Memanfaatkan Jaringan Memberdayakan Masyarakat

Potret keadaan ekonomi masyarakat tampak kian bopeng. Berbagai persoalan terus mendera mereka, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah. Kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, tidak tersedianya lapangan pekerjaan, dan bencana alam, membuat nasib orang-orang miskin kian miskin.

Meski menurut pemerintah, angka kemiskinan berkurang namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi masih menghampiri sebagian besar masyarakat. Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6%. Ini didasarkan pada perhitungan penduduk yang hidup dengan penghasilan di bawah USD 2 per hari per orang, dari jumlah penduduk Indonesia 232,9 juta pada 2007.

Tingkat kemiskinan itu berkorelasi dengan sempitnya kesempatan kerja yang bisa diakses masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% namun menurut laporan Bappenas (2006), pada tiap pertumbuhan 1% hanya membuka 48.000 kesempatan kerja. Itu berarti, pertumbuhan ekonomi tidak selaras dengan pembukaan lapangan kerja.

Lantas, apa jalan keluar yang bisa menjadi alternatif bagi kemampuan ekonomi masyarakat. Disinilah pentingnya langkah pemberdayaan masyarakat yang tidak hanya menjadi tugas pemerintah tetapi tugas masyarakat itu sendiri. Suatu pemberdayaan yang mampu mendukung kemampuan masyarakat dalam menghadapi kondisi kekinian dan mampu memperkuat keberdayaannya dalam jangka panjang.

Upaya pemberdayaan masyarakat terkait dengan pemberian akses bagi masyarakat, komunitas, dan organisasi masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan hak masyarakat bagi peningkatan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Karena itu, pemberdayaan masyarakat penting dilakukan untuk mengatasi ketidakmampuan masyarakat yang disebabkan oleh keterbatasan akses, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, adanya kondisi kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat dan adanya keengganan pemerintah membagi wewenang dan sumber daya kepada masyarakat.

Di sisi lain, berbagai program pemberdayaan yang bersifat parsial dan sektoral yang pernah dilakukan, kerap menghadapi kondisi kurang menguntungkan. Misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar, terciptanya benih fragmentasi sosial, dan melemahkan kapital sosial yang ada di masyarakat seperti gotong royong, musyawarah dan keswadayaan. Lemahnya kapital sosial pada gilirannya mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang kian jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalan secara bersama.
Salah satu sebab melemahnya kondisi kapital sosial dan perilaku masyarakat adalah karena keputusan dan kebijakan. Juga tindakan dari pengelola program pemberdayaan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang cenderung tidak berorientasi kepada masyarakat golongan ekonomi lemah, tidak adil dan tidak transparan.

Hal ini menimbulkan kecurigaan, kebocoran, stereotype dan skeptisme di masyarakat. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil dapat terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang tidak benar-benar melibatkan masyarakat. Salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, tidak berorientasi pada keadilan, dan tidak dikelola secara jujur-terbuka.

Kelembagaan masyarakat tidak berdaya karena karakteristik lembaga masyarakat yang ada di masyarakat cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Di ditengarai pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini dalam beberapa hal lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya.

Lembaga masyarakat yang mandiri mampu menjadi wadah perjuangan kaum ekonomi lemah, menyuarakan aspirasi masyarakat, memengaruhi proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, sehingga berorientasi kepada masyarakat miskin dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik: dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan, perumahan dan pemukiman.

Jaringan Membuat Masyarakat Berdaya
Lembaga masyarakat yang mandiri akan bermunculan apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat tersebut adalah kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas, relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat, dan bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Tentu, ini bukan pekerjaan mudah karena upaya-upaya membangun kepedulian, kerelawanan dan komitmen pada dasarnya terkait dengan proses perubahan perilaku masyarakat.

Langkah Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) memanfaatkan jaringan yang dimiliki Nahdlatul Ulama (NU) untuk menyukseskan program kerjanya adalah langkah yang tepat. Sebagai kementerian negara yang tidak punya kaki di daerah sebagaimana departemen, Kemenneg PDT tidak akan mampu berbuat banyak tanpa bantuan dan dukungan dari unsur-unsur di dalam masyarakat sendiri, apalagi kewenangan Kemenneg PDT kian diperluas, antara lain menyangkut pengembangan perekonomian lokal dan pembangunan infrastruktur di pedesaan.

Nota Kesepahaman Kerja Sama (MoU) antara Kemenneg PDT dengan PBNU, yang meliputi program pemberdayaan ekonomi lokal, pelatihan dan pendampingan masyarakat di daerah tertinggal, akan menggerakkan potensi-potensi lokal.
Untuk menggerakkan ekonomi lokal, Kemenneg PDT juga bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, berencana mendirikan 25.000 lembaga keuangan mikro (LKM) untuk membantu permodalan masyarakat di desa-desa tertinggal. Inilah salah satu cara memberdayakan perekonomian masyarakat, yakni dengan menyediakan LKM yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pembentukan LKM yang menjadi salah satu fokus program Kemenneg PDT pada 2008 yang masuk dalam program "Green Bank", diharapkan mampu memberdayakan masyarakat. Sehingga terwujudlah misi pemberdayaan masyarakat, yakni “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri”.

Beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan program tersebut antara lain, yaitu: (1) adanya kesesuaian antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket program dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) adanya kegiatan monitoring yang terencana (4) dan adanya kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan program.

Untuk mencapai hasil yang optimal, perlu dilakukan pola pendekatan partisipatif dan transparansi. Partisipatif artinya menempatkan masyarakat sebagai subyek (pemilik) dalam pemberdayaan itu dan bukan obyek (penerima), sekaligus mempunyai keterlibatan aktif dalam semua level kegiatan. Di sini, target kelompok masyarakat hars benar-benar didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam program. Transparansi dimaksudkan untuk mempertegas bahwa seluruh upaya pemberdayaan masyarakat dikelola dalam tata kelola yang baik dan dapat diakses informasinya oleh para pihak terkait. Dalam hal ini, setiap perubahan pelaksanaan program perlu diberitahukan dengan baik, aktif dalam kegiatan hubungan masyarakat.

Lebih sahih lagi, perlu (1) akuntabilitas, yakni mempertanggungjawabkan setiap pemanfaatan dana, serta melakukan audit keuangan; (2) berorientasi lapangan dan pemanfaatan sumber daya lokal, di mana seluruh kegiatan mempertimbangkan situasi, tradisi, dan nilai-nilai setempat termasuk ketika melakukan pemilihan peralatan selalu mempertimbangkan aspek pemeliharaan dan perbaikan yang dapat dilakukan secara lokal setempat; (3) berkesinambungan, yakni upaya berbagai kegiatan seyogyanya dapat dipertahankan oleh masyarakat walaupun program telah berakhir; (4) membangun kemitraan: seluruh pihak yang terlibat berupaya sekuat-kuatnya untuk bekerjasama secara gotong royong.

Dengan memanfaatkan jaringan NU dan beberapa yang lain, maka tujuan pemberdayaan masyarakat akan tercapai. Pemberdayaan yang merupakan paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya, yakni mulai dari aspek intelektual, material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial, akan berkembang menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.

Harapannya, 33 ribu desa tertinggal dari 70 ribu desa yang ada di Indonesia segera tinggal landas. Sejumlah desa tertinggal tersebut berada di 199 kabupaten; tersebar di 58 kabupaten di Sumatera, 123 kabupaten di kawasan Indonesia Timur, dan 18 kabupaten di Jawa dan Bali. Kemenneg PDT bertekad sebanyak 40 kabupaten harus sudah terentaskan dari status tertinggal pada 2009. Jadi, butuh waktu 5 tahun untuk mengentaskan semua desa tertinggal yang tersebar di 199 kabupaten itu. [Versi OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 106, 30 Juni-6 Juli 2008, berjudul "Menebar Jaring Berdayakan Masyarakat"]


Label:

0 komentar: