Patung Tumbur dari “Forgotten Islands of Indonesia”

Menyulap kayu hitam menjadi barang kerajinan yang apik. Itulah salah satu usaha masyarakat Desa Tumbur, berupa karya seni pahat. Kebiasaan ini melekat sejak berabad-abad silam.

Seperti nama desa di mana patung itu dibikin, maka nama patung yang dibuat dari kayu hitam (juga kayu salamudi dan kayu besi) hasil pahatan masyarakat Desa Tumbur, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), pun diberi nama patung tumbur. Usaha pembuatan patung tumbur berlangsung secara turun temurun, dan menggambarkan aktivitas kehidupan manusia purba sejak ribuan tahun silam.

Hal ini tergambar dari aneka motif yang melukiskan kehidupan sebagai nelayan, petani, berburu, berperang dan acara ritual. Karena itu, karya pahatan warga Tumbur tak terbatas pada patung, tetapi ada juga hasil pahatan apik berupa perahu yang ditumpangi oleh beberapa orang yang menggambarkan etos kerja dan solidaritas yang mantap. Selain itu, ada produk asesori berupa kalung berbandulkan patung kecil nan elok.

Namun begitu, nama patung tumbur lebih populer. Mengapa demikian? Jawabannya mungkin karena ragam atawa motifnya lebih banyak. Ada patung tongkat dagu (persembahan), yang menggambarkan seorang kakek mempersembahkan suatu maksud kepada yang dianggap sebagai Tuhan agar mengabulkan kehendaknya.

Motif patung yang berdiri atau duduk sambil memegang tombak dan parang, menggambarkan pertahanan wilayah atau merencanakan perang dengan kampung lain untuk memperluas kekuasaan. Motif patung yang memegang tombak dan kepala manusia, menggambarkan menang perang dan sebagai buktinya membawa kepala manusia yang dibunuh. Motif patung yang sedang berdiri memegang kapak dan sebuah balok di pundak, menggambarkan seorang lelaki tua baru pulang dari hutan sambil membawa hasil usaha berupa sebuah balok.

Lalu, motif patung yang membawa busur, anak panah dan parang di pinggang, menggambarkan mata pencahariannya adalah berburu babi di hutan untuk menghidupi keluarganya. Motif patung keko kalabasa, menggambarkan seorang wanita baru pulang mengambil air dengan menggunakan wadah kalabasa. Motif patung yang sedang duduk silang kaki dan kedua tangannya bertopang dagu, menggambarkan kegembiraan seorang lelaki tua sedang duduk merenungkan nasib hidupnya. Motif patung yang berdiri memegang tombak dan silang salah satu kakinya di tombak, menggambarkan kegembiraan seorang tete tua (panglima perang) yang melampiaskan kepuasannya dengan membuat atraksi karena menang dalam perang.

Berikutnya adalah motif patung yang sedang duduk lipat kakinya dan kaki sebelahnya berdiri sambil memegang tempat minuman, menggambarkan seorang tete tua sementara duduk sambil minum sagero (tuak) di mana cangkirnya terbuat dari ruas bambu atau sasou (tempurung kelapa). Motif keko bakol, menggambarkan aktivitas seorang ibu yang baru pulang dari kebun sambil membawa umbi-umbian dan hasil kebun lainnya yang dimasukkan dalam bakul sebagai bahan makanan bagi keluarganya. Motif patung memegang parang dan kepala manusia, menggambarkan pada zaman dahulu orang yang pergi berperang harus membawa kepala manusia --setelah itu mereka berpesta sambil minum sopi (arak) kemudian kepala manusia tersebut dibawa ke hutan sebagai suatu persembahan kepada arwah leluhur dengan cara meletakkannya di bawah pohon besar.

Itulah sebelas motif patung tumbur yang penuh makna dari sejarah panjang MTB, yang berada di wilayah provinsi Maluku. Sebuah daerah yang memiliki keindahan panorama pulau-pulau dan wilayah lautnya ini, disebut oleh Nico De Jonge dan Toos Van Dijk (1995) “forgotten islands of Indonesia”.

Kabupaten MTB yang dibentuk berdasarkan UU No. 46 tahun 1999 ini memang tersusun atas gugusan pulau-pulau nan elok. Daerah ini memiliki wilayah seluas 125.442,4 Km2 yang terdiri lautan seluas 110.838,4 Km2 (88,37 %) dan daratan seluas 14.584 Km2 (11,63 %). Oleh karena itu filosofi pembangunan di MTB diarahkan dan dibangun dari laut ke darat dengan mendewakan laut dan bertumpu di darat.

Secara geografis, daerah ini berada pada posisi 6°- 8°.30' LS dan 125°.45' - 133°BT yang berbatasan langsung dengan Laut Banda, Laut Timor dan Lautan Arafura, Selat Ombai dan Selat Wetar, serta Laut Arafura. Topografi wilayahnya sangat bervariasi mulai dataran rendah, berbukit dan bergunung.

Keadaan alam nan elok membuat masyarakat MTB mampu menghasilkan karya seni pahatan yang juga elok dengan detail yang sempurna. Lihat saja hasil berbagai jenis kerajinan yang diproduksi di Desa Tumbur dan sekitarnya itu!

Dengan berbekal kapak, gergaji, pahat, pisau dan amplas, masyarakat Tumbur bisa menghidupi diri dan keluarganya dengan menyulap kayu hitam (juga kayu salamudi dan kayu besi) menjadi beragam motif patung, perahu dan asesori lainnya seperti kalung, bandul kunci dan sisir. Rata-rata produksi 1.500 buah per bulan. Setiap orang mampu menghasilkan 1 buah per dua hari. Jadi ada 100-an orang yang terlibat sebagai pengrajin. Kalau dirata-rata harga sebuah patung Rp 100 ribu, maka setiap pengrajin menghasilkan uang Rp 1,5 juta per bulan.

Menengok Patung Tumbur di Desa Tumbur
Melakukan perjalanan menuju Desa Tumbur, tidaklah sulit. Dari Ambon, naiklah pesawat Trigana Air jurusan Saumlaki, kira-kira ditempuh dalam 2 jam. Nah, dari Saumlaki, ibukota Kabupaten MTB itu, kita tinggal menuju lokasi pengrajin patung tumbur yang berjarak 27 kilometer.

Sesampai di Desa Wisata itu, kita bisa menyaksikan proses produksi. Kayu dibuat balok ukuran 12x10x150 cm atau 5x3x150 cm; balok dipotong sesuai panjang patung; lalu menggambar motif yang akan dipahat; memahat sesuai motif; menghaluskan dengan cara melimar, serut dengan pecahan kaca, lantas diamplas. Maka jadilah patung tumbur!

Patung tumbur tentu terdiri dari berbagai ukuran. Tinggi patung kategori 1 adalah ukuran 30 cm, bisa dibuat 29-33 cm. Tinggi patung kategori 2, ukuran 25 cm, bisa dibuat 24-26 cm. Tinggi patung kategori 3, ukuran 20 cm, bisa dibuat 19-21 cm. Tinggi patung kategori 4, ukuran 15 cm, bisa dibuat 14-16 cm. Lalu ukuran 10 cm untuk model-model modifikasi asesori seperti mainan kunci. Harga patung-patung ini berkisar antara Rp 15 ribu hingga Rp 500 ribu, tergantung pada besar kecilnya ukuran patung.

Patung berukuran 15 cm Rp 15 ribu, 20 cm Rp 20 ribu, 25 cm Rp 25 ribu, 30 cm Rp 30 ribu, 50 cm Rp 50 ribu, 1 meter Rp 250 ribu; serta perahu 30 cm Rp 250 ribu, 40 cm Rp 350 ribu dan perahu panjang 1 meter Rp 500 ribu.

Sambil menikmati pemandangan pulau-pulau beserta lautnya yang indah sekaligus mengunjungi Desa Tumbur adalah pengalaman yang mengasyikkan. Di sana, kita akan mendapati banyak hal: panorama elok di wilayah perbatasan dan bisa berbelanja karya agung masyarakat Tumbur. [Profil Usaha, Opini Indonesia Tahun III Edisi 105, 23 Juni-29 Juni 2008]



Label:

0 komentar: