentu yang menjalankan fungsi kekerasan yang seolah-olah tak memiliki legitimasi.

Bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat massif kerap diperagakan dalam rangka merebut kekuasaan. Kekuasaan yang dipersepsi bersifat absolut, terpusat pada segelintir orang atau kelompok, dan tidak menyisakan ruang sama sekali bagi yang lain (the other). Model melibas semacam itu sepertinya tak terhindarkan, termasuk oleh arus pembentukan negara-bangsa modern yang landasannya mengandaikan mekanisme pembagian kekuasaan.

Berbagai kajian historis terhadap praktik-praktik kekerasan di Indonesia memperlihatkan betapa akar-akar budaya kekerasan telah tertanam dan tersebar. Penggunaan cara-cara kekerasan, baik yang dilakukan secara sistematis oleh negara maupun praktik-praktik sporadis masyarakat, seringkali diterima sebagai jalan penyelesaian masalah yang sah.

Kekerasan dipandang sebagai cara sah “hanya jika ditujukan pada orang asing.” (Colombijn dan Lindbald, 2002). Di sini, “orang asing” merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok, tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok yang dipersepsi sebagai “orang asing”. Atau bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti “zionis”, “kapitalis”, “komunis”, dan seterusnya.

Akar-akar kekerasan itu sudah ada pada bagaimana cara kita memersepsi dan memperlakukan “sang lain”. Ketika orang lain tidak lagi diterima dan dihargai sebagai orang lain dengan segala keberbedaannya, melainkan direduksi menjadi sekadar simbol identitas yang beku dan dibekukan, atau dikonstruksi sebagai “orang asing” yang layak disingkirkan, di situ kekerasan telah siap menebarkan jaring-jaring pesonanya.

Dalam sejarah panjang menjadi Indonesia juga diwarnai oleh trauma historis seperti itu, konstruksi “musuh-musuh imajiner” yang dapat dikenakan pada orang atau kelompok manapun yang akan disingkirkan. Identitas kecinaan berhadapan dengan “pribumi”, kekristenan sebagai “agama kolonial”, kaum penghayat kepercayaan sebagai kelompok “belum beragama” dan lain-lain, merupakan hantu-hantu yang terus menggelisahkan kenyamanan kita. Pada titik ini, bisa jadi upaya membangun tatanan ke-Indonesia-an yang anti kekerasan bagaikan upaya mempertahankan suatu mimpi tak bertepi.

Dalam analisa Henk Schulte-Nordholt, proses-proses pembentukan negara-bangsa Indonesia yang modern berjalin berkelindan dengan penciptaan rezim teror “negara kekerasan” oleh ekspansi kolonial Belanda. Karena itu tidak mengherankan jika kekerasan lalu dimaknai banyak kalangan telah menjadi “budaya kekerasan” yang berurat berakar dalam kehidupan.

Insiden Monas hanyalah satu dari pola kekerasan yang berulangkali terjadi, termasuk model kekerasan yang dilakukan FPI berulangkali pula. Masalahnya jadi aneh, FPI (juga Laskar Islam) yang mengklaim menegakkan panji-panji Islam (yang berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kemanusiaan) justru menodai Islam dengan menebar kekerasan. Bukankah barang siapa melukai seorang anak manusia yang tidak berdosa, maka dia telah melukai seluruh umat manusia (kemanusiaan)? [PERSPEKTIF, Tahun III Edisi 104, 16 Juni-22 Juni 2008]


Label:

0 komentar: