Buntut Ketuk Palu Politisasi Dewan

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang memperbolehkan partai peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara, tetapi memiliki kursi di DPR, langsung bisa mengikuti Pemilu 2009 tanpa verifikasi. Ketentuan itu dinilai tidak adil dan tidak memiliki rasio yang jelas.

MK menyatakan, pasal 316 d UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD itu bertentangan dengan pasal 27 ayat 1, pasal 28 D ayat 1, dan pasal 28 I ayat 2 UUD 1945. Uji materi terhadap ketentuan itu diajukan pengurus Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Merdeka.

Keputusan MK itu tepat, sebab tidak ada landasan teoritis untuk meloloskan partai politik yang memiliki kursi di DPR --tetapi tidak memenuhi ambang batas perolehan suara, otomatis ikut pemilu. Dan konsekuensi dari putusan MK adalah kekuatan hukum dari hasil Pemilu 2009 kelak. Ada 9 parpol kontestan yang bila merujuk putusan MK menyalahi konstitusi sehingga apa pun kelak hasil Pemilu 2009 dengan sendirinya dapat dianggap melanggar UUD 1945.

Menghindari kekacauan ini, apakah KPU harus melakukan verifikasi 9 parpol? Yakni, terhadap PNI Marhaenisme, PPDI, PDS, PBR, PBB, PKPB, PDK, Partai Pelopor dan PKPI (parpol yang tidak memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara tapi bebas verifikasi KPU dan karenanya otomotis ikut Pemilu 2009).

Tak mudah bagi KPU untuk melakukan verifikasi terhadap 9 parpol yang sudah ditetapkan menjadi peserta pemilu. Apalagi, KPU sudah menjalankan tahapan pemilu sesuai ketentuan UU. Undang-Undang juga memerintahkan parpol peserta pemilu ditetapkan pada 9 bulan sebelum hari pemungutan suara atau pada 9 Juli 2008. Selain itu,
pasal 8 UU No. 10/2008 yang mengatur soal persyaratan parpol peserta pemilu tetap eksis, tidak serta merta dengan dicabutnya pasal 316 huruf d akan berarti membatalkan pasal-pasal lainnya.

Itulah mengapa KPU cenderung tetap akan melanjutkan tahapan Pemilu 2009, meskipun KPU juga akan berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU. Kecenderungan langkah KPU ini didukung Ketua Panitia Khusus Rancangan UU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan, dengan menegaskan bahwa keputusan MK tak memiliki asas retroaktif. Itu berarti, keputusan itu tidak dapat menghentikan atau menunda tahapan Pemilu 2009 yang sudah berjalan. Putusan MK tidak dapat dilaksanakan sebelum perubahan itu ditetapkan dengan UU yang baru.

Adhie M Massardi juga mendukung kecenderungan langkah KPU. Menurut Sekjen PPD yang ikut mengajukan uji materi ke MA ini menyatakan bahwa putusan MK sulit dieksekusi. Putusan MK menjadi kontraproduktif. Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Hamdan Zoelva memperkuat KPU untuk melaksanakan tahapan pemilu. Sebab, putusan MK tidak memengaruhi tahapan pemilu yang sudah berjalan karena tidak bisa diberlakukan secara surut. Artinya, peserta Pemilu 2009 tetap 34 partai, seperti yang ditetapkan KPU.

Tahapan Pemilu Lancar Tanpa Bertengkar
Pemicu putusan MK yang berimplikasi rumit ini terjadi karena DPR lebih mengutamakan
konspirasi politik. Bukankah pada awalnya pasal 316 lahir dari jual beli kepentingan parpol di DPR? Jika DPR memerhatikan kepentingan bangsa yang lebih luas seharusnya pasal perselingkuhan (316) yang bertengger di dalam UU No. 10/2008 itu tidak perlu ada.

Masalahnya palu MK sudah dijatuhkan, lalu bagaimana jalan keluarnya agar tahapan Pemilu 2009 tetap jalan tetapi tanpa ada pertengkaran? Sembilan parpol yang tak memenuhi ambang batas perolehan suara 3 persen tentu akan menolak diverifikasi ulang, sementara parpol peserta pemilu 2004 yang tersingkir dalam verifikasi juga tidak akan tinggal diam.

Seperti model kompromi politik yang kerap dilakukan DPR, maka persoalan ini bisa diselesaikan dengan damai melalui asas win-win solution, yakni asas persamaan di mana seluruh parpol peserta Pemilu 2004 dinyatakan secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2009. Langkah ini tidak akan mengganggu nomor urut yang sudah diundi, yaitu dengan cara mengundi nomor urut kepada parpol-parpol yang ternyata berhak juga ikut Pemilu 2009 dengan nomor 35 dan seterusnya.

Karena itu, dalam konsultasi KPU dengan pemerintah dan DPR pasca keputusan MK hendaknya diperoleh jalan keluar yang paling aman. Mungkin bisa dicari cara lain, tidak seperti putusan MK tentang calon perseorangan yang harus menunggu lama hingga seseorang dapat mencalonkan diri sebagai calon perseorangan di dalam Pilkada dan sejenisnya. Misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan Perppu.

Mengapa? Sebab dasar hukum 9 parpol untuk ikut pemilu sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD. Sehingga kalau tidak ada upaya hukum untuk memperbaiki ini berarti pemilu 2009 melanggar UUD dan pemilihan presiden bisa juga bertentangan dengan UUD karena ia lahir dari parpol tersebut.

Didasari dengan menggunakan kekuatan batin menuju kebaikan atau kesadaran batin menuju kebaikan, maka kompromi untuk kebaikan (dalam hal ini membuang jauh-jauh sikap diskriminasi terhadap parpol yang “disingkirkan”) akan membuat kehidupan menjadi lebih bernilai untuk ditempuh. Cicero menyebutnya dengan kata “cultura animi” atau kebudayaan dari budi (The Liang Gie, 1977:128).

Ki Sarino Mangunpranoto dari Majelis Luhur Taman Siswa berpendapat bahwa budaya manusia itu terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau lingkungannya. Norma hidup itu terwujud dalam bentuk alam pikir, alam budi, alam karya, alam tata susila, dan alam seni. Nah, para anggota Dewan (DPR RI) bisa mengaca kembali tentang bagaimana sebuah perselingkuhan dengan memasukkan pasal paradoksal hingga sejumlah parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara 3 persen ada yang diotomatiskan mengikuti Pemilu 2009 dan yang lain diharuskan mengikuti verifikasi. Sikap diskriminatif ini bisa ditebus dengan cara mendorong semua peserta Pemilu 2004 untuk ikut serta dalam Pemilu 2009 secara otomatis.

Keluhuran sifat-sifat hidup para anggota DPR, jika ini terjadi, akan melahirkan adanya rasa budaya manusia. Begitu erat hubungan manusia dengan kebudayaannya, disebabkan oleh karena kebudayaan merupakan lingkup di mana manusia harus hidup. Pertanyaannya, apakah para anggota Dewan yang terhormat akan membiarkan keterjebakannya dalam crime by legislation? hingga akan terus bersikukuh bahwa pasal 316 d UU No. 10/ 2008 tidak bisa dianulir sekarang ini?

Jadi, ibarat alam yang “subur kang tanpa tinandur, gemah ripah loh jinawi” tanpa dikerjakan dan diolah dengan akal budi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak akan ada gunanya. Oleh sebab itu, biar ada gunanya, carilah jalan keluar untuk menghindari kekacauan yang ditimbulkan oleh Dewan sendiri, bagaimana agar tahapan Pemilu 2009 berlangsung aman dan nyaman. Gunakan akal budi yang dilandasi oleh kesadaran etik dan estetik! [OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 108, 14-20 Juli 2008]


Label:

0 komentar: