Jakarta: Ruang Publik yang Menyesakkan

Penuh sesak. Itulah kesan pertama bagi orang yang pertamakali datang ke Jakarta. Sepanjang mata memandang kita akan dihadapkan pada jalanan padat, gedung-gedung pencakar langit menjamur, angkutan umum dijejali penumpang, dan berbagai kesesakan lainnya. Begitu kita terbiasa hidup di Jakarta, maka kesesakan adalah sebuah keniscayaan. Hidup penuh sesak ketika berada di rumah kumuh di belakang gedung pencakar langit (mal megah dan lain-lain), di gang-gang jalan yang dipenuhi parkiran mobil, hingga ketika bekerja –bagi para pedagang kaki lima, para buruh pabrik, dan pekerja-pekerja kasar lainnya.

Tak Sesak Sesaat
Untuk mengimbangi pemandangan yang terasa sesak, pemerintah DKI Jakarta telah membuat beberapa ruangan hijau. Antara lain berupa taman kota yang berada di beberapa pinggiran sungai dan yang terasa menonjol bisa dinikmati khalayak adalah Taman Ruang Agung Monas. Sayangnya, beberapa taman kota kurang terawat seperti Taman Bersih Manusiawi dan Wibawa (BMW) yang berada di sebelah timur Jalan Ancol Baru, Taman Karapan Sapi di Volker dengan luas 9.000 meter dan Taman Agung Sunter di Sunter dengan luas 5.000 meter.

Keberadaan taman kota tidak hanya berfungsi untuk mempercantik penampilan tata ruang kota, tetapi juga berfungsi sebagai paru-paru kota –apalagi kota Jakarta merupakan kota yang tingkat polusi udaranya tinggi. Selain dapat berfungsi sebagai paru-paru kota, taman kota juga dapat difungsikan sebagai tempat interaksi warga kota Jakarta.

Dalam rangka mempercantik tata ruang kota, pemerintah DKI Jakarta juga telah berupaya menindak kendaraan yang parkir secara liar. Penertiban tempat parkir yang dilakukan di sejumlah tempat di Jakarta pada 2 Mei 2008 menjaring 128 mobil: 106 ditilang dan 22 dikunci. Dua pekan berikutnya, 38 mobil diderek dan 36 mobil digembok. Sayangnya, upaya penertiban kendaraan yang parkir sembarangan juga berjalan tak maksimal. Buktinya, masih banyak kendaraan yang parkir di jalan maupun di trotoar. Pemandangan ini bisa disaksikan di jalan-jalan kawasan Bendungan Hilir, termasuk di jalan pintu belakang rumah sakit Mintohardjo. Di kawasan ini para pejalan kaki tak mendapat tempat.

Merespon penobatan kota Jakarta sebagai kota berudara paling buruk ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok, pada 1995, pemerintah DKI Jakarta juga tak tinggal diam. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pencemaran Udara pun dibuat, dilengkapi dengan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Sayangnya, meski telah diterapkan selama dua tahun lebih, Perda (yang juga mengatur tentang rokok) dan Pergub itu belum menunjukkan taringnya. Kalau kita naik angkutan umum dan KRL nonAC, cemaran kepulan asap rokok masih terasa menyengat dan menyesakkan, terutama bagi penumpang bukan perokok. Hal yang sama terjadi di banyak ruang publik lainnya seperti di terminal bus, stasiun kereta api, bandar udara, ruang seminar di hotel-hotel berbintang, dan bahkan di pusat-pusat olah raga seperti GOR Senayan dan lain-lain.
Penobatkan UNEP (United Nations for Environmental Project) terhadap kota Jakarta sebagai kota berudara paling buruk ketiga tampaknya tak beranjak membaik. Ketika itu, predikat terburuk ketiga didasarkan pada kondisi banyaknya jumlah kendaraan, industri, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil, sehingga menghasilkan polutan CO, HC, NOx, SOx, Pb, dan TSP (partikulat tersuspensi) yang mencemari udara. Nah, bukankah keadaan yang memperburuk udara sekarang ini juga belum berubah membaik?

Sesak Melihat Kota Budaya yang Rusak
Sejarah kota Jakarta atau Batavia juga identik dengan kota budaya. Kota Jakarta tak hanya identik dengan sejarah kebudayaan Betawi, tetapi jauh sebelumnya sudah ada kebudayaan China peranakan atau Tionghoa. Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, peninggalan kebudayaan Tionghoa yang bersejarah masih banyak meninggalkan jejak di bangunan rumah, kelenteng, gedung, dan masjid yang berarsitektur Tionghoa. Sekarang sudah banyak yang hancur karena dilindas oleh kepentingan segelintir orang.

Yang sudah dinyatakan sebagai cagar budaya, Gedung Candra Naya, yang pernah dipakai Sin Ming Hui atau Perhimpunan Sinar Baru pada tahun 1946 itu, kondisinya juga tidak terawat. Beda dengan daerah lain seperti Semarang, bangunan bersejarah Tionghoa masih terawat. Di banyak kota-kota di Cina sendiri, bangunan tua sejak zaman Dinasti Yuan (1279-1368) masih terawat baik.

Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ, yang menulis buku Historical Sites of Jakarta (2000) dan Gereja-gereja Tua di Jakarta dan Masjid-masjid Tua di Jakarta (2003), sebelum tahun 1740 rumah orang Tionghoa masih banyak di Batavia atau Kota Jakarta. Di masa kolonial Belanda, rumah Tionghoa banyak yang dibakar dan dibongkar. Namun demikian masih ada peninggalan bersejarah yang dapat ditemukan sekarang, walau tak banyak. Itu pun kondisinya memprihatinkan.

Bangunan tua berarsitektur Tionghoa yang tersisa dan masih terawat hanya berupa klenteng. Sedangkan rumah-rumah berarsitektur Tionghoa di kawasan Senen, Glodok, Pinangsia, walau masih ada yang tersisa, kondisinya memprihatinkan. Ini sangat disayangkan, karena dari dulu banyak juga sumbangan etnik Tionghoa dalam pembangunan kota Jakarta.

Arsitektur Tionghoa tidak hanya ditemukan di rumah, gedung, dan klenteng Tionghoa, tetapi juga ditemukan pada bangunan Masjid, seperti pada bangunan Masjid Kebun Jeruk, Masjid Tambora, dan Masjid Angke. Jika di Masjid Kebun Jeruk dan Tambora dengan pengaruh Tionghoa cukup kuat, maka di Masjid Angke juga ada pengaruh arsitektur Belanda.

Menengok Jakarta Tempo Dulu
Cerita dalam buku-buku lama menggambarkan bahwa Jakarta sebagai kota yang menyenangkan dan sejuk. Ketika masih disebut Batavia, berpusat di sekitar Museum Fatahillah, terdapat lima jalan utama yang menjadi akses masuk dari wilayah pinggiran. Di kedua sisi jalan utama yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan Ancol dibuat taman. Batavia dikelilingi oleh hutan primer, yang diperkirakan masih bertahan hingga abad ke-18. Bangunan masjid dan gereja yang kini disebut masjid-masjid tua dan gereja-gereja tua kian memperkaya khazanah kota Jakarta yang indah dan menawan kala itu.

Mari menengok Jakarta tempo dulu, yang indah dan memerhatikan ruang publik yang enak dinikmati. Kala itu, orang-orang kecil yang bekerja keras dengan memeras keringat tak harus disingkarkan demi mengatur tata ruang Jakarta.

Orang-orang kecil yang menjadi pedagang kaki lima bukanlah obyek untuk diusir dan disingkirkan. Mereka punya hak hidup dan punya hak untuk berusaha di mana saja di wilayah Indonesia. Demikian pula dengan para pendatang yang kerap diusir gara-gara tak ber-KTP Jakarta, sebab keadaan penuh sesak tidak selalu disebabkan oleh banyaknya jumlah orang yang berurbanisasi.

Jadi, cara menata kota Jakarta supaya tidak terasa penuh sesak dan menyesakkan adalah soal gampang. Salah satunya adalah dengan menengok Jakarta tempo dulu. Lantas, libatkan lebih banyak orang (termasuk orang-orang yang dipinggirkan, dimiskinkan dan ditelantarkan) dalam menata ruang publik Jakarta agar kian bisa dinikmati. Dengan ulang tahun Jakarta ke-481, mari kita mulai! [Perspektif, Opini Indonesia Tahun III Edisi 105, 23 Juni-29 Juni 2008]


Label:

0 komentar: