Hidup Untung Keluarga Pelukis

Menggantungkan hidup sebagai PNS dan sejenisnya, karyawan, atau profesional, hingga beranak pinak mengikuti alur aktivitas yang lebih tua, mungkin itu biasa. Yang tak biasa adalah jalan hidup yang dipilih Slamet Barada, sebagai pelukis bersama keempat anaknya.



“Keluarga pelukis.” Itulah orang-orang di Kota Surakarta dan sekitarnya kerap menyebut Slamet Barada dan keluarganya. Tentu sebutan itu wajar, sebab Slamet Barada dan keempat anaknya memang hidup dari melukis.

Karya-karya mereka tampil menawan berjejer di jalanan sepeda ontel di pinggiran Jalan Raya Slamet Riyadi Surakarta, akhir Juli lalu, ketika Pemerintah Kota Surakarta punya gawe menggelar Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia.

Dari pameran itu saja, Slamet dan keempat anaknya mengantongi uang tak kurang dari Rp 60 juta hasil empat hari pameran di pinggir jalan. Lima lukisan yang rata-rata berukuran 270x140 sentimeter itu laku terjual Rp 12 juta per buah. Jadi, lumayan bukan? Corat coret di atas kanvas yang berawal dari hobi itu lalu benar-benar menjadi tumpuan hidup dan kehidupan bagi Slamet dan keempat anaknya.

Slamet mengawali karirnya sebagai pelukis pada 1978. Secara otodidak pria kelahiran Yogyakarta 16 Juni 1952 ini kian mahir hingga menemukan ciri khas lukisan beraliran realis namun juga kadang tak bisa menepis gejolak hatinya yang dekat dengan hal-hal yang spiritual.

Karena itulah lukisaan-lukisan karya Slamet tak hanya berupa rona kehidupan desa seperti tukang becak di tengah rindang pepohonan dan anak-anak sedang tampil meniup seruling menyambut hari ulang tahun seseorang di sebuah desa. Namun, lulusan Sekolah Teknik Negeri Surakarta (1972) ini juga piawai melukis bergaya abstrak, bahkan obyek lukisannya menjamah wilayah gaib seperti Ratu Pantai Selatan, Dewi Kencono Wungu, Kumolo Sari (Dewi Angin-angin), Retno Sudo (Kencono Sari). Enam lukisan gaib karya Slamet ditaruh di Cikini, Cilandak dan Pasar Minggu, Jakarta.

Obyek lukisan Slamet beraneka ragam. Ada ikan koi di tengah pancuran air dan kembang teratarai yang sedang merekah. “Lukisan ini melambangkan bahwa biar bisnis ada perkembangan. Ini ditandai dengan bunga teratai yang baru mekar, yang nantinya kuncup-kuncupnya akan tumbuh. Lalu air terjun menandakan bahwa rezeki terus nggrojok, dan batu-batu kecil di tengah telaga dimaksudkan biar rezeki tak berhenti,” ujarnya.

Ada juga Budha Kecil ukuran 200x125 sentimeter yang dijual Rp 15 juta. Berupa sejumlah anak kecil berpakaian ala Budha menjemur diri memandang matahari. Cerita ini menghimpun tentang kebaikan, kesucian dan kerohanian. Lalu, lukisan Ulang Tahun, berupa sejumlah anak sedang asyik menyuling di sebuah acara ulang tahun. Tampak damai, apa adanya dan alami. Lukisan berukuran 160x140 sentimeter ini dijual Rp 6 juta.
Slamet yang telah 30 tahun melukis dan hidup dari lukisannya tersebut menunjukkan bahwa ia adalah salah satu ikon pelukis yang khusyuk. Di Kota Surakarta saja, suami dari Sumini ini harus bersaing dengan 600-an pelukis. Namun, pria yang menikah pada 1978 dan kini telah dikaruniai empat anak ini tetap berjaya.

Melihat keberhasilan ayahnya melukis, keempat anak Slamet-Sumini mengikuti jejak sang “guru besar”. Barada Agung (30), Arifin Barada (26), Yosep Barada (20) dan Mira Sahara (9), sama-sama berprofesi melukis. Mereka belajar kepada ayahnya Slamet Barada, yang kerap disapa guru besar itu. Selain itu, mereka juga mengembangkan diri secara otodidak. Mereka sekhusyuk ayahnya, termasuk Arifin Barada yang juga disibukkan merampungkan skripsinya di jurusan Seni Rupa FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Jadilah, Slamet sekeluarga yang beralamat di Jl Lempuyangan II Barat Balai Desa Kwarasan RT02 RW02 Solo Baru, menggantungkan hidup dari melukis. Selebihnya, hidup untuk melukis!
[...Selengkapnya]

Label:

Topeng Narimo Sampai Korea

Ketekunan membuat Narimo mencapai tangga keberhasilan. Karya topengnya pun sempat mampir ke Korea Selatan.

Puluhan topeng berjajar dan bergelantungan di Jatisobo RT 02 RW 06, Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Itulah tempat Narimo dan istrinya, Supriyati, menyulap kayu sengon laut dan kayu jati menjadi beragam jenis topeng.

Dari tangan pasangan suami istri itu lahirlah topeng-topeng yang dipergunakan untuk menari. Ada Kelono, Raja Molo, Sekartaji, Panji, Pentul, Tembem, Cakil, Buto Terong, Punakawan dan Durno. Topeng-topeng lainnya yang digunakan untuk asesori interior antara lain ada motif Merak, Bunga, Bulan Sabit dan Badak. Sementara topeng-topeng buat sovenir, gantungan kunci dan bandul kalung lebih beraneka ragam: dari topeng yang bermotif bunga hingga rojo molo.

Narimo, 43 tahun, adalah prototipe orang kampung yang ulet. Sejak lulus Sekolah Dasar di tempat kelahirannya Kabupaten Klaten, ia telah memulai membuat wayang kulit. Empat tahun kemudian, minat seninya bertambah hingga memutuskan untuk belajar membuat topeng. Kala itu, ia hijrah ke Kota Surakarta, belajar membuat topeng kepada Bambang Suwarno, dosen STSI Solo Bagian Pedalangan.

Sambil terus menerus menggeluti topeng, Narimo tak menyia-nyiakan kesempatan ajakan budayawan Murtijono untuk turut aktif di Taman Budaya Surakarta (TBS). Ia juga bersekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta, hingga tamat pada 1989. Tak heran bila Narimo kian matang dalam berkarya. Lantas, topeng-topeng karya Narimo muncul ke pasaran.

Sejak menikah dengan Supriyati, gadis tamatan SMA Bakti Praja Bekonang-Surakarta, pada 1994, karya topeng Narimo kian mewarnai pasar. Dari Solo, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, hingga ke mancanegara.

Meski Narimo orangnya ntrimo ora neko-neko (menerima apa adanya), ayah dua anak ini tak berarti harus pasrah. Untuk memasarkan karya topengnya, Narimo mengikuti pameran di setiap ada kesempatan. Bahkan, tak hanya di Indonesia, ayah dari Aji Ahmad Muhtarom (11) dan Arfian Panji (3) ini pernah mengikuti pameran di Korea Selatan pada Oktober 2007. Sepekan di sana, 30 topeng motif kelono, gunung sari dan merak besar, yang dibawanya habis terjual.

Pasangan suami istri, Narimo-Supriyati, memang kompak. Keduanya saling melengkapi dalam menempuh kehidupan, termasuk dalam usahanya membuat kerajinan topeng. Selama proses pembuatan topeng dikerjakan berdua: dari menatah kayu menjadi topeng, mengukir, menyungging, mengamplas, mendempul, mencat putih, mengamplas lagi, mengecat warna muka dan ornament. Namun khusus memberikan alis (ornamen di atasnya dicat dengan menggunakan tangan) dikerjakan Narimo.

Dalam sebulan, galeri Panji milik Narimo dan istri mampu memproduksi topeng Rojo Molo 4 biji dengan harga Rp 600 ribu per biji; 8 Hanoman, 4 Garuda Jaksa, dan 15 kelono @Rp 400 ribu-500 ribu; 20 Sekartaji dan Panji @Rp 300 ribu; 30 Tembem dan Pentul @Rp 150 ribu; dan ratusan asesori, gantungan kunci dan bandul kalung @Rp10 ribuan. “Baru-baru ini Pak Walikota Solo memesan 500 buah bandul kalung motif rojo molo,” ujar Supriyati. Mengapa rojo molo? “Sebab semua molo dimakan oleh rojo molo,” tambahnya.

Topeng yang merupakan rupa khusus ukiran kayu telah menjadi bagian hidup keluarga Narimo. Bagi Narimo, membuat topeng tak hanya bisnis semata namun sekaligus turut melanggengkan tradisi.

Walaupun berada di sepanjang gugusan pulau Ibu Pertiwi dan bisa ditemukan pada upacara-upacara pemakaman dan sebagainya, bentuk topeng yang paling gampang dikenal adalah topeng yang dipergunakan pada tarian wayang topeng Jawa dan Bali.

Pengenalan wayang topeng itu disifatkan pada kedatangan Sunan Kalijaga, salah seorang walisongo abad XV seiringan delapan handai taulan lainnya memutus berdomisili di buana Nusantara (pulau Jawa) agar memancarkan agama Islam. Namun beberapa tarian adalah warisan tata adab Hindu-Buddha.

Penari-penari menyelenggarakan cerita wiracarita India seperti misalnya epos Mahabharata atau hikayat-hikayat khas setempat dan topeng dimanfaatkan guna mewakili para tokoh. Topeng-topengnya berpusparagam dari topeng Jawa Barat dan Tengah yang formal tapi polos hingga topeng Jawa Timur yang ukirannya sangat berliku-liku.

Jadi, tak sekadar berbisnis, membuat topeng adalah juga memelihara budaya yang adiluhung. Dengan begitu, Narimo dan Supriyati adalah pemelihara budaya yang hidup dari ketekunannya bergelut dengan topeng. Mau berkunjung ke Galeri Panji? Dari Solo, ambil jurusan Sukoharjo. Nah, begitu ketemu Pasar Bekonang, itu pertanda sudah dekat: tinggal beberapa kilometer lagi sampai kedapatan SD Jatisobo. Nah di samping SD itulah Narimo dan istri menyulap kayu sengon laut menjadi topeng-topeng yang menawan.

Kampung Topeng
Bermula dari pertanian, kini sawah menjadi sambilan. Begitulah kehidupan penduduk Dusun Bobung, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Setelah mengembangkan kerajinan topeng batik kayu sejak pertengahan tahun 1980-an, kini penduduk dusun itu mulai memetik hasilnya. Kerajinan batik kayu dari Bobung tidak hanya dikenal di Indonesia, namun juga sudah mendunia.
Sejak dicanangkan sebagai desa wisata tahun 2000, kegiatan pembuatan kerajinan berbahan baku kayu semakin meningkat. Wisatawan yang mampir ke perajin-perajin yang ada di Bobung dapat melihat dari dekat, bahkan ikut belajar mengerjakan kerajinan kayu yang akan dibeli. Hampir setiap penduduk dusun yang terletak lebih kurang 30 kilometer arah timur Kota Yogyakarta ini mahir membuat kerajinan dari kayu, tak terkecuali anak-anak yang baru duduk di bangku taman kanak-kanak atau sekolah dasar.
Kerajinan batik kayu di Bobung berawal dari kebutuhan topeng kayu untuk lakon-lakon dalam seni tari Topeng Panji yang berkembang di dusun ini sejak tahun 1960-an. Tari tersebut merupakan pengembangan dari seni pedalangan yang menghadirkan topeng sebagai media berkesenian. Sunan Kalijaga merupakan pencipta topeng dari kayu yang kemudian dikenal sebagai topeng Panji itu, dengan cerita yang diambil dari pakem wayang Gedog.
Selain bentuk topengnya khas, mirip dengan penggambaran tokoh wayang purwa yang matanya tertarik ke atas dengan hidung lancip, motif batik yang mendasari pewarnaan topeng menambah nilai keindahan hasil kerajinan dusun yang letaknya sekitar 1,5 km dari Jalan Raya Wonosari ini. [OI, profil usaha, Tahun III, Edisi 111, 4-10 Agustus 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Menuju Zaman Kalasuba

Zaman carut marut. Tata hukum, tata kenegaraan, dan tata pembangunan amburadul, lantas melahirkan kalatida dan kalabendu. Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan, perbedaan benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tidak adil, tak digubris. Kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan didewakan.

Coba simak peristiwa demi peristiwa korupsi (juga kolusi dan nepotisme) yang melilit negara Indonesia ini, tak kunjung berhenti. Yang terjadi justru, cenderung menyeruak ke segala ranah kepentingan: dari kepentingan memperkaya diri (keluarga dan kerabat), menyumbang partai politik, hingga bisnis! Karena itu praktik korupsi kerap berjalin berkelindan dengan pelibatan orang secara berjamaah, serta menjangkau ke lintas profesi dan kelembagaan.

Lihat saja kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang melibatkan banyak orang, profesi dan lembaga. Begitu pula dengan korupsi menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan kasus-kasus korupsi lainnya. Kisah kasus korupsi ini juga pernah melanda Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Namun yang masih hangat adalah kejahatan korupsi yang membuka borok lembaga legislatif.

Setelah Al Amin Nur Nasution (kasus alihfungsi lahan) dan Bulyan Royan (kasus lelang pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut) menjadi tersangka korupsi, kasus lainnya terungkap. Sedikitnya, sebagaimana kesaksian Hamka Yandhu di depan persidangan, 52 anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX pada periode 1999-2004 terlibat korupsi: yakni menerima duit dari aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR.

Tampaknya korupsi telah melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat dan para penyelenggara negara di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para penyelenggara negara kerap menciptakan sistem yang menguntungkan dirinya sendiri demi melanggengkan kekuasaan. Di sisi lain masyarakat dipaksa menanggung akibat dari sistem yang mereka ciptakan. Akibatnya, masyarakat terperangkap di dalam sistem yang dikuasai oleh orang-orang yang korup. Nah, jika dari jajaran Rukun Tetangga (RT) hingga lembaga kepresidenan (serta lembaga yudikatif dan legislatif) diisi oleh aparat-aparat yang korup, maka praktik korupsi merajalela di setiap strata lembaga pemerintahan.

Sepertinya, pada tatanan penyelenggaraan negara, korupsi menjalar mulai dari level lembaga tinggi negara hingga level terendah. Sebagian besar aparat negara sudah terkontaminasi praktik korupsi, secara terang-terangan maupun terselubung. Sementara itu, berkembangnya korupsi juga didukung oleh berbagai kepentingan masyarakat yang memberi ruang tumbuh suburnya praktik korupsi. Bagi sebagian orang, menyogok aparat telah menjadi keseharian dan budaya yang wajar untuk dilakukan.

Inikah zaman edan? Seperti tersurat dalam karya sastra tembang “Sinom” dalam “Serat Kalatida” bab 8: //Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ melu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya kaduman melik/ kaliren wekasanipun// Ndilallah karsa Allah/ Sakbeja-bejane kang lali/ luwih beja kang eling lawan waspada// (Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak, ikut gila tidak tahan, jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik, akhirnya menjadi ketaparan. Namun dari kehendak Allah, seuntung-untungnya orang yang lupa diri, masih lebih berbahagia orang yang ingat dan waspada).

Isyarat dari Raden Ngabehi Ronggowarsito perlu ditilik bahwa bangsa Indonesia harus bersikap waspada menghadapi kalatida dan kalabendu. Tokoh yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan “warisan piwulang yang sangat berharga” berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estetika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya dan teologi, mendudukkannya sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.

Ramalan R. Ng. Ronggowarsito yang terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 Jawi atau 1802 Masehi, putra dari RM. Ng. Pajangsworo, ternyata terjadi sekarang ini dan mungkin juga nanti, kalau zaman kalatida-kalabendu tak kunjung berujung pada lahirnya zaman kalasuba. Kalasuba adalah zaman stabilitas dan kemakmuran.

Menuju Zaman Kalasuba
Masyarakat tahu bahwa lembaga-lembaga kenegaraan, seperti lembaga kepresidenan, kabinet, DPR, dan peradilan, tak bersih dari korupsi. Betapa canggihnya para pelaku korupsi dengan predikat pejabat negara memindahkan uang rakyat yang terkumpul melalui pajak atau retribusi ke kantung-kantung mereka. Belum lagi uang-uang lain yang berasal dari pinjaman, atau bantuan dari negara-negara lain. Bagaikan mencari jarum di dalam tumpukan jerami, sulit menemukan aparat yang bersih.

Tak berlebihan kalau ada anggapan bahwa perilaku korup sudah ada bersama dengan adanya kekuasaan dalam masyarakat. Karena kekuasaan itu dianggap bersifat korup, dengan sendirinya orang yang mempunyai kekuasaan akan sama saja. Tak heran jika kemudian ada orang yang menganggap bahwa kecenderungan korupsi yang ada dalam diri aparat selama ini muncul karena mereka mempunyai kekuasaan untuk melakukan itu.
Kekuasaan pula yang membuat aparat yang korup menjadi kebal hukum. Mungkin ini salah satu sifat dari kekuasaan dan pemegang kekuasaan di negeri ini yang bisa berbuat apa saja tanpa harus merasa takut dengan hukum. Dampaknya, aparat hukum menjadi mandul ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. Kalaupun terjadi keputusan hukum, paling-paling hukumannya ringan, atau dibebaskan dengan berbagai alasan. Bagaimana tidak, citra mereka selama ini jauh dari yang diharapkan masyarakat.
Untuk itu, janganlah menyerah pada kekuasaan yang korup. Jadikan kekuasaan itu untuk menyejahterakan dan memakmurkan sang pemegang kedaulatan. Mereka adalah rakyat! yang sungguh-sungguh memiliki kekuasaan. //Wis wayahe ana presiden utama/ wakil presiden linuwih/ pra nayaka tyas raharja/ panekare becik-becik..// (Sudah saatnya ada presiden yang baik, wakil presidennya cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik..)
Jika para pemimpin itu dapat dipercaya, memegang janji-janjinya ketika membujuk rakyat agar dapat menaiki singgasana, maka zaman kalasuba akan segera datang. Andai zaman kalatida-kalabendu adalah puncak aji mumpung, maka sebagaimana berputarnya roda sejarah –zaman kalasuba hampir tiba: hidup rakyat makmur dan tenteram. Kapan? Mungkin setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk semua koruptor: dari daun, ranting, pohon, hingga ke akar-akarnya! [OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 111, 4-10 Agustus 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Saatnya Elite NU Belajar pada Warganya

Membaca warga NU, bahkan Kiai NU, itu gampang. Kalau Anda ke kampung-kampung yang dihuni mayoritas warga NU, di sana Anda akan mudah mendapati model kehidupan yang sederhana, yang apa adanya. Rasanya tidak ada rasa pamer dan sikap serakah yang berlebihan. Semua serba mudah dipahami. Jika ada orang pamer dan atau serakah, dia akan terdeteksi di acara jamaah Tahlilan dan Yasinan yang berlangsung tiap malam Jum’at. Usai kumpulan di malam Jum’at itu, biasanya orang yang sok pamer dan serakah itu segera menyadari kekeliruannya.

Jadi, menyelesaikan masalah untuk kemaslahatan itu mudah bagi orang-orang NU di kampung. Secara kultural, bahkan warga NU mengerti bagaimana menyikapi Kiai-nya yang tak lagi bersikap independen. Tanpa ruang kelas, tanpa SKS, tanpa embel-embel gelar kesarjanaan, mereka mengerti bagaimana berpolitik yang santun dan bermartabat. Kalau sang Kiai “menjual” mereka untuk kepentingan politik pragmatis, mereka akan segera bertindak! Namun tindakan mereka tetap santun dan damai. Biasanya Kiai model ini akan ditinggalkan jamaahnya. Cara itu sangat elegan dan tidak memakan korban.

Andai pun ada kerusuhan atau adu otot antar warga NU dan atau dengan warga lainnya, biasanya pangkal soalnya hampir selalu berada pada sikap sang Kiai. Permusuhan antar warga NU yang dipicu oleh perilaku Kiai pernah terjadi di Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan beberapa daerah lain, pada Pemilu 1999. Namun begitu, perlu digarisbawahi, bahwa Kiai-kiai kampung umumnya berjalan seiring dengan warganya –sebab warga kampung itulah yang menjadikan seseorang itu diberi gelar Kiai atau Ustadz. Jadi, naif andai seorang Kiai lalu mengingkari sang pemegang kedaulatan itu!

Kalau Anda datang ke kantong-kantong NU yang masih ndeso, kampungan, bahkan kerap disebut kurang pendidikan, ternyata mereka lebih terdidik ketimbang para pendidik itu sendiri –yang belakangan terus menerus berjuang menaikkan gajinya meski dibanding warga masyarakat umumnya, mereka sudah berkecukupan. Bayangkan, di kampung-kampung, di desa-desa banyak warga NU yang bertindak sosial tanpa pamrih. Bahkan ketika mereka berkali-kali ditipu politisi, mereka tak berteriak-teriak mau golput! Dalam Pilkades-Pilkada-Pemilu, mereka tetap bersahaja memilih calon pemimpin. Setidaknya memilih orang yang terbaik dari yang terburuk.

Semakin sederhana, semakin bersahaja, semakin menerima pandume gusti Allah (pemberian Allah), akan semakin ketahuan bahwa mereka adalah orang NU. Mereka benar-benar nunut urip marang gusti Allah (menyerahkan hidupnya pada Allah). Hidup yang serba menggantungkan pada kehendak Allah itulah yang lazim mewarnai denyut kehidupan di kampung. Semua serba alamiah. Yang menjadi juragan adalah juragan tulen, begitu juga yang menjadi petani, pengrajian, bahkan Kiai. Karena itu, setiap orang mampu menakar kemampuan ekonomi masing-masing warga. Suasana hidup dan kehidupan warga masyarakat aman, nyaman, tenteram, dan tak bergejolak.

Suasana kampung berubah begitu budaya kota menghentak masuk. Hal-hal yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme pun tak ayal masuk kampung. Akhirnya sikap warga di beberapa kampung pun telah terdistorsi. Bahkan, sistem kepercayaan dalam pergaulan kampung pelan-pelan mulai terkiskis. Beberapa tokoh dari kampung yang tadinya bertangan bersih, mulai berani bertangan kotor. Alasan yang belakangan ngetrend adalah “tak mungkin menghindari tindakan maling kalau hidup di kampung maling”.

Lantas, bagaimana cara berbenah kembali membebaskan kampung-kampung itu dari tangan-tangan kotor orang-orang yang bermental maling? Jawabannya, mungkin, harus ada gerakan kampungisasi. Orang-orang yang telah menjadi elite itu segera dilengserkan kembali lantas hidup dari awal lagi bersama warga kampung yang masih bersahaja, sederhana, apa adanya. Hidup tanpa embel-embel menjadi “munafik”. Barangkali kejujuran akan kembali pulih begitu orang-orang yang telah menjadi elite (dengan segala keserakahannya itu) hidup bersama di tengah orang-orang yang lugu dan jujur.

Mungkin, gejolak PWNU Jawa Tengah adalah potret elite NU secara nasional. Ketika Rais Aam PBNU Dr KHMA Sahal Mahfudh melepaskan kegundahannya pada Konferensi Wilayah ke-13 PWNU Jawa Tengah di Pesantren Alhikmah 2 Desa Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, 11-13 Juli lalu, bisa jadi merupakan bom waktu di mana anomali-anomali struktural maupun gerakan politik terselubung mulai terkuak oleh publik. Kiai Sahal tiba-tiba bertentangan dengan arus yang berkembang di level pengurus wilayah.

Berbagai komentar miring tentang para pimpinan NU muncul dari Kiai tersohor ini, sampai-sampai beliau menolak namanya dicantumkan sebagai Mustasyar PWNU Jawa Tengah 2008-2013. Ungkapan beliau yang mengatakan tidak ada manfaat jika berada di Mustasyar, maupun ungkapannya bahwa NU telah kehilangan idealismenya dan hanya menjadi pembenar pikiran pimpinan yang penuh syahwat politik praktis, menimbulkan spekulasi sangat luas.

Kenapa Kiai santun itu berkata dengan konotasi keras? Ini tak mungkin terjadi hanya karena terpantik kasus kecil. Pasti ada kasus besar yang melatarbelakangi kemarahan Kiai Sahal. Apa yang dia ungkapkan merupakan indikasi kuat bahwa para elite NU sudah melakukan penyelewengan dan penyimpangan.

Mungkin virus politik yang telah menyebabkan friksi-friksi di tubuh NU itu yang ingin dibasmi oleh Kiai Sahal. Friksi-friksi itu muncul dari kalangan struktural yang secara pribadi melakukan politisasi NU dalam pilkades, pilkada, pemilu legislatif dan pilpres. Mereka menggunakan NU sebagai alat menggolkan tujuan politik.

Akibatnya, meskipun NU secara institusional bukan partai politik, keterlibatan elite NU secara pribadi atau kelompok dengan membawa simbol-simbol ormas dalam ajang dukung-mendukung dan tim sukses telah menyeret NU dalam kancah politik praktis. Ketika tim sukses melibatkan pribadi pimpinan NU, maka disadari atau tidak, institusi ini dibawa masuk ke kancah politik kekuasaan.

Apa yang terjadi di PWNU Jawa Tengah mestinya menjadi pijakan bagi seluruh institusi NU secara nasional, agar melakukan introspeksi dan restrospeksi menuju fungsionalisasi institusi dalam kancah sosial keberagamaan yang benar. Para elite NU, mulai dari tingkat ranting hingga pengurus besar, perlu melakukan penyembuhan diri dari berbagai penyakit akibat tidak mampu mengendalikan nafsu politik. Caranya mudah, belajarlah pada warga NU di kampung-kampung itu! [OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 110, 28 Juli-3 Agustus 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Bisnis Kemilau Putri Malu Dunia

Siapa tak mengenal batu permata? Benda yang berkilauan ini digemari banyak orang: dari preman hingga presiden. Wajar bila bisnis ini sangat menjanjikan.

Selama 30 tahun, Abd Nasir H menggeluti bisnis batu permata. Dari sini, pria separoh baya itu hidup dan menghidupi keluarganya. Tepatnya, di Jl A Yani Km 39,8 RT 01 RW 02 No. 2 Kel Jawa Martapura, Kalimantan Selatan, ia mengendalikan usahanya. Sepanjang berbisnis batu permata sejak 1978, Nasir –begitu ia kerap disapa, tak pernah kekurangan pembeli. Omsetnya tak kurang dari Rp 30 juta per bulan. “Itu dalam keadaan pasar tak ramai,” ujar Nasir. Tentu saja kalau pasar lagi ramai omsetnya bisa berlipat. “Biasanya pada hari-hari menjelang Idul Fitri, Natal dan tahun baru, permintaan berlipat,” tambahnya.

Meski sudah puluhan tahun berusaha di bidang batu permata dengan pelanggan yang sudah terbilang cukup, Nasir tak berpangku tangan mengandalkan penjualan di tokonya yang terletak di Pasar Niaga Baru Blok A No. 11, Martapura, Kalimantan Selatan. Namun ia terus mengembangkan pasarnya dengan mengikuti pameran di berbagai tempat. Kota Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Surakarta-Jawa Tengah, dan berbagai kota lainnya, pernah ia singgahi berjualan di tengah pameran. “Kalau pas lagi beruntung, barang yang saya bawa terjual habis. Bahkan seringkali ada peminat baru yang mengorder,” kata Nasir, yang mengaku membawa barang-barangnya ke dalam pameran senilai tak kurang dari Rp 100 jutaan.

Harga batu permata di tempat Nasir bervariasi. Gelang asesori ada yang berharga Rp 10 ribu, lalu cincin jenis batu kelulud dengan pengikat perak dan suasa (emas muda 33%) yang dikombinasi berharga Rp 325 ribu, sementara cincin emas muda yang dikombinasi dengan berlian bermata satu 0,20 karat berharga Rp 4 jutaan. Bahkan, ada batu permata dengan diameter 2 sentimeter berharga puluhan juta rupiah, serta harga berlian yang mencapai Rp 50-an juta lebih.

Untuk memenuhi kebutuhan bisnis, Nasir juga mengolah sendiri batu-batu permata itu menjadi cincin, gelang, kalung dan asesori dalam berbagai model. Ia melibatkan beberapa pengrajin yang bekerja secara lepas. Ongkos bikin Rp 3 ribu untuk bentukan cincin biasa. Seorang pekerja bisa menyelesaikan 10 cincin per hari. Sementara cincin dengan kombinasi emas, ongkos bikinnya sampai Rp 50 ribu. Seorang pengrajin bisa menyelesaikan 2 biji per hari. Jadi, selain menguntungkan buat diri Nasir, para pengrajin yang tinggal di dekat rumahnya juga menuai hasil: per orang Rp 30 ribu-Rp 100 ribu per hari.

Jenis-jenis batu permata yang dibisniskan Nasir adalah Pirus dan Merah Siam dari Timur Tengah. Kalimaya dari Banten dan Australia. Krista dari Austria. Jamrud dari Rusia dan India. Merah Delima dari Srilanka dan Afrika. Mata Kucing dan Yakut Kuning dari Srilanka. Safir dari Srilanka dan Bima. Rubi dari Afrika. Juga batu akik dari Kalimantan, yang lebih keras dari batu akik Jawa. Selebihnya, “Saya dagang berbagai macam jenis berlian dan asesori yang terbuat dari buah fukaha asal Timur Tengah,” ungkap Nasir.

Wajar, bisnis batu permata atau biasa disebut batu mulia ini sangat menjanjikan. Peminatnya datang dari berbagai kalangan, dari preman hingga presiden. Tentu saja dengan ragam alasan keperluan sang peminat: ada penggemar batu permata yang menikmati kemilau, bentuk, desain, atawa fisik batu permata yang indah itu, serta ada pula penggemar yang hobi mengoleksi batu permata karena berkenaan dengan mitos keberuntungan.

Mengenai mitos batu mulia yang membawa keberuntungan tak pernah hilang sejak zaman Mesir kuno hingga sekarang. Perhatikan saja, mulai dari preman, pelawak, ibu rumah tangga, peragawati, hingga raja dan presiden, mereka menyukai dan memakai batu mulia. Lantas, apa daya tarik batu ini?

Konon, orang yang mengenakan batu mulia akan dikasihi oleh lawan jenis. Ada juga batu yang membuat awet muda, penyembuh penyakit, bahkan ada yang percaya batu jenis tertentu bisa membuat pemakainya kebal senjata. Di luar itu, tentu keindahan dan efek psikologis yang terpancar dari batu mulia membuat orang jatuh cinta.

Secara umum, batu mulia terdiri atas dua kelompok utama, yaitu batu permata mulia (precious stone) dan batu permata setengah mulia (semiprecious stone). Di antara batu permata mulia, hanya intan atau diamond yang ditemukan secara ekonomis dan ditambang sejak abad ke-16, sementara yang lainnya belum maksimal, seperti merah delima (ruby), safir (sapphire) dan zamrud (emerald).

Berbeda dengan batu permata mulia, batu permata setengah mulia ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Jenisnya sangat beragam dan keindahannya tidak kalah dengan batu mulia sejenis dari luar negeri seperti opal, kecubung, akik, krisopras, krisokola, dan lain-lain. Karena keindahannya, maka 24 jenis batu mulia asli Indonesia telah diabadikan dalam perangko Republik Indonesia selama 5 tahun berturut-turut, sejak 1997 sampai 2001.

Di dunia ini tidak semua tempat mengandung batu permata. Di Indonesia hanya beberapa tempat yang mengandung batu permata, antara lain di Pulau Kalimantan berupa intan (berlian). Baru-baru ini ditemukan intan 200 karat yang dikenal dengan Intan Putri Malu, di Desa Antaraku, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel pada 1 Januari 2008 yang beritanya sampai menghebohkan negeri Jerman.

Pesona Batu Mulia
Sejak dahulu kala, batu mulia masih dipercaya sebagai lambang zodiak. Salah satunya, batu yang berhubungan dengan bintang kelahiran masih dipakai orang. Lambang zodiak pada batu adalah Aquarius = Kecubung, Pisces = Turquoise, Aries = Intan, Taurus = Zamrud, Gemini = Agate Cancer = Mirah delima, Leo = Sardonix, Virgo = Safir, Libra = Opal, Scorpio = Topaz, Sagitarius = Turquoise, dan Capricorn = Agate.

Selain jenis batu mulia bervariasi, warna batu mulia juga sangat beragam, mulai dari merah, kuning, hijau, biru, atau putih. Kalau dahulu batu mulia hanya terkenal karena digunakan untuk cincin, kini aneka perhiasan seperti gelang, kalung, anting, bros, pin atau tasbih juga dibuat dari batu mulia. Untuk menambah keindahannya, batu mulia tersebut didesain dan digabungkan dengan berlian, emas, dan emas putih.

Di antara berbagai jenis batu mulia, intan berharga paling mahal dan paling tinggi nilainya. Batu ini merupakan batu yang paling keras dan memiliki cahaya paling terang di antara batu mulia lainnya karena mempunyai susunan kristal kubus. Terdapat sembilan unsur kristal yang dimiliki oleh intan. Hal inilah yang menyebabkan pantulan-pantulan sinar yang masuk ke dalam ruang intan tidak dibiaskan ke satu arah, akan tetapi ke sembilan bangun kristal ruang dan membuat kilauan indah! [OI, profil usaha, Tahun III, Edisi 110, 28 Juli-3 Agustus 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Mimpi Berhaji

Sampai ajal menjemput, niat Kiai Nuri untuk berhaji tak kesampaian. Namun, mimpi kiai dusun yang tak kesohor itu terus bergemuruh di benak istri dan putra-putrinya. Mereka rindu bertemu Allah di Masjid al-Haram, Mina, Muzdalifah, dan di Padang Arafah. Mereka rindu dipanggil Tuhannya untuk melaksanakan ihram, thawaf, wukuf, sa’i, tahallul, memanjatkan doa di sebuah tempat antara Hajar al-Aswad dan pintu Ka’bah, salat sunah dua rakaat di maqam Ibrahim, meminum air zamzam, dan melempar jumrah. Pendeknya, mereka bermimpi dapat memenuhi panggilan berhaji. Betapa indah rasanya memenuhi panggilan Allah di hari Tarwiyyah, Yawm al-Wukuf, Yawm al-Nahr, dan Yawm al-Tasyriq. “Labbaika Allahumma Labbaik…” (Wahai Tuhanku, kami datang memenuhi panggilan-Mu…).

Keluarga Nuri adalah keluarga santri. Sejak kecil mereka akrab dengan gema takbir, shalawat badar, berzanji, dan rajin mengaji. Jadi wajar saja, seperti kaum muslim pada umumnya yang hidup di kampung santri, berhaji hampir selalu menjadi cita-cita. Bahkan, berhaji tak saja disambut sebagai kewajiban memenuhi panggilan ilahi, tetapi juga untuk meningkatkan gengsi. Makna berhaji memang terus terdistorsi. Orang-orang di kampong Kiai Nuri kian tak peduli terhadap makna hahikat haji.
Tak mengherankan bila di kampung yang dulunya hanya ada satu-dua orang yang bergelar haji, kini jumlah orang yang bergelar haji mendominasi: hanya ada satu-dua orang yang tak bergelar haji. Salah satunya adalah Kiai Nuri. Sampai-sampai kampung yang sesungguhnya miskin secara ekonomi itu dijuluki “Kampung Haji”. Julukan itu makin kukuh, beritanya menyebar ke seantero kabupaten. Dalam perkembangannya orang-orang di kampung ini menjadi lazim dipanggil Pak Haji, Bu Haji, Kang Haji, Dik Haji, Pakde Haji, Bude Haji, Lek Haji. Orang-orang kampung itu puas menepuk dada, “Kamilah para haji.”

Kiai Nuri cemas. Ibadah haji, yang merupakan presentasi diri di hadapan Allah, bergeser menjadi presentasi diri di hadapan manusia. Mahkota penutup kehidupan itu ternistakan oleh kekuatan symbol, gelar, dan gengsi. Mata Kiai Nuri menerawang, “Mengapa syarat berhaji, seperti membayar hutang, zakat, mengembalikan amanat, dan menjamin nafkah keluarga, tak dipenuhi? Mengapa saudara-saudaraku berhaji dengan menjual harta warisan? Dan, lebih dari itu, hak anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan diabaikan?”

Puncaknya, Kiai Nuri terkaget-kaget ketika suatu hari anak sulungnya dan dia berkunjung ke Jakarta. Ternyata, orang-orang gede di metropolitan, yang menurut berita-berita di koran dan televisi banyak di antara mereka terlibat korupsi, kolusi, dan manipulasi uang rakyat, malah berhaji berkali-kali. Bahkan, ketika jumlah calon jamaah haji lebih besar dari kuota yang tersedia, mereka tetap terdaftar sebagai calon jamaah haji yang dipastikan berangkat ke Tanah Suci.

“Astaghfirullah al-Adzim,” kata Kiai Nuri, sambil menasihati istri dan putra-putrinya beberapa saat menjelang kepergiannya ke alam baka. “Kalian bermimpilah untuk berhaji. Tetapi jangan sekali-kali memaksakan diri. Demi haji lupa diri, apalagi dengan menzalimi sesamanya.” [Alkisah No. 03/ 2-15 Februari 2004 – 10-23 Dzulhijjah 1424]




[...Selengkapnya]

Label:

Bulan Muharram Bulan Cinta

Musik kasidah mengalun pelan hamper sepanjang hari di rumah Kiai Nuri. Syair-syair lagu bertema mahabbah (cinta kasih) it uterus mengumandang di hari pertama bulan Muharram. Setiap tahun, tepat pada tanggal 1 Muharram, keluarga Kiai Nuri hampir selalu memperingati datangnya tahun baru Hijriyah.

Cara memperingatinya berbeda dengan kebiasaan orang ketika menyambut datangnya tahun baru Masehi. Di sini, tak ada petasan, tak ada balon, tak ada terompet, tak ada alcohol. Di balik sayup-sayup suara kasidah, keluarga besar Kiai Nuri secara berkelompok berzikir, mengevaluasi diri terhadap aktivitas pada tahun yang baru saja ditinggalkan, dan bermahabbah kepada Allah.

Menurut Kiai Nuri, mahabbah adalah cinta kepada Allah. Di dalamnya terkandung arti patuh kepada Allah dan menjauhi sikap melawan kepada-Nya; menyerahkan seluruh diri kepada Sang Kekasih; mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Yang Dikasihi. Seorang sufi dari Bagdad, Muhammad bin Ali al-Kattani, mengatakan, mahabbah adalah menyukai yang disenangi Allah dan segala sesuatu yang dating dari Allah.

Di hari-hari Raisul ‘Am al-Hijriyyah itu (bulan utama tahun Hijriyah, bulan Muharram), sepanjang waktu Kiai Nuri hanya berzikir kepada Allah. Ia memimpin keluarga dan beberapa muridnya untuk berzikir sepanjang hari. Harapannya, agar aktivitas hidup di hari-hari berikutnya kian terang. Cintanya kepada Allah menular kepada sesama manusia dan makhluk lain ciptaan-Nya. Baginya, mengisi bulan Muharram dengan mahabbah akan meneguhkan cintanya kepada Sang Khalik dan makhluk-Nya sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, sepanjang usia, sepanjang tergelarnya alam.

Itu sebabnya, Muharram merupakan bulan yang disucikan. Karena itu, pelajarilah sejarahnya. Di bulan Muharram, ada hari Asyura’ yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, yang menurut kalangan Suni merupakan “hari raya derma”, sementara kalangan Syi’i memandang hari Asyura’ sebagai puncak duka cita ketika terjadi pembantaian atas diri Imam Husain Alaihis Salam, cucunda Rasulullah Saw. Kedua cara pandang itu sama-sama mengandung cinta. Pandangan pertama mengaplikasikan cinta dengan berderma, sementara pandangan kedua mengimplementasikan cinta dengan mengenang kesyahidan.

Nah, andai bangsa ini mau mengisi hari-hari dengan cinta, niscaya tragedi Aceh segera terhenti; konflik Maluku, Poso, dan Papua, segera sirna pula. Namun, semua terpulang pada diri kita. Masihkah kita punya cinta? [Alkisah No. 04/ 16-29 Februari 2004 – 24 Dzulhijjah 1424-8 Muharram 1425]


[...Selengkapnya]

Label:

Menimbang Kepemimpinan Politik 2009

Menjelang gawe besar pemilihan umum (Pemilu) 2009, ingar bingar politik kian ramai mewarnai ranah kehidupan bangsa Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 34 partai peserta Pemilu 2009 dan jadwal kampanye partai pun telah dimulai sejak Sabtu 12 Juli 2008. Tak heran bila pemandangan di jalan-jalan ramai dihiasi bendera-bendera partai dalam berbagai bentuk dan beragam warna.

Masalahnya, apakah partai-partai peserta Pemilu 2009 itu mampu menduduki tempat terhormat dalam masyarakat? Fakta bahwa banyaknya orang-orang partai yang kemudian duduk di lembaga legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) mengingkari kewajibannya sebagai wakil rakyat bahkan berbuat malu melakukan korupsi, sedikit banyak akan berpengaruh pada sikap masyarakat yakni keberadaan partai tak begitu dipercaya sebagai wadah aspirasi mereka.

Menuju ke suatu waktu di mana politik merupakan istilah dengan sejumlah konotasi positif yang dihubungkan dengan kemaslahatan bersama, tentu masih jauh dari harapan kalau tidak dikatakan mustahil. Apalagi, di zaman modern ini, sejalan dengan diferensiasi kehidupan masyarakat, the primacy of politics tidak lagi berlaku. Tak seperti di Athena klasik, pada zaman Plato dan Aristoteles, di mana politik merupakan kegiatan manusia yang terpenting, sehingga Aristoteles merumuskan politik itu sebagai master science yang hanya dimiliki orang-orang yang excellent dan telah banyak makan asam garam kehidupan.

Meskipun begitu, politik tetap saja penting dan akan selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Politik yang kerap tidak menyenangkan itu tak tergantikan posisinya hingga setiap orang tak dapat membebaskan diri dari politik. Sebab, di mana pun Anda berada tidak mungkin bebas dari sengatan global warming yang langsung atau tidak langsung merupakan produk politik dan hanya bisa ditanggulangi secara politik.

Kepemimpinan Politik
Hakekat pemilu adalah memilih kepemimpinan politik. Rakyat memberikan mandat untuk mengurus segala kebutuhan dan persoalan melalui kepemimpinan politik yang dibentuk partai. Substansi politik yang perlu diperhatikan partai dan pemilih adalah terkait dengan pandangan, gagasan, dan jalan yang akan ditempuh partai untuk mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa. Rakyat akan melihat apakah partai memahami permasalahan yang dihadapi bangsa dan memiliki jawaban untuk mengeluarkannya dari permasalahan.

Indonesia memang masih menghadapi masalah yang rumit. Reformasi yang sudah berjalan satu dasawarsa baru menghasilkan perubahan pada tingkat forma politik dan belum menghasilkan perbaikan substansi kehidupan berbangsa-bernegara. Perubahan politik itu juga tidak menghasilkan spektrum pilihan politik yang meluas dan perilaku politik bermoral-bermartabat. Sebaliknya, perubahan itu justru memberi ruang pada primordialisme dan tumbuhnya perilaku politik instan yang hanya berorientasi pada kepentingan pragmatis, jauh dari moralitas umum.

Seperti kata Habermas, politikus dan masyarakat modern bergerak didasarkan atas dua tindakan strategis: tindakan stratetgis yang berbentuk penipuan sadar (manipulasi) dan tindakan strategis yang berbentuk penipuan tak sadar (ideologi). Dengan menghembuskan manipulasi (penipuan sadar) dan ideologi (penipuan tak sadar) yang disuntikkan ke masyarakat, partai dan para politisi menjelma menjadi kekuatan politik yang mengambil keuntungan masyarakat. Masyarakat menjadi lapisan yang ditundukkan oleh slogan dan janji politisi tiap menghadapi pemilu.

Karena itu, diperlukan pemimpin politik yang memiliki rekam jejak baik dan memiliki motivasi, semangat, dan keyakinan dalam menghadapi masalah hari ini dan hari depan. Pemimpin politik yang dicari adalah orang-orang yang dapat menumbuhkan dan menguatkan kesadaran dan keyakinan bahwa Indonesia sanggup memulai hidup dari kekuatan sendiri.

Kesadaran dan keyakinan masyarakat menjalani hajat hidup hari ini dan hari depan juga dapat dibangkitkan kalau sang pemimpin politik bersedia bertindak amanah. Stop korupsi dan segala bentuk komersialisasi kekuasaan yang melibatkan korporasi besar dan membuat masyarakat menderita, sementara sang pemimpin politik bergelimang harta. Masyarakat butuh pemimpin politik yang tidak takut memaknai jabatannya sebagai perjuangan kepahlawanan. Dari sinilah perilaku politik calon pemimpin yang diajukan partai diuji, apakah punya kredibilitas dan integritas mengemban daulat rakyat?

Pemilu 2009 Potret Pemilu 2004?
Mengacu pada temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI), PDIP bakal menduduki tempat terfavorit dengan 20 persen pemilih pada Pemilu 2009. Urutan selanjutnya, Partai Golkar (17,5 persen) dan Partai Demokrat (14 persen). Adapun PPP, PKS, termasuk PKB, berada di level yang sama dengan perolehan 4 persen. PAN terpuruk dengan hanya 3 persen.

Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang menguasai 84% jumlah kursi, yaitu Partai Golkar, PDI-P, PKB, PPP, PD, PKS, dan PAN. Dari tujuh partai itu, beberapa mengalami perpecahan. Dari Golkar muncul partai Hanura, dari PDI-P muncul PDP, dari PKB muncul PKNU, dari PAN muncul PMB.

Dengan asumsi bahwa Hanura akan meraih sebagian suara Partai Golkar yang hilang, demikian pula dengan PKNU meraih sebagian suara dari PKB yang hilang dan PMB dari suara PAN yang hilang, ditambah perolehan suara PDIP yang bertambah, maka partai-partai yang menguasai kursi DPR pada 2009 tak jauh berbeda dengan kursi DPR 2004.

Bagaimana peluang partai-partai baru? Meski belum ada lembaga yang melakukan survei perkiraan pemilih partai-partai baru, gelagatnya tetap tak beranjak jauh dari potret Pemilu 2004, kira-kira partai yang akan bisa mempunyai fraksi di DPR tidak akan lebih dari sepuluh, bahkan mungkin kurang dari itu. Pendiri dan aktivis partai baru sama sekali tidak memerhatikan peta politik pemilu 2004 sehingga mereka tidak sadar bahwa kursi yang diperebutkan partai baru itu hanya sekitar 20% dari jumlah kursi.

Itu berarti, kepemimpinan politik 2009 masih dikuasai oleh partai-partai yang menguasai lembaga legislatif hasil Pemilu 2004. Sementara itu, di lembaga eksekutif, terutama untuk posisi Presiden, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) belum tergeser. Prediksi soal siapa pemimpin eksekutif 2009-2014 didasarkan pada gerakan politik pendukung SBY yang terbilang solid dan banyaknya partai yang tampak gamang mencalonkan kadernya sendiri.

Memang, PDIP telah menyebut Megawati Soekarnoputri sebagai bakal calon presiden dan PBB juga mencalonkan Yusril Ihza Mahendra sebagai bakal calon presiden. Namun, kedua bakal calon presiden ini dipandang tak cukup menjadi capres unggulan. Kita tunggu saja. [OI, Perspektif, Tahun III Edisi 109, 21-27 Juli 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Berharap Pada Pilkada Jatim

Pada 23 Juli 2008 Jawa Timur (Jatim) menggelar hajat besar bernama pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur. Mereka para calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono, Sutjipto-Ridwan Hisyam, Soenarjo-Ali Maschan Moesa, Achmady-Suhartono, dan Soekarwo-Saifullah Yusuf.

Para kandidat berupaya meraup simpati rakyat. Khofifah Indar Parawansa yang diusung PPP dan koalisi 12 parpol mencitrakan dirinya sebagai satu-satunya calon yang mewakili kaum Nahdliyyin dan kaum perempuan.

Pasangan Sutjipto-Ridwan Hisyam yang diusung PDIP tak mau kalah mengusung jargon: calon dari wong cilik. Dengan berbekal mengumpulkan tukang becak di berbagai kota, mereka yakin bahwa saat di mana wong cilik memimpin akan tiba. Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa diusung Partai Golkar memperbanyak reklame, mengumpulkan tukang becak dan kaum miskin kota, serta berebut pengaruh kiai dan santri.

Pasangan Akhmady-Suhartono yang diusung PKB, mendapat restu langsung Gus Dur, tokoh paling berkharisma di kalangan Nahdliyyin. Akhmadi mensejajarkan dirinya dengan Damar Wulan, salah satu raja Majapahit yang mengawali karir politiknya sebagai perumput istana. Ia dulunya tukang sapu pasar dan putra Mojokerto asli. Poster bertuliskan “Putra Majapahit” pun ditebar, seolah ingin mengingatkan tentang kebesaran Majapahit pada kurun 1200-an.

Sementara pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf yang diusung PAN-PD merapikan barisan PNS dan berusaha merebut simpati beberapa DPC PDIP, yang sebelumnya mencalonkan Soekarwo. Acara jalan sehat pun digelar di berbagai kota.

Kelima pasangan calon gubernur-wakil gubernur ini memiliki beberapa kesamaan: berusaha mencuri perhatian para kiai dan kaum santri, mengatasnamakan wong cilik, mengkotak-kotakkan rakyat sesuai dengan tingkatan sosial mereka untuk kemudian berusa mencuri perhatiaan pemilih.

Dengan caranya masing-masing, kelima pasang cagub-cawagub menjanjikan akan mengurangi kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan mutu pendidikan, serta beberapa sektor lain menyangkut ekonomi bakal digenjot pertumbuhannya.

Masalahnya, apakah sang pemenang bakal memenuhi jani-janjinya? Yang pasti, hasil Pilkada akan mempengaruhi nasib 35,56 juta penduduk Jatim, termasuk korban semburan lumpur Lapindo. Pada saat Pilkada digelar, semburan lumpur panas Lapindo berumur 784 hari. Hari-hari yang sangat panjang bagi para korban yang hingga kini tak kunjung terselesaikan.

Sejak lumpur panas Lapindo menyembur pada akhir Mei 2006, telah menenggelamkan sedikitnya 12 desa, termasuk 34 gedung sekolah (dari TK hingga SMU). Lebih 60 ribu orang mengungsi. Sekitar 87 industri skala rumahan hingga skala pabrik besar turut tenggelam. Belum lagi sarana publik seperti jalan tol, listrik, pipa gas, air minum dan telekomunikasi terganggu bahkan rusak tidak bisa digunakan. Dan di kawasan tersebut kian makin berbahaya.

Puluhan kali tanggul penahan lumpur jebol dan menggenangi kawasan sekitarnya. Belum lagi 90 semburan lumpur baru di sekitar rumah warga, yang mengandung zat kimia mudah terbakar dan hidrokarbon beracun. Di Siring Barat, ditemukan hidrokarbon yang kandungannya lebih 266 ribu kali ambang baku yang diperbolehkan. Gas-gas itu berbahaya dan bisa memicu kanker.

Dampak semburan lumpur Lapindo bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur tersebut juga memberikan efek bagi Jatim. Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya adalah semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas.

Seretnya pertumbuhan ekonomi antara lain akibat matinya sejumlah industri, hotel, dan tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti pada Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh tiga jam.

Dampak sosial juga parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan juga dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas.

Ironisnya, di saat nasib korban Lapindo makin tak jelas masa depannya, para cagub-cawagub seolah tak peduli. Hanya pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa yang mencantumkan program “relokasi infrastruktur untuk melancarkan kembali arus ekonomi, korban harus mendapat ganti rugi dan relokasi kalau bisa seperti sebelum terkena lumpur Lapindo”.

Padahal jika para cagub-cawagub memiliki komitmen menuntaskan persoalan masyarakat Jatim, sebagaimana yang diderita korban semburan lumpur Lapindo, serta berusaha meyakinkan masyarakat untuk menjalankan tekad mulia tersebut, tentunya Jatim memiliki harapan kembali tumbuh.

Andai soal lumpur panas Lapindo menjadi salah satu konsen cagub-cawagub, bisa jadi dapat mendongkrak suara para kandidat, sementara biaya politiknya tidak mahal. Ini jika dibandingkan dengan pasang iklan di media massa, menebar simpati berkeliling kota-desa, dan lain-lain. Anehnya, cara murah serta lebih menjanjikan ini malah tidak begitu diminati para kandidat. Mengapa?

Lantas, apakah cagub-cawagub yang rada gamblang mau membereskan nasib korban semburan lumpur panas Lapindo akan memenangi Pilkada? Jawabannya tentu kembali pada soal percaya dan tidak percaya: yakni, apakah mayoritas rakyat Jatim percaya pada Soenarjo (mantan Wakil Gubernur Jatim) yang orang Golkar? Jika Ali Maschan Moesa sebagai tokoh NU bisa meyakinkan komitmennya kepada warga NU, barangkali pasangan ini akan memenangi Pilkada (tapi kendala lainnya adalah kandidat lain yang juga dari NU, Khofifah-Achmady-Saifullah Yusuf).

Terus, bagaimana lanjutan nasib korban semburan lumpur panas Lapindo pasca terpilihnya gubernur-wakil gubernur Jatim? [OI, Teropong, Tahun III Edisi 109, 21-27 Juli 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Miniatur Sepeda Ontel Haji Hasyim

Bisnis miniatur sepeda ontel menggeliat. Pengrajin kuningan pun beralih memproduksi miniatur sepeda ontel dan berbagai miniatur lainnya.

Plat dan besi disulap wujudnya menjadi sepeda ontel. Haji Hasyim Sugeno, seorang pengrajin logam asal Desa Pahlandak, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mempermak plat dan besi yang kadang didapat dari barang loakan itu menjadi sebuah miniatur sepeda yang unik dan antik. Karya seni hasil sentuhan tangan lelaki lulusan STM 1997 itu kini semakin banyak diminati sebagai cinderamata.

Hasil karya Hasyim mirip sepeda biasa dalam ukuran mini. Layaknya sepeda asli, pedal sepeda yang tingginya hanya 40 sentimeter dengan berat sekitar setengah kilogram itu bisa diayunkan, hingga rodanya yang juga memiliki jari-jari halus turut berputar. Agar terkesan mewah, miniatur sepeda itu dilapisi dengan cairan mengkilap berwarna emas atau perak. Hal itulah yang membuat kreasi Hasyim menarik.

Sepeda unik karya Hasyim banyak diminati konsumen baik di dalam maupun dari luar negeri. Sepeda-sepeda supermini itu kini juga bisa diperoleh di kawasan Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bali. Menurut Hasyim, sepeda unik berbahan baku besi tiang pancang itu bahkan telah mampu menembus pasar di negara Eropa.

Dari usahanya membikin miniatur sepeda ontel, Hasyim menangguk omset Rp 40 juta lebih per bulan. Angka ini dihitung dari kuantitas produksi yang mencapai 300 buah per bulan, dengan kisaran harga Rp 90 ribu sampai Rp 300 ribu per buah. Sementara itu, dengan usahanya ini, Hasyim mempekerjakan 15 tenaga kerja dari lingkungan sekitar dengan upah per orang Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu per hari kerja.

Sejak 1999, Hasyim memulai usahanya membikin miniatur sepeda ontel, lantas beragam jenis miniatur pun dibikin seperti miniatur becak dan andong. Jenis miniatur sepeda yang apik dan antik ini terdiri dari sepeda perempuan kecil dan besar, sepeda laki-laki kecil dan besar, sepeda mandarin kecil dan besar, dan sepeda keranjang.

Dari mulut ke mulut para pembeli, pasar miniatur sepeda dan berbagai jenis miniatur buatan Hasyim meluas hingga ke berbagai kota di Indonesia. Lebih-lebih ketika Hasyim mulai aktif ikut berpameran di berbagai kota seperti Semarang, Jakarta dan kota-kota lainnya.

Dengan berpameran, ada beberapa pembeli asing yang kemudian membawa hasil karya Hasyim ke luar negeri. Lantas, pasar pun terbuka, apalagi organisasi ibu-ibu Indonesia yang tinggal di luar negeri pun ikut memamerkan miniatur sepeda ontel dan sejenisnya.

Pada Pameran Dagang Poznan (Poznan Fair), yang menjadi the real place for entrepreneurship bagi Polandia, Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Warsawa menyambut kesempatan itu ketika diminta untuk turut bersama KBRI Warsawa berpartisipasi dalam pameran Tour Salon, pada tahun 2007. Kala itu temanya promosi pariwisata Indonesia, sambil promosi barang-barang kerajinan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya di kota Poznan ini selalu diadakan pameran tourism. Pada tahun 2007 dengan tajuk ”Tour Salon 2007”, pameran diselenggarakan mulai tanggal 24 – 27 Oktober. Dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat Polandia tentang potensi pariwisata Indonesia maka KBRI Warsawa turut berpartisipasi dalam pameran tersebut. Pameran ini diikuti sekitar 8000 exhibitor, termasuk 200 peserta pameran dari 38 negara, antara lain Indonesia, India, Costa Rica, Republic of South Africa, Turkey, Brazil, Venezuela, Peru, Syria, Finland, dan lain-lain. Pameran ini juga diliput sekitar 400 jurnalis koran, majalah, TV, radio dan online websites.

DWP KBRI Warsawa pada kesempatan ini membuka mini bazar kerajinan pada 26-27 Oktober untuk turut mempromosikan barang-barang kerajinan khas Indonesia. Sekitar 36 jenis barang kerajinan tangan asal Indonesia dijual dengan produk andalan berupa miniatur sepeda, becak dan andong. Kehadiran mini bazar tersebut mendapat respon positif dari pengunjung. Tak sedikit pengunjung yang singgah sekadar melihat-lihat atau membeli produk kerajinan tersebut. Hingga akhir bazar sekitar 90% barang kerajinan habis terjual. Rata-rata pengunjung menyukai barang kerajinan yang unik dengan harga yang tidak terlalu mahal.

Nah, pasar miniatur sepeda ontel pun kian meluas bukan? Maka, tak salah kalau kemudian Hasyim lebih fokus memproduksi miniatur sepeda ontel yang sebagian besar garapannya berukuran panjang 45 sentimeter, tinggi 28 sentimeter, dan warna hitam bervariasi kecoklatan (ada juga yang berwarna keemasan dan keperakan). “Peluang pasar lebih menarik, hingga saya beralih ke kerajinan miniatur sepeda ontel dan sejenisnya,” ujar Hasyim.

Sebelum menekuni usaha pembuatan miniatur sepeda ontel dan sejenisnya, sejak remaja Hasyim sudah terlibat dalam dunia usaha. Ayahnya adalah pemilik “Permadi Kuningan”, yang memproduksi berbagai asesori interior dan ekterior terbuat dari kuningan. Sejak berdiri pada 1989, Permadi Kuningan terus menggeliat hingga kemudian melorot produksinya pada tahun 1999 karena kesulitan mendapatkan bahan baku.

Karena itu, pewaris Permadi Kuningan, yakni Haji Hasyim Sugeno segera menangkap peluang lain yakni membikin miniatur sepeda ontel pada 1999. Dan, pasar pun menyambutnya dengan banyaknya order!

Nikmatnya Sepeda Ontel
Sepeda ontel yang telah berabad-abad menjadi alat transoportasi itu, memang menyehatkan dan tentu saja tidak menimbulkan polusi. Karena itu, beberapa negara di dunia memberikan tempat khusus bagi beroperasinya sepeda ontel ini. Salah satunya adalah Shenzen-Cina.
Shenzen adalah salah satu kota terbesar di Cina, setelah Beijing dan Shanghai. Luasnya sekitar dua ribu dua puluh kilometer persegi, atau tiga kali lebih luas dibanding kota Jakarta. Dan penduduknya sekitar tujuh juta jiwa.
Sembilan puluh lima persen penduduknya adalah kaum migran yang datang dengan beragam latar belakang budaya. Sehingga membuat Shenzen menjadi kota urban yang moderen dan maju.
Meski begitu, bersepeda sebagai tradisi lama di Cina tak sirna. Kendati transportasi sudah begitu canggih, mengemudikan sepeda di sana aman dan nyaman. Pemerintah kota melarang keras penggunaan sepeda motor di jalan-jalan kota. Sebagai gantinya, adalah sepeda ontel. Benda yang diciptakan berabad-abad lalu itu masih setia menemani penduduk kota Shenzen.
Tetapi, di Indonesia berbeda. Kebiasaan bersepeda yang dulu digemari nyaris sirna. Kota Yogyakarta yang dulunya terkenal dengan orang-orangnya yang setia bersepeda, hingga muncul banyak komunitas penggemar sepeda –kini hilang ditelan zaman, yakni zaman kendaraan bermotor. Apalagi di kota-kota lainnya seperti Jakarta, orang bersepeda semakin terpinggirkan.
Namun demikian, rasa rindu bersepeda sebenarnya masih bergejolak. Ini terbukti dengan banyaknya orang Indonesia yang melampiaskan hasratnya itu dengan mengoleksi miniatur sepeda ontel! [OI, Profil Usaha, Tahun III Edisi 109, 21-27 Juli 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Boalemo Nan Indah, Wisata Mata Wisata Hati

Kalau anda mau bertamasya dengan memuaskan mata memandang hamparan laut luas, dikelilingi hijau ribuan pohon yang membentang di ketinggian bukit-bukit, maka datanglah ke Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Dari bibir pantai atau dari rimbunan pohon, anda bisa menikmati keindahan alam di bumi bertasbih itu sekaligus menemukan kesejukan hati.

Embusan angin segar segera menerpa wajah begitu memasuki Lembah Delima. Kesejukan panorama alam di kawasan yang terletak tak jauh dari Tilamuta --ibukota Kabupaten Boalemo --sekitar 2 kilometer, bagai menusuk tulang sumsum. Hawa perbukitan hijau yang sejuk membuat betah para pengunjung yang datang ke sini, apalagi selain pemandangan di depan mata yang memesona, sesekali kujang berlarian di hadapan kita. Menakjubkan bukan? Kita juga bebas memberi makan dan mencandai kujang yang lincah sekaligus penurut. Sebuah lembah yang asri, dilengkapi cottage yang menawan, bisa menjadi pilihan menginap selama para pelancong memuaskan hasratnya di ”bumi bertasbih” ini.

Disebut ”bumi bertasbih” karena Kabupaten Boalemo, telah menyatukan kata ”Boalemo” dengan ”Bertasbih” menjadi ”Boalemo Bertasbih”, yang kemudian dijadikan moto untuk menggerakkan pembangunan dengan sentuhan religius. Semboyan yang berpadu dengan ghirah keberagamaan ini terlambangkan dengan bertebarannya 99 rangkaian butiran, yang melambangkan jumlah nama-nama Allah, al-Asma’ al Husna. Yang paling menonjol, tasbih itu terpampang di sekeliling alun-alun Tilamuta. Pemandangan di pusat pemerintahan, tak berhenti di situ, sebab penataan taman yang elok membuat sang pelancong kian melekatkan hasrat berwisata hati.

Penasaran akan ragam wisata di daerah yang baru menjadi Kabupaten pada 1999 ini, tamasya pun bisa dilanjutkan. Selain lembah Delima, ada pantai Bolihutuo, air terjun Ayuhulalo, dan pulau pasir putih. Boalemo memang memiliki beragam wisata alam. Daerah ini juga memiliki wisata budaya yang diunggulkan, yakni perkampungan suku Bajo dengan bangunan rumah di atas laut.

Keindahan alam yang bisa dimaksimalkan menjadi obyek wisata ini tidak terlepas dari kondisi geografis wilayah yang berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara dan Teluk Tomini di sebelah selatan. Sekadar diketahui, Teluk Tomini mengandung kekayaan laut yang siap digali. Potensi perikanan tangkap 10.000 ton lebih per tahun, perikanan budidaya laut 2000 ton lebih per tahun. Statistik perikanan Teluk Tomini memperlihatkan bahwa daerah ini memiliki potensi perikanan tangkap 600.000 ton lebih.

Pantai Bolihutuo, biasa disebut Pantai Boalemo Indah, adalah pantai berpasir putih dengan suasana rindang. Pohon-pohon pinus besar membuat teduh pinggiran pantai yang sesekali dikunjungi turis manca negara ini. Lokasi wisata pantai Boalemo Indah terletak di Jalan Trans Sulawesi, tepatnya di Desa Bolihutuo, Kecamatan Botumoito, 32 kilometer dari ibukota Kabupaten, atau 30 menit menggunakan angkutan umum. Tempat ini seperti layaknya surga yang dapat memberikan kenyamanan dengan tingkat keamanan yang memadai. Suasana Bolihutuo begitu memanjakan hidup dan memberikan nuansa romantis tersendiri bagi pasangan muda, dengan pemandangan laut lepas --gulungan ombak yang berkejaran terlihat memutih, menghias samudera yang membiru-- dan pasir putih nan menawan. Keindahan pantai ini ibarat mutiara kepariwisataan yang terhampar di pesisir Teluk Tomini.

Kesibukan dan kepenatan kota langsung sirna dengan menyaksikan keindahan alami Boalemo, anugerah yang begitu besar yang dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Coba kunjungi pula air terjun Ayuhulalo, yang memiliki sumber mata air yang tak pernah kering. Di sini, para pelancong dapat menghabiskan waktunya sepuas mungkin, tanpa harus berpikir berapa harga yang harus dibayar. Sebab, di lokasi yang berjarak 8 kilometer dari ibukota Kabupaten ini atau 15 menit menggunakan angkutan umum, nyaris belum terjamah, termasuk bebas jamahan uang. Namun, keaslian tempat air terjun yang berada di perbukitan hijau nan cantik, membuat pengunjung kerap berlama-lama berbasah-basahan, berjingkrak-jingkrak, dan terasa khusuk menikmati hempasan air deras yang tampak menari-nari dari ketinggian, susul menyusul, tiada henti, meski gundukan bebatuan terus menipis.

Usai berbasah-basahan dengan derasnya air terjun, pergilah ke pulau berpasir putih yang berada di tengah laut, dengan jarak tempuh 5 kilometer dari ibukota Kabupaten atau 10 menit menggunakan angkutan umum. Saat menuju ke sana, bisa mampir dulu ke rumah makan di kawasan pelabuhan Tilamuta, tempat pelelangan ikan yang berada di seberang gugusan pulau berpasir putih tersebut. Debur ombak pantai Tilamuta yang terhubung dengan perairan Teluk Tomini, menjadi musik indah mengiringi lidah merasakan kelezatan ikan baronang bakar sambil menyaksikan perahu-perahu nelayan yang hendak pergi melaut. Sesampai di pulau pasir putih, kita nikmati kerlap kerlip pasir putih sekaligus berjemur di bawah sinar matahari.

Wisata lain yang juga menarik adalah menikmati suasana perkampungan suku Bajo yang mendiami rumah-rumah terapung di atas laut. Dari ibukota Kabupaten cukup 15 menit untuk sampai ke sana, dengan jarak tempuh 5 kilometer. Kita bisa berbaur ke dalam aktivitas warga Bajo. Memancing ikan dari bentangan jalan bambu yang menghubungkan rumah-rumah yang berderet, mencari ikan dengan menggunakan perahu, menjemur ikan, hingga bermain ciblak ciblung di permukaan air laut bersama anak-anak. Pokoknya asyik deh!

Orang bilang, jangan mengaku pernah ke provinsi Gorontalo kalau tak singgah di Boalemo. Soalnya, banyak keunggulan Gorontalo ada di bumi bertasbih tersebut. Sebutlah, Gorontalo sebagai provinsi Agropolitan, ya unggulannya, yakni jagung, bertumpu pada Kabupaten Boalemo. Begitu pula dengan wisata, keindahan alam yang berpotensi menarik wisatawan, berada di Boalemo. Bagi para pelancong, Boalemo adalah tempat wisata yang tak cukup hanya sekali dikunjungi!

Mau melancong ke Boalemo? Dari Bandara Jalaluddin Provinsi Gorontalo, anda cukup menghabiskan waktu dengan menggunakan angkutan umum sekitar 2 jam, untuk sampai di Tilamuta, ibukota Kabupaten Boalemo. Selanjutnya, anda cukup naik bentor (becak motor) ke mana pun anda bepergian. [Pesona Wisata, Paras No. 51 Tahun V Desember 2007]


[...Selengkapnya]

Label:

Buntut Ketuk Palu Politisasi Dewan

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang memperbolehkan partai peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara, tetapi memiliki kursi di DPR, langsung bisa mengikuti Pemilu 2009 tanpa verifikasi. Ketentuan itu dinilai tidak adil dan tidak memiliki rasio yang jelas.

MK menyatakan, pasal 316 d UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD itu bertentangan dengan pasal 27 ayat 1, pasal 28 D ayat 1, dan pasal 28 I ayat 2 UUD 1945. Uji materi terhadap ketentuan itu diajukan pengurus Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Merdeka.

Keputusan MK itu tepat, sebab tidak ada landasan teoritis untuk meloloskan partai politik yang memiliki kursi di DPR --tetapi tidak memenuhi ambang batas perolehan suara, otomatis ikut pemilu. Dan konsekuensi dari putusan MK adalah kekuatan hukum dari hasil Pemilu 2009 kelak. Ada 9 parpol kontestan yang bila merujuk putusan MK menyalahi konstitusi sehingga apa pun kelak hasil Pemilu 2009 dengan sendirinya dapat dianggap melanggar UUD 1945.

Menghindari kekacauan ini, apakah KPU harus melakukan verifikasi 9 parpol? Yakni, terhadap PNI Marhaenisme, PPDI, PDS, PBR, PBB, PKPB, PDK, Partai Pelopor dan PKPI (parpol yang tidak memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara tapi bebas verifikasi KPU dan karenanya otomotis ikut Pemilu 2009).

Tak mudah bagi KPU untuk melakukan verifikasi terhadap 9 parpol yang sudah ditetapkan menjadi peserta pemilu. Apalagi, KPU sudah menjalankan tahapan pemilu sesuai ketentuan UU. Undang-Undang juga memerintahkan parpol peserta pemilu ditetapkan pada 9 bulan sebelum hari pemungutan suara atau pada 9 Juli 2008. Selain itu,
pasal 8 UU No. 10/2008 yang mengatur soal persyaratan parpol peserta pemilu tetap eksis, tidak serta merta dengan dicabutnya pasal 316 huruf d akan berarti membatalkan pasal-pasal lainnya.

Itulah mengapa KPU cenderung tetap akan melanjutkan tahapan Pemilu 2009, meskipun KPU juga akan berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU. Kecenderungan langkah KPU ini didukung Ketua Panitia Khusus Rancangan UU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan, dengan menegaskan bahwa keputusan MK tak memiliki asas retroaktif. Itu berarti, keputusan itu tidak dapat menghentikan atau menunda tahapan Pemilu 2009 yang sudah berjalan. Putusan MK tidak dapat dilaksanakan sebelum perubahan itu ditetapkan dengan UU yang baru.

Adhie M Massardi juga mendukung kecenderungan langkah KPU. Menurut Sekjen PPD yang ikut mengajukan uji materi ke MA ini menyatakan bahwa putusan MK sulit dieksekusi. Putusan MK menjadi kontraproduktif. Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Hamdan Zoelva memperkuat KPU untuk melaksanakan tahapan pemilu. Sebab, putusan MK tidak memengaruhi tahapan pemilu yang sudah berjalan karena tidak bisa diberlakukan secara surut. Artinya, peserta Pemilu 2009 tetap 34 partai, seperti yang ditetapkan KPU.

Tahapan Pemilu Lancar Tanpa Bertengkar
Pemicu putusan MK yang berimplikasi rumit ini terjadi karena DPR lebih mengutamakan
konspirasi politik. Bukankah pada awalnya pasal 316 lahir dari jual beli kepentingan parpol di DPR? Jika DPR memerhatikan kepentingan bangsa yang lebih luas seharusnya pasal perselingkuhan (316) yang bertengger di dalam UU No. 10/2008 itu tidak perlu ada.

Masalahnya palu MK sudah dijatuhkan, lalu bagaimana jalan keluarnya agar tahapan Pemilu 2009 tetap jalan tetapi tanpa ada pertengkaran? Sembilan parpol yang tak memenuhi ambang batas perolehan suara 3 persen tentu akan menolak diverifikasi ulang, sementara parpol peserta pemilu 2004 yang tersingkir dalam verifikasi juga tidak akan tinggal diam.

Seperti model kompromi politik yang kerap dilakukan DPR, maka persoalan ini bisa diselesaikan dengan damai melalui asas win-win solution, yakni asas persamaan di mana seluruh parpol peserta Pemilu 2004 dinyatakan secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2009. Langkah ini tidak akan mengganggu nomor urut yang sudah diundi, yaitu dengan cara mengundi nomor urut kepada parpol-parpol yang ternyata berhak juga ikut Pemilu 2009 dengan nomor 35 dan seterusnya.

Karena itu, dalam konsultasi KPU dengan pemerintah dan DPR pasca keputusan MK hendaknya diperoleh jalan keluar yang paling aman. Mungkin bisa dicari cara lain, tidak seperti putusan MK tentang calon perseorangan yang harus menunggu lama hingga seseorang dapat mencalonkan diri sebagai calon perseorangan di dalam Pilkada dan sejenisnya. Misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan Perppu.

Mengapa? Sebab dasar hukum 9 parpol untuk ikut pemilu sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD. Sehingga kalau tidak ada upaya hukum untuk memperbaiki ini berarti pemilu 2009 melanggar UUD dan pemilihan presiden bisa juga bertentangan dengan UUD karena ia lahir dari parpol tersebut.

Didasari dengan menggunakan kekuatan batin menuju kebaikan atau kesadaran batin menuju kebaikan, maka kompromi untuk kebaikan (dalam hal ini membuang jauh-jauh sikap diskriminasi terhadap parpol yang “disingkirkan”) akan membuat kehidupan menjadi lebih bernilai untuk ditempuh. Cicero menyebutnya dengan kata “cultura animi” atau kebudayaan dari budi (The Liang Gie, 1977:128).

Ki Sarino Mangunpranoto dari Majelis Luhur Taman Siswa berpendapat bahwa budaya manusia itu terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau lingkungannya. Norma hidup itu terwujud dalam bentuk alam pikir, alam budi, alam karya, alam tata susila, dan alam seni. Nah, para anggota Dewan (DPR RI) bisa mengaca kembali tentang bagaimana sebuah perselingkuhan dengan memasukkan pasal paradoksal hingga sejumlah parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara 3 persen ada yang diotomatiskan mengikuti Pemilu 2009 dan yang lain diharuskan mengikuti verifikasi. Sikap diskriminatif ini bisa ditebus dengan cara mendorong semua peserta Pemilu 2004 untuk ikut serta dalam Pemilu 2009 secara otomatis.

Keluhuran sifat-sifat hidup para anggota DPR, jika ini terjadi, akan melahirkan adanya rasa budaya manusia. Begitu erat hubungan manusia dengan kebudayaannya, disebabkan oleh karena kebudayaan merupakan lingkup di mana manusia harus hidup. Pertanyaannya, apakah para anggota Dewan yang terhormat akan membiarkan keterjebakannya dalam crime by legislation? hingga akan terus bersikukuh bahwa pasal 316 d UU No. 10/ 2008 tidak bisa dianulir sekarang ini?

Jadi, ibarat alam yang “subur kang tanpa tinandur, gemah ripah loh jinawi” tanpa dikerjakan dan diolah dengan akal budi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak akan ada gunanya. Oleh sebab itu, biar ada gunanya, carilah jalan keluar untuk menghindari kekacauan yang ditimbulkan oleh Dewan sendiri, bagaimana agar tahapan Pemilu 2009 berlangsung aman dan nyaman. Gunakan akal budi yang dilandasi oleh kesadaran etik dan estetik! [OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 108, 14-20 Juli 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Lukisan Pelepah Pisang dari Rembang

Bosan jadi kuli, Tulus Setia membangun usaha sendiri. Delapan tahun berjalan, kehidupan keluarganya pun tercukupi dengan hasil karya lukisnya yang berbahan pelepah pisang.

Bergelut dengan gabus yang dirangkai menjadi aneka leter (tulisan) dan logo yang cantik membuat Tulus Setia memendam cita-cita berhenti dari pekerjaannya itu. Pasalnya, selama tujuh tahun terlibat dalam pembuatan tulisan dan logo di pameran-pameran di Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan Jakarta Convention Center (JCC), ia hanya menjadi kuli (buruh) bagi orang lain di beberapa stand yang berpameran. Sementara itu dalam benaknya bergejolak, “Kapan saya bisa berpameran sendiri dan bukan menjadi kuli dalam pameran,” kenang Tulus Setia.

Mimpi memiliki usaha sendiri pun tak terbendung. Setelah tujuh tahun jadi kuli di Jakarta, pria asal Rembang, Jawa Tengah, ini memutuskan kembali ke kampung halamannya dengan satu tekad: berkarya dan berusaha sendiri. Pada tahun 2000, kegemaran masa kecilnya dikembangkan, yakni kebiasaan membuat prakarya seukuran bingkai foto 10 R dengan bahan pelepah pisang (Jawa: debog).

Ceritanya, sewaktu Tulus Setia masih duduk di kelas 1 SD, ia terbiasa membantu mengerjakan prakarya kakaknya yang bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru. Saat itu, kakaknya hobi membuat prakarya (pekerjaan rumah dari sekolah) yang berbahan baku pelepah pisang. Perjumpaannya dalam setiap pengerjaan prakarya kakaknya, membuat Tulus membiasakan diri membuat prakarya serupa pada saat ia duduk di kelas 6 SD. Setamat SMA 1991/1992 Tulus merantau ke Jakarta hingga tertambat dalam pekerjaan yang juga berbau seni: membuat leter dan logo dari gabus.

Nah, hobi yang disukai sewaktu kecil itu menjadi ide berkarya Tulus lima belas tahun kemudian. Dengan bahan pelepah pisang, Tulus mengembangkan prakaryanya sewaktu kecil menjadi lukisan yang apik. Pelepah pisang yang sudah dikeringkan itu, ia buat menjadi lukisan: ada wayang, realis dan pemandangan. Lukisan debog bikinan Tulus terdiri dari beberapa ukuran mulai dari 25x30 sentimeter yang dijual dengan harga Rp 150 ribu hingga ukuran 100x120 sentimeter dengan harga jual Rp 2 juta lebih.

Dalam sebulan, suami H Haryanti ini mampu menghasilkan puluhan lukisan ukuran kecil dan sedang serta dua lukisan berukuran besar. Sementara tingkat penjualan rata-rata 1 lukisan berukuran besar dan beberapa ukuran kecil per bulan. “Yah.. cukup lah buat memenuhi kebutuhan anak istri,” ujar ayah dari Bernika Ifada (2) dan Taka Kesawa (1) ini.

Mulanya Tulus tak begitu memerhatikan aspek pasar. Ia berjalan mengalir saja memasarkan hasil karya seninya itu, terutama bergantung pada para pembeli yang datang ke galerinya yang diebri nama Kelaras Art di Jl Gajah Mada No. 6 Banyudono, Rembang. Barulah pada 2003, ia mulai aktif ikut tampil di pameran. Awalnya ikut berpartisipasi dalam pameran Gebyar Rembang yang digelar setiap bulan Junis, lalu berturut-turut hampir setiap tiga bulan sekali ikut pameran di berbagai tempat antara lain di Tuban, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta.

Dari situlah jangkauan pasar lukisan debog karya Tulus kian melebar. Lukisan debog dengan menampilkan aneka cerita wayang seperti keluarga Pandawa, keluarga kerajaan sedang menaiki kereta kencana, hingga yang realis berupa adu jago dengan ditonton banyak orang dari yang duduk-duduk sampai berdiri sambil mengapit sepedanya, semakin menjangkau ke mana-mana. Setidaknya ratusan lukisan karya Tulus telah ikut mewarnai khazanah karya lukis berbahan baku pelepah pisang di negeri Indonesia.

Namun begitu, yang paling menyenangkan buat Tulus adalah bahwa karya-karya seninya itu sudah mulai banyak dinikmati orang. “Dengan semakin meluas pasar lukisan debog ini, maka berarti kian banyak orang menikmati hasil karya saya. Itu menyenangkan,” katanya. Kesetiaan Tulus Setia membuat lukisan debog terus ia pupuk dengan membuat galeri yang berada di salah satu ruang di Hotel Kartini Rembang.

Hotel dengan 7 kamar (total izin adalah 9 kamar) yang baru beroperasi sejak November tahun lalu ini adalah milik Tulus Setia. Keranjingan usaha yang merupakan cita-cita lamanya ketika menjadi kuli itulah yang membuat naluri Tulus terasah hingga terwujudlah hotel mungil bertarif Rp 30 ribu sampai Rp 100 ribu per malam. Dan dengan naluri usahanya pula Tulus mulai pintar menggaet pelanggan. Terbukti sejak beroperasi, tak pernah ada kamar kosong tanpa penginap. “Alhamdulillah, semua kamar selalu terisi,” papar pria yang sedikit banyak selaras bersesuaian dengan nama yang disandangnya: tetap Tulus dan Setia!

Bagi Anda yang kebetulan melakukan perjalanan di sekitar pantura timur, begitu memasuki Kabupaten Rembang tidaklah sulit menemukan Hotel Kartini yang nyaman tetapi berbandrol murah. Tentu saja Anda bisa menikmati kelebihan hotel ini dengan menikmati lukisan debog karya sang pemilik hotel.

Namun, lagi-lagi, alasan Tulus mendirikan hotel juga didasari oleh ketulusan dan kesetiaannya dalam menjiwai rasa-karsa-karya seni debog yang menjadi fokus berkreasi. Dengan memajang karyanya di hotel, tentu akan semakin meluaskan pasar hingga karya Tulus dinikmati lebih banyak orang, bertambah dan bertambah.

Pelepah Pisang Banyak Guna
Siapa tak kenal pelepah pisang. Pelapah bagian tengah dalam, berwarna putih-kuning dengan banyak serat, biasa digunakan oleh para petani sebagai penutup pembenihan padi agar tidak tersengat sinar matahari. Pelepah bagian tengah, berwarna kuning-hijau dengan sedikit serat, biasa digunakan pula oleh para petani untuk keperluan yang sama serta digunakan oleh para nelayan buat alas menaruh ikan dan alas batik cap bagi pembatik. Dan kedua lapisan pelepah pisang bagian dalam, tengah dalam dan tengah itu (dalam bentuk gelondongan), juga biasa digunakan buat alat membajak sawah tradisional.

Sementara pelepah bagian luar, berwarna hijau-ungu dengan banyak serat dan kuat, berguna buat banyak hal. Dari barang kerajinan, bahan baku pelepah pisang paling luar ini bisa mempercantik produk keramik yang menggunakan ornamen pelepah pisang. Pelapah pisang juga bisa dibuat pernik-pernik unik seperti buku menu di restoran-restoran, buku tamu hotel, blocknote, tempat sovenir, keranjang pakaian, asbak, kuda-kudaan, bingkai foto, pot bunga, dompet, tas, sepatu, dan boneka.

Pelepah pisang memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri setelah diproses menjadi barang kerajinan. Baik melalui model penempelan, anyaman maupun untuk ornamen produk kerajinan lainnya. Tekstur dan warna pelepah pisang (cenderung coklat muda setelah dikeringkan) unik dan alami. Produk lain yang dikombinasi dengan pelepah pisang juga terlihat lebih menarik dan memiliki nilai jual tinggi. Debog pancen akeh gunane! [OI, Profil Usaha, Tahun III, Edisi 108, 14-20 Juli 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Memberantas Korupsi di DPR Perlu Dukungan Partai

Alkisah, di Nishapur, Persia. Dahulu kala ada 3 sekawan lulus tes pegawai dengan prestasi gemilang. Baginda raja terkesan, hingga mereka langsung diangkat menjadi pegawai dengan pangkat tertinggi, serta mendapat kesempatan memilih sendiri jabatan yang diinginkan.

Pemuda pertama, Nizamul Mulk, memilih menjadi wasir. Pemuda kedua, Hassan Sabah, memilih menjadi menteri. Namun pemuda ketiga, Ghiyath al-Din Abu al-Fath Umar ibn Ibrahim al-Nisaburi al-Khayyami alias Omar Khayyam, memilih jabatan menjadi “penyair” dan “peneliti”.

Karir ketiga pemuda tersebut menanjak. Namun karena satu dan lain hal, kedua pejabat elite (yang menempati jabatan basah) tersebut terlibat dalam perseteruan yang hebat. Negara menjadi kacau, banyak demonstrai dan krisis ekonomi. Kisah pamungkas dari kedua pejabat itu kurang tercatat dalam sejarah. Namun yang dikenang hingga kini adalah Omar Khayyam. Walau pun hidup di zaman yang kacau balau, ia mampu berkarya dengan puisi-puisinya dan beberapa temuan ilmu alam.

Hikayat Omar Khayyam ini cukup masyhur di kalangan masyarakat Indonesia , namun para elite negeri ini tak acuh dengan perilaku Omar Khayyam. Kebanyakan elite justru memilih cara Nizamul Mulk dan Hassan Sabah dalam menjalani karirnya, hingga tak heran jika pemandangan buram perilaku elite terus mencoreng wajah Indonesia .

Publikasi media massa yang terus menerus mengangkat berita kejahatan korupsi, ternyata tak menggetarkan para pejabat. Bahkan, anggota DPR yang susul menyusul tertangkap tangan tak juga mengurangi kenekatan mereka menjalankan transaksi kejahatan itu. Lagi, anggota DPR ditangkap karena dugaan menerima suap. Lagi-lagi, publik geleng-geleng kepala, bagaimana mungkin anggota DPR seperti kehilangan akal sehat, tak menghiraukan fungsinya sebagai legislator dan tiada peduli kemungkinan dirinya dalam pantauan KPK.

Senin (30/6), KPK kembali menangkap tangan seorang anggota DPR. Kali ini anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi atau F-PBR DPR, Bulyan Royan. Ia ditangkap karena diduga menerima suap, terkait dengan pembelian kapal patroli di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan.

Sebelumnya, 2 Mei 2008, Sarjan Tahir, anggota Fraksi Partai Demokrat, ditahan KPK terkait dugaan korupsi alih fungsi hutan bakau dan pembangunan jalan dalam proyek Pelabuhan Tanjung Api-api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Pada 17 April 2008, KPK menahan Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin, anggota DPR terkait kasus aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR tahun 2003. Pada 9 April 2008, Al Amin Nur Nasution, anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, ditangkap KPK dalam kasus dugaan suap terkait pengalihfungsian hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Pada 19 Maret 2008, Saleh Djasit, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, ditahan KPK karena diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan 20 mobil pemadam kebakaran saat ia menjabat sebagai Gubernur Riau periode 1998-2004.

Tertangkapnya para anggota DPR merupakan konfirmasi atas dugaan maraknya praktik korupsi di lembaga legislatif. Survei Transparency International Indonesia yang menunjukkan bahwa masyarakat menilai DPR sebagai salah satu lembaga terkorup, kian terbuktikan dengan tertangkapnya anggota DPR oleh KPK susul menyusul.

Rupanya, korupsi di lembaga wakil rakyat ini sudah merupakan perkara teknis (lolos atau sial), bukan lagi soal etis (malu atau tidak). Ini adalah kondisi kerendahan tindakan dengan alasan yang tidak dapat dimengerti. Bayangkan! penghasilan mereka melimpah, dan anehnya dari mereka pula undang-undang yang merupakan produk hukum itu, dibuat. Bagaimana bisa sang pembuat hukum merendahkan diri sendiri di depan hukum yang ia buat?

Katakanlah, para anggota DPR pelaku korupsi itu tak menghiraukan lagi etika dan pertanggungjawaban politik, kecuali hanya mengacuhkan diri tanpa memedulikan norma-norma sosial, namun masalahnya apakah hal ini bukan perkecualian? tetapi kecenderungan yang melanda lingkungan DPR? Kalau demikian, korupsi itu sudah melembaga. Maka, masuk akal untuk memastikan bahwa ada gunung es korupsi di lembaga wakil rakyat.

Teori bahwa koruptor adalah oknum tidak dapat lagi terus menerus disodorkan sebagai apologi oleh para sejawat. Kita tidak harus menunggu seluruh gunung es tersembul untuk mengubah jalan pikiran kita tentang korupsi dari praduga tak bersalah menjadi praduga bersalah. Sudah waktunya kita berpikir radikal, semua adalah koruptor, sampai nanti dibuktikan secara terbalik.

Lebih dari itu, penerapan hukuman lebih berat perlu diberlakukan kepada pelaku korupsi politik. Misalnya mengucilkan dan melayangkan mosi tidak percaya kepada DPR. Sudah saatnya kekuatan masyarakat mengontrol DRP. Juergen Habermas menyebutnya, aksi pengepungan masyarakat sipil atas masyarakat politik.

Masalahnya, di negeri dengan korupsi sebagai patologi sosial, siapa mengawasi siapa, itu sering merupakan maling teriak maling, yang berujung tak menentu. Praktik korupsi di DPR membentuk jejaring yang amat kompleks sehingga tidak mudah mengungkapnya. Kesulitan pengungkapan ini masih ditambah oleh kuatnya posisi lembaga legislatif pada saat ini dan masih minimnya kontrol dari masyarakat. Korupsi di DPR juga makin diperparah oleh tingginya ambisi politikus untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.

Sementara itu, tiadanya jenjang karir yang jelas dalam politik juga menjadi sebab maraknya korupsi di DPR. Untuk bisa duduk di DPR, lebih ditentukan oleh kedekatan dengan pimpinan partai dan dana yang dimiliki. Prestasi tak menjadi ukuran. Ini membuat sebagian anggota DPR mencari harta sebanyak-banyaknya. Dana yang besar dalam politik, antara lain dibutuhkan untuk memperjuangkan nomor urut dan daerah pemilihan saat pemilu, memelihara pemilih, dan mengamankan posisi di partai.

Dengan keadaan seperti ini, pemberantasan korupsi di DPR tidak dapat hanya dilakukan dengan mengandalkan tindakan tegas KPK. Namun juga harus diiringi upaya lain, seperti perbaikan dalam perekrutan politik dan peningkatan kesadaran politik masyarakat sehingga mereka dapat lebih mengawasi kerja para wakilnya di parlemen.

Jadi, membersihkan koruptor dari DPR perlu dukungan partai. Dalam praktik demokrasi, partai politik merupakan pilar utama yang eksistensinya bersifat mutlak dalam pelaksanaan agregasi aspirasi rakyat. Partailah yang melaksanakan kedaulatan rakyat, sebab daulat rakyat tidak bisa dilakukan langsung seperti pernah dipraktikkan pada zaman demokrasi langsung di masa negara kota Athena.

Nah, cara partai mendukung pemberantasan korupsi di DPR sebenarnya sederhana. Lakukan saja tugas dan fungsi partai politik dalam negara demokrasi, yakni melakukan pendidikan politik untuk rakyat, melakukan agregasi politik, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Jika hal itu dilakukan tentu tak akan ada korupsi di DPR, sebab begitu ada anggota DPR berniat korupsi maka partai politik yang memayunginya sudah mencampakkan sang calon koruptor itu! [OI, Perspektif, Edisi 107 / Tahun III / Tanggal 07 Juli - 13 Juli 2008]




[...Selengkapnya]

Label:

Mebel Akar Jati Diminati Luar Negeri

Hasil kreasi pengrajin akar pohon jati banyak diminati pembeli dari luar negeri. Karena memiliki nilai seni tinggi dan produk yang beragam, para pelanggan justru didominasi oleh para pedagang dari Inggris dan Belanda.

Bisnis mebel dari bahan akar pohon jati di Tulungagung, Jawa Timur, banyak diminati pedagang mancanegara. Ini karena hasil kreasi pengrajin akar jati tersebut memiliki nilai seni tinggi dan produk yang beragam.

Menurut Muhammad Ali (30), pemilik usaha mebel akar jati di Jalan Raya Doplangan Sepur Buntaran, Rejotangan, Tulungagung, usaha mebel dari bahan akar pohon jati yang digelutinya sejak tahun 1992 dengan modal awal Rp10 jutaan, kini meningkat hingga ratusan juta.

Ia mengatakan, sebagian besar pangsa pasarnya datang dari luar negeri. Bahkan, pesanan dari luar negeri dipastikan per bulannya berkisar 20-an kursi dan tempat asesori interior, setara dengan Rp 10 juta. Namun jika dirata-rata omset per bulan mencapai Rp 34 juta, sedangkan musim ramai seperti pada bulan Juli omsetnya bisa meningkat hingga 40 persen.

Muhammad Ali adalah penerus usaha akar jati yang dirintis ayahnya, Purnomo. Awalnya, pada 1992, usaha mebel yang digeluti Purnomo yang telah berjalan bertahun-tahun itu terhenti karena bahan baku dengan harga jual mebel tak lagi sebanding, lalu muncullah ide menggunakan akar pohon jati sebagai bahan baku. Lantas, jadilah semua jenis mebel Pak Purnomo berbahan baku akar pohon jati.

Tak disangka-sangka, “Mebel dari akar pohon jati direspon pasar. Bahkan, pelan-pelan pasarnya meluas serta pedagang dari Inggris dan Belanda menjadi langganan,” kata Muhammad Ali yang sejak lima tahunan lalu meneruskan usaha ayahnya itu.

Dua bulan sekali, pedagang dari Inggris selalu mendatangi bengkel kerja Muhammad Ali berbelanja kursi-kursi berukuran dobel, sebanyak 32-an buah (satu kursi dijual dengan harga Rp 400 ribu) atau satara dengan Rp 14 juta. Sementara pedagang dari Belanda selalu datang enam bulan sekali berbelanja tempat asesori interior seharga Rp 18 jutaan.

Sementara itu, pasar dalam negeri terutama di sekitaran daerah Jawa Timur rata-rata 2 kursi per hari. “Kalau lagi ramai, bisa 15 kursi plus beberapa meja terjual per harinya,” ujar ayah dari Putri Elok Lestari (6). Belum lama ini, sebuah pondok pesantren di Malang membeli 100 kursi dan meja bikinan Muhammad Ali.

Jadi, peminat kayu limbah ini cukup banyak karena kualitas kayunya sangat bagus dan tua, tetapi harganya relatif murah. Selain itu tentu karena nilai seninya sangat tinggi.
Kayu jati memang merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan satu dan kelas keawetan satu. Kayu ini juga sangat tahan terhadap serangan rayap.
Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat mebel. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah.
Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.
Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada abad ke-19 konon meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena dapat merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.
Pada abad ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan akar jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam Jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.
Jati Burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati Jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati Jawa menjadi primadona. Tekstur jati Jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati Jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.
Nah, semua yang ada pada pohon jati selalu berguna dan bermanfaat. Kayu, daun, bahkan akarnya juga dapat dimanfaatkan menjadi berbagai jenis mebel dengan sentuhan karya seni yang apik. Tengoklah mebeler karya Muhammad Ali dan kawan-kawan yang bernilai seni tinggi itu.
Akar pun Sangat Berarti
Senso (gergaji mesin) menderu-deru. Suara tatar, tatah, beji, pasah, palu, ampelas, seperti musik perkusi terdengar di bengkel kerja Muhammad Ali hampir sepanjang hari. Tepat di tikungan pintu kereta Doplangan Sepur Buntaran, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur, bengkel akar jati milik suami Lilik Isdiawati (26) itu selalu ramai di hari-hari kerja.
Meski dikerjakan sendiri oleh Muhammad Ali, dengan dibantu istrinya, bengkel ini selalu bisa memenuhi permintaan pelanggan. Setiap hari Muhammad Ali bisa menyelesaikan 4 buah kursi atau 6 meja. Sementara pelibatan orang lain dalam bisnis Muhammad Ali adalah dalam hal mencabut akar dari dalam tanah yang diberi upah per akarnya Rp 50 ribu; lalu penggunaan alat transportasi mengantar akar ke bengkel atau mengantar mebel akar jati ke tempat pembeli.
Harga mebeler buatan Muhammad Ali beragam. Kursi Rp 350 ribu (ada juga yang harganya mencapai Rp 1.750 ribu), kursi dobel Rp 500 ribu, kursi malas Rp 750 ribu, meja Rp 400 ribu-Rp 1 juta, dan tempat asesori interior Rp 750 ribu.
Dari mana akar-akar kayu jati yang dipoles Muhammad Ali menjadi mebeler yang apik? Muhammad Ali membelinya ke pemilik perorangan atau Perhutani. Akar jati yang merupakan limbah kayu ini ia beli dengan harga bervariatif tergantung kualitas kayu dan besarannya, dari Rp 100 ribu hingga Rp 400 ribu. “Kalau harganya lebih dari Rp 500 ribu, saya nggak mau beli. Soalnya nanti susah jualnya,” ujar Muhammad Ali yang mengaku mengambil untung dari setiap jenis mebelernya seperti kursi Rp 50 ribu-Rp 75 ribu. [OI, Profil Usaha, Edisi 107 / Tahun III / Tanggal 07 Juli - 13 Juli 2008]



[...Selengkapnya]

Label:

Bikin Sopi Rezeki Tak Bertepi

Andai pasar sopi terbuka, mungkin masyarakat Sifnana hidup makmur. Bayangkan, setiap hari sebuah keluarga di Desa yang terletak tak jauh dari Saumlaki itu mampu menghasilkan 16 liter sopi dengan harga Rp 30 ribu per liter.

Menuju Desa penghasil sopi (minuman khas sejenis arak), cuma kira-kira 7 kilometer dari Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Desa Sifnana yang juga disebut sebagai pusat penyulingan sopi itu tak menampakkan masyarakatnya hidup makmur. Dilihat dari fisik bangunan rumah dan tampilan orang-orang yang menghuni desa tersebut tampak sederhana. Tak tergambar ada kemewahan di sana.

Namun, siapa sangka potensi ekonomi desa itu sangat besar. Dengan menyuling sagero (air perasan dari mayang kelapa) menjadi sopi, maka penghasilan sebuah keluarga tak kurang dari Rp 300 ribu per hari. Persisnya, setiap KK mampu memproduksi sopi tak kurang dari 16 liter per hari. Dengan harga per liter Rp 30 ribu, maka penghasilan yang didapat adalah Rp 480 ribu.

Sayangnya, pasar sopi tertutup. Masyarakat Sifnana yang telah berabad-abad membuat sopi itu dilarang memasarkan produknya ke luar rumah. Mereka hanya diperbolehkan menunggu pembeli yang datang. Oleh sebab itu pasar sangat terbatas, dan penghasilan pun terbatas. Hasil penyulingan sopi sebuah keluarga yang 16 liter per hari itu pun tak bisa dihabiskan dalam sehari. “Bisa-bisa sepekan baru habis,” ujar seorang penyuling sopi.

Menurut Bupati MTB BS Temmar, bagi masyarakat sopi adalah sumber pendapatan. Tapi bagi pengkonsumsi sopi adalah penyakit. Dua hal yang berbenturan. Apa jalan keluarnya? Tahun lalu Pemda MTB mengundang tim dari Universitas Sam Ratulangi Manado, karena mereka punya pengalaman mengolah sopi menjadi produk lain. Dan mereka sudah melakukan survei dan penelitian. Sayangnya sopi yang dihasilkan di MTB tidak cukup memadai untuk dikembangkan. Padahal Sulawesi Utara yang mampu memproduksi cukup besar, maka kemungkinan investasi mengolah sopi menjadi produk lain sangat terbuka. “Oleh karena itu dari pada kita ribut-ribut tentang sopi, ya kita kendalikan saja produksinya sambil mencari alternatif usaha lain,” kata BS Temmar.

Masalahnya, menuju alternatif lain itu butuh waktu. Membangkitkan usaha lain dengan meninggalkan sebuah usaha yang sudah berjalan secara turun temurun tidaklah mudah. Apalagi jenis usaha yang harus ditinggalkan tersebut adalah membuat sopi --sebuah usaha yang sebetulnya gampang mendatangkan untung, selain itu tentu karena alasan menjaga tradisi.

Sopi menjadi bagian dari model hubungan sosial masyarakat adat Maluku. Hubungan-hubungan sosial antar sesama itu di tertibkan melalui aturan-aturan adat dengan sanksi-sanksi bagi pelanggar. Jadi dalam aturan-aturan adat itu masyarakat dibina menjaga ikatan persaudaraan dan untuk mencapai partisipasi antar sesama, kerja sama dan saling membantu, menghargai dan saling memberi hormat serta mengindahkan seseorang pada tempatnya, mana yang tua dan mana yang muda. Dimensi kekeluargaan dan kekerabatan itu dengan muatan-muatannya terdiri dari Familia, Ain Ni Ain, Pela atau Teabel, Gandong, Masohi, Badati.

Sopi merupakan lambang persatuan dan kesatuan, sudah digunakan dalam berbagai upacara adat di Maluku sejak zaman dahulu. Kalau dalam upacara bikin-panas-pela, diisi dengan acara khusus, seperti makan patita dengan disajikan khusus makanan daerah, yang semuanya mengingatkan dan membuat hidup kembali persekutuan pela ini. Tiap dilakukan panas-pela itu dimaksudkan mengulang mengangkat peristiwa pertama ke hari ini, yang berarti mengingat dan mempererat ikatan pela itu. Panas pela ini di hadiri oleh kepala adat dari negeri-negeri berpela itu (Raja), tua-tua adat, anggoto-anggota Saniri Negeri, pimpinan agama, tokoh-tokoh seperti kepala mongare dan jujaro, para guru bersama rakyat yang datang dari negeri-negeri berpela itu.

Upacara adat panas pela ini masih dilakukan di Maluku dengan mengulang janji dan sumpah serta minum bersama dari satu gelas minuman sopi (dulunya di gelas itu biasanya dimasukan setetes darah pada sopi) sebagai tanda materai yang kuat pada ikatan pela itu dengan sanksi keras kepada yang melanggar atau merusak hubungan pela ini.

Jadi, mengapa produksi dan pemasaran sopi harus dihambat? Bukankah minuman sopi sebagai warisan leluhur adalah menjadi bagian dari tradisi dan juga mata pencaharian? Karena itu, mungkin jalan keluar itu adalah dengan mengemas sopi sedemikian rupa hingga pantas diekspor ke luar negeri. Kalau pun sopi harus diolah menjadi produk lain, beberapa jenis produk turunan sopi dengan kadar alkohol yang rendah masih tak terlalu mengganngu pengkonsumsi untuk dipasarkan. Begitu pula dengan sopi yang sudah disaring berkali-kali, baunya tak lagi menyengat dan rasanya tak sepanas sopi dengan kadar alkohol tinggi. Bahkan, rasa sopi bisa manis dengan kadar alkohol sangat rendah.

Jadi, masih banyak cara untuk mempertahankan tradisi penyulingan sopi sekaligus membuka pasar secara terbuka. Untuk menjaga agar pengkonsumsi tidak menjadi liar terkena pengaruh alkohol, rasanya pemerintah tidak harus membatasi produksi dan pasar para penyuling sopi.


Mewarisi Tradisi Bikin Sopi
Hari-hari Abraham Sesermudi penuh dengan semangat hidup. Pria beranak dua yang kerap dipanggil Ampi ini menjalani hidup apa adanya. Dengan keyakinan bahwa menyuling sopi adalah menjaga tradisi sekaligus dapat menuai penghasilan dari sana, Ampi sudah mantap memenuhi hari-harinya dengan menyuling sopi. Dan betul, Ampi memenuhi kebutuhan hidup dari membuat sopi. “Menyekolahkan anak, menafkahi istri dan bikin rumah, semua dari penghasilan membuat sopi,” ujar Ampi, jebolan SMA Negeri Saumlaki tahun 2001.

Pria kelahiran Desa Sifnana Kecamatan Tanimbar --menikah pada Februari 2005 ini, bersama kedua orang tuanya bertekad mewarisi kebiasaan nenek moyangnya membikin sopi. Karena itu, tiap hari Ampi memanjat pohon kelapa, mengambil mayang lalu diperas menjadi sagero (air perasan mayang kelapa). Dari kira-kira 48 mayang akan menghasilkan 80 liter sagero. Dari 80 liter sagero itu direbus di belanga selama satu jam, dan setelah itu uapnya akan menerobos melalui bambu yang memanjang (ke atas, lurus, ke bawah, lurus lagi, kira-kira 15 meter) berkelok-kelok hingga kemudian menetes ke botol minuman mineral (tempat menampung tetesan). Uap yang menetes pelan itu adalah sopi. Melalui penyulingan sederhana ini, Ampi mendapatkan 16 liter sopi dalam sekali produksi.

Nah, Ampi dan kedua orang tuanya itu rata-rata mampu menghasilkan dan menjual sopi 16 liter per hari. Tentu saja sang pembeli datang sendiri ke tempat produksi. Jadi, dengan harga jual sopi Rp 30 ribu per liter, pendapatan Ampi cukup tinggi bukan? [Profil Usaha, Opini Indonesia, Tahun III, Edisi 106, 30 Juni-6 Juli 2008]


[...Selengkapnya]

Label:

Memanfaatkan Jaringan Memberdayakan Masyarakat

Potret keadaan ekonomi masyarakat tampak kian bopeng. Berbagai persoalan terus mendera mereka, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah. Kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, tidak tersedianya lapangan pekerjaan, dan bencana alam, membuat nasib orang-orang miskin kian miskin.

Meski menurut pemerintah, angka kemiskinan berkurang namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi masih menghampiri sebagian besar masyarakat. Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6%. Ini didasarkan pada perhitungan penduduk yang hidup dengan penghasilan di bawah USD 2 per hari per orang, dari jumlah penduduk Indonesia 232,9 juta pada 2007.

Tingkat kemiskinan itu berkorelasi dengan sempitnya kesempatan kerja yang bisa diakses masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% namun menurut laporan Bappenas (2006), pada tiap pertumbuhan 1% hanya membuka 48.000 kesempatan kerja. Itu berarti, pertumbuhan ekonomi tidak selaras dengan pembukaan lapangan kerja.

Lantas, apa jalan keluar yang bisa menjadi alternatif bagi kemampuan ekonomi masyarakat. Disinilah pentingnya langkah pemberdayaan masyarakat yang tidak hanya menjadi tugas pemerintah tetapi tugas masyarakat itu sendiri. Suatu pemberdayaan yang mampu mendukung kemampuan masyarakat dalam menghadapi kondisi kekinian dan mampu memperkuat keberdayaannya dalam jangka panjang.

Upaya pemberdayaan masyarakat terkait dengan pemberian akses bagi masyarakat, komunitas, dan organisasi masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan hak masyarakat bagi peningkatan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Karena itu, pemberdayaan masyarakat penting dilakukan untuk mengatasi ketidakmampuan masyarakat yang disebabkan oleh keterbatasan akses, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, adanya kondisi kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat dan adanya keengganan pemerintah membagi wewenang dan sumber daya kepada masyarakat.

Di sisi lain, berbagai program pemberdayaan yang bersifat parsial dan sektoral yang pernah dilakukan, kerap menghadapi kondisi kurang menguntungkan. Misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar, terciptanya benih fragmentasi sosial, dan melemahkan kapital sosial yang ada di masyarakat seperti gotong royong, musyawarah dan keswadayaan. Lemahnya kapital sosial pada gilirannya mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang kian jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalan secara bersama.
Salah satu sebab melemahnya kondisi kapital sosial dan perilaku masyarakat adalah karena keputusan dan kebijakan. Juga tindakan dari pengelola program pemberdayaan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang cenderung tidak berorientasi kepada masyarakat golongan ekonomi lemah, tidak adil dan tidak transparan.

Hal ini menimbulkan kecurigaan, kebocoran, stereotype dan skeptisme di masyarakat. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil dapat terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang tidak benar-benar melibatkan masyarakat. Salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, tidak berorientasi pada keadilan, dan tidak dikelola secara jujur-terbuka.

Kelembagaan masyarakat tidak berdaya karena karakteristik lembaga masyarakat yang ada di masyarakat cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Di ditengarai pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini dalam beberapa hal lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya.

Lembaga masyarakat yang mandiri mampu menjadi wadah perjuangan kaum ekonomi lemah, menyuarakan aspirasi masyarakat, memengaruhi proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, sehingga berorientasi kepada masyarakat miskin dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik: dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan, perumahan dan pemukiman.

Jaringan Membuat Masyarakat Berdaya
Lembaga masyarakat yang mandiri akan bermunculan apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat tersebut adalah kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas, relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat, dan bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Tentu, ini bukan pekerjaan mudah karena upaya-upaya membangun kepedulian, kerelawanan dan komitmen pada dasarnya terkait dengan proses perubahan perilaku masyarakat.

Langkah Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) memanfaatkan jaringan yang dimiliki Nahdlatul Ulama (NU) untuk menyukseskan program kerjanya adalah langkah yang tepat. Sebagai kementerian negara yang tidak punya kaki di daerah sebagaimana departemen, Kemenneg PDT tidak akan mampu berbuat banyak tanpa bantuan dan dukungan dari unsur-unsur di dalam masyarakat sendiri, apalagi kewenangan Kemenneg PDT kian diperluas, antara lain menyangkut pengembangan perekonomian lokal dan pembangunan infrastruktur di pedesaan.

Nota Kesepahaman Kerja Sama (MoU) antara Kemenneg PDT dengan PBNU, yang meliputi program pemberdayaan ekonomi lokal, pelatihan dan pendampingan masyarakat di daerah tertinggal, akan menggerakkan potensi-potensi lokal.
Untuk menggerakkan ekonomi lokal, Kemenneg PDT juga bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, berencana mendirikan 25.000 lembaga keuangan mikro (LKM) untuk membantu permodalan masyarakat di desa-desa tertinggal. Inilah salah satu cara memberdayakan perekonomian masyarakat, yakni dengan menyediakan LKM yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pembentukan LKM yang menjadi salah satu fokus program Kemenneg PDT pada 2008 yang masuk dalam program "Green Bank", diharapkan mampu memberdayakan masyarakat. Sehingga terwujudlah misi pemberdayaan masyarakat, yakni “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri”.

Beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan program tersebut antara lain, yaitu: (1) adanya kesesuaian antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket program dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) adanya kegiatan monitoring yang terencana (4) dan adanya kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan program.

Untuk mencapai hasil yang optimal, perlu dilakukan pola pendekatan partisipatif dan transparansi. Partisipatif artinya menempatkan masyarakat sebagai subyek (pemilik) dalam pemberdayaan itu dan bukan obyek (penerima), sekaligus mempunyai keterlibatan aktif dalam semua level kegiatan. Di sini, target kelompok masyarakat hars benar-benar didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam program. Transparansi dimaksudkan untuk mempertegas bahwa seluruh upaya pemberdayaan masyarakat dikelola dalam tata kelola yang baik dan dapat diakses informasinya oleh para pihak terkait. Dalam hal ini, setiap perubahan pelaksanaan program perlu diberitahukan dengan baik, aktif dalam kegiatan hubungan masyarakat.

Lebih sahih lagi, perlu (1) akuntabilitas, yakni mempertanggungjawabkan setiap pemanfaatan dana, serta melakukan audit keuangan; (2) berorientasi lapangan dan pemanfaatan sumber daya lokal, di mana seluruh kegiatan mempertimbangkan situasi, tradisi, dan nilai-nilai setempat termasuk ketika melakukan pemilihan peralatan selalu mempertimbangkan aspek pemeliharaan dan perbaikan yang dapat dilakukan secara lokal setempat; (3) berkesinambungan, yakni upaya berbagai kegiatan seyogyanya dapat dipertahankan oleh masyarakat walaupun program telah berakhir; (4) membangun kemitraan: seluruh pihak yang terlibat berupaya sekuat-kuatnya untuk bekerjasama secara gotong royong.

Dengan memanfaatkan jaringan NU dan beberapa yang lain, maka tujuan pemberdayaan masyarakat akan tercapai. Pemberdayaan yang merupakan paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya, yakni mulai dari aspek intelektual, material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial, akan berkembang menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.

Harapannya, 33 ribu desa tertinggal dari 70 ribu desa yang ada di Indonesia segera tinggal landas. Sejumlah desa tertinggal tersebut berada di 199 kabupaten; tersebar di 58 kabupaten di Sumatera, 123 kabupaten di kawasan Indonesia Timur, dan 18 kabupaten di Jawa dan Bali. Kemenneg PDT bertekad sebanyak 40 kabupaten harus sudah terentaskan dari status tertinggal pada 2009. Jadi, butuh waktu 5 tahun untuk mengentaskan semua desa tertinggal yang tersebar di 199 kabupaten itu. [Versi OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 106, 30 Juni-6 Juli 2008, berjudul "Menebar Jaring Berdayakan Masyarakat"]


[...Selengkapnya]

Label: