Hidup Untung Keluarga Pelukis

Menggantungkan hidup sebagai PNS dan sejenisnya, karyawan, atau profesional, hingga beranak pinak mengikuti alur aktivitas yang lebih tua, mungkin itu biasa. Yang tak biasa adalah jalan hidup yang dipilih Slamet Barada, sebagai pelukis bersama keempat anaknya.



“Keluarga pelukis.” Itulah orang-orang di Kota Surakarta dan sekitarnya kerap menyebut Slamet Barada dan keluarganya. Tentu sebutan itu wajar, sebab Slamet Barada dan keempat anaknya memang hidup dari melukis.

Karya-karya mereka tampil menawan berjejer di jalanan sepeda ontel di pinggiran Jalan Raya Slamet Riyadi Surakarta, akhir Juli lalu, ketika Pemerintah Kota Surakarta punya gawe menggelar Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia.

Dari pameran itu saja, Slamet dan keempat anaknya mengantongi uang tak kurang dari Rp 60 juta hasil empat hari pameran di pinggir jalan. Lima lukisan yang rata-rata berukuran 270x140 sentimeter itu laku terjual Rp 12 juta per buah. Jadi, lumayan bukan? Corat coret di atas kanvas yang berawal dari hobi itu lalu benar-benar menjadi tumpuan hidup dan kehidupan bagi Slamet dan keempat anaknya.

Slamet mengawali karirnya sebagai pelukis pada 1978. Secara otodidak pria kelahiran Yogyakarta 16 Juni 1952 ini kian mahir hingga menemukan ciri khas lukisan beraliran realis namun juga kadang tak bisa menepis gejolak hatinya yang dekat dengan hal-hal yang spiritual.

Karena itulah lukisaan-lukisan karya Slamet tak hanya berupa rona kehidupan desa seperti tukang becak di tengah rindang pepohonan dan anak-anak sedang tampil meniup seruling menyambut hari ulang tahun seseorang di sebuah desa. Namun, lulusan Sekolah Teknik Negeri Surakarta (1972) ini juga piawai melukis bergaya abstrak, bahkan obyek lukisannya menjamah wilayah gaib seperti Ratu Pantai Selatan, Dewi Kencono Wungu, Kumolo Sari (Dewi Angin-angin), Retno Sudo (Kencono Sari). Enam lukisan gaib karya Slamet ditaruh di Cikini, Cilandak dan Pasar Minggu, Jakarta.

Obyek lukisan Slamet beraneka ragam. Ada ikan koi di tengah pancuran air dan kembang teratarai yang sedang merekah. “Lukisan ini melambangkan bahwa biar bisnis ada perkembangan. Ini ditandai dengan bunga teratai yang baru mekar, yang nantinya kuncup-kuncupnya akan tumbuh. Lalu air terjun menandakan bahwa rezeki terus nggrojok, dan batu-batu kecil di tengah telaga dimaksudkan biar rezeki tak berhenti,” ujarnya.

Ada juga Budha Kecil ukuran 200x125 sentimeter yang dijual Rp 15 juta. Berupa sejumlah anak kecil berpakaian ala Budha menjemur diri memandang matahari. Cerita ini menghimpun tentang kebaikan, kesucian dan kerohanian. Lalu, lukisan Ulang Tahun, berupa sejumlah anak sedang asyik menyuling di sebuah acara ulang tahun. Tampak damai, apa adanya dan alami. Lukisan berukuran 160x140 sentimeter ini dijual Rp 6 juta.
Slamet yang telah 30 tahun melukis dan hidup dari lukisannya tersebut menunjukkan bahwa ia adalah salah satu ikon pelukis yang khusyuk. Di Kota Surakarta saja, suami dari Sumini ini harus bersaing dengan 600-an pelukis. Namun, pria yang menikah pada 1978 dan kini telah dikaruniai empat anak ini tetap berjaya.

Melihat keberhasilan ayahnya melukis, keempat anak Slamet-Sumini mengikuti jejak sang “guru besar”. Barada Agung (30), Arifin Barada (26), Yosep Barada (20) dan Mira Sahara (9), sama-sama berprofesi melukis. Mereka belajar kepada ayahnya Slamet Barada, yang kerap disapa guru besar itu. Selain itu, mereka juga mengembangkan diri secara otodidak. Mereka sekhusyuk ayahnya, termasuk Arifin Barada yang juga disibukkan merampungkan skripsinya di jurusan Seni Rupa FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Jadilah, Slamet sekeluarga yang beralamat di Jl Lempuyangan II Barat Balai Desa Kwarasan RT02 RW02 Solo Baru, menggantungkan hidup dari melukis. Selebihnya, hidup untuk melukis!
[...Selengkapnya]

Label: