Memberantas Korupsi di DPR Perlu Dukungan Partai

Alkisah, di Nishapur, Persia. Dahulu kala ada 3 sekawan lulus tes pegawai dengan prestasi gemilang. Baginda raja terkesan, hingga mereka langsung diangkat menjadi pegawai dengan pangkat tertinggi, serta mendapat kesempatan memilih sendiri jabatan yang diinginkan.

Pemuda pertama, Nizamul Mulk, memilih menjadi wasir. Pemuda kedua, Hassan Sabah, memilih menjadi menteri. Namun pemuda ketiga, Ghiyath al-Din Abu al-Fath Umar ibn Ibrahim al-Nisaburi al-Khayyami alias Omar Khayyam, memilih jabatan menjadi “penyair” dan “peneliti”.

Karir ketiga pemuda tersebut menanjak. Namun karena satu dan lain hal, kedua pejabat elite (yang menempati jabatan basah) tersebut terlibat dalam perseteruan yang hebat. Negara menjadi kacau, banyak demonstrai dan krisis ekonomi. Kisah pamungkas dari kedua pejabat itu kurang tercatat dalam sejarah. Namun yang dikenang hingga kini adalah Omar Khayyam. Walau pun hidup di zaman yang kacau balau, ia mampu berkarya dengan puisi-puisinya dan beberapa temuan ilmu alam.

Hikayat Omar Khayyam ini cukup masyhur di kalangan masyarakat Indonesia , namun para elite negeri ini tak acuh dengan perilaku Omar Khayyam. Kebanyakan elite justru memilih cara Nizamul Mulk dan Hassan Sabah dalam menjalani karirnya, hingga tak heran jika pemandangan buram perilaku elite terus mencoreng wajah Indonesia .

Publikasi media massa yang terus menerus mengangkat berita kejahatan korupsi, ternyata tak menggetarkan para pejabat. Bahkan, anggota DPR yang susul menyusul tertangkap tangan tak juga mengurangi kenekatan mereka menjalankan transaksi kejahatan itu. Lagi, anggota DPR ditangkap karena dugaan menerima suap. Lagi-lagi, publik geleng-geleng kepala, bagaimana mungkin anggota DPR seperti kehilangan akal sehat, tak menghiraukan fungsinya sebagai legislator dan tiada peduli kemungkinan dirinya dalam pantauan KPK.

Senin (30/6), KPK kembali menangkap tangan seorang anggota DPR. Kali ini anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi atau F-PBR DPR, Bulyan Royan. Ia ditangkap karena diduga menerima suap, terkait dengan pembelian kapal patroli di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan.

Sebelumnya, 2 Mei 2008, Sarjan Tahir, anggota Fraksi Partai Demokrat, ditahan KPK terkait dugaan korupsi alih fungsi hutan bakau dan pembangunan jalan dalam proyek Pelabuhan Tanjung Api-api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Pada 17 April 2008, KPK menahan Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin, anggota DPR terkait kasus aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR tahun 2003. Pada 9 April 2008, Al Amin Nur Nasution, anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, ditangkap KPK dalam kasus dugaan suap terkait pengalihfungsian hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Pada 19 Maret 2008, Saleh Djasit, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, ditahan KPK karena diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan 20 mobil pemadam kebakaran saat ia menjabat sebagai Gubernur Riau periode 1998-2004.

Tertangkapnya para anggota DPR merupakan konfirmasi atas dugaan maraknya praktik korupsi di lembaga legislatif. Survei Transparency International Indonesia yang menunjukkan bahwa masyarakat menilai DPR sebagai salah satu lembaga terkorup, kian terbuktikan dengan tertangkapnya anggota DPR oleh KPK susul menyusul.

Rupanya, korupsi di lembaga wakil rakyat ini sudah merupakan perkara teknis (lolos atau sial), bukan lagi soal etis (malu atau tidak). Ini adalah kondisi kerendahan tindakan dengan alasan yang tidak dapat dimengerti. Bayangkan! penghasilan mereka melimpah, dan anehnya dari mereka pula undang-undang yang merupakan produk hukum itu, dibuat. Bagaimana bisa sang pembuat hukum merendahkan diri sendiri di depan hukum yang ia buat?

Katakanlah, para anggota DPR pelaku korupsi itu tak menghiraukan lagi etika dan pertanggungjawaban politik, kecuali hanya mengacuhkan diri tanpa memedulikan norma-norma sosial, namun masalahnya apakah hal ini bukan perkecualian? tetapi kecenderungan yang melanda lingkungan DPR? Kalau demikian, korupsi itu sudah melembaga. Maka, masuk akal untuk memastikan bahwa ada gunung es korupsi di lembaga wakil rakyat.

Teori bahwa koruptor adalah oknum tidak dapat lagi terus menerus disodorkan sebagai apologi oleh para sejawat. Kita tidak harus menunggu seluruh gunung es tersembul untuk mengubah jalan pikiran kita tentang korupsi dari praduga tak bersalah menjadi praduga bersalah. Sudah waktunya kita berpikir radikal, semua adalah koruptor, sampai nanti dibuktikan secara terbalik.

Lebih dari itu, penerapan hukuman lebih berat perlu diberlakukan kepada pelaku korupsi politik. Misalnya mengucilkan dan melayangkan mosi tidak percaya kepada DPR. Sudah saatnya kekuatan masyarakat mengontrol DRP. Juergen Habermas menyebutnya, aksi pengepungan masyarakat sipil atas masyarakat politik.

Masalahnya, di negeri dengan korupsi sebagai patologi sosial, siapa mengawasi siapa, itu sering merupakan maling teriak maling, yang berujung tak menentu. Praktik korupsi di DPR membentuk jejaring yang amat kompleks sehingga tidak mudah mengungkapnya. Kesulitan pengungkapan ini masih ditambah oleh kuatnya posisi lembaga legislatif pada saat ini dan masih minimnya kontrol dari masyarakat. Korupsi di DPR juga makin diperparah oleh tingginya ambisi politikus untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.

Sementara itu, tiadanya jenjang karir yang jelas dalam politik juga menjadi sebab maraknya korupsi di DPR. Untuk bisa duduk di DPR, lebih ditentukan oleh kedekatan dengan pimpinan partai dan dana yang dimiliki. Prestasi tak menjadi ukuran. Ini membuat sebagian anggota DPR mencari harta sebanyak-banyaknya. Dana yang besar dalam politik, antara lain dibutuhkan untuk memperjuangkan nomor urut dan daerah pemilihan saat pemilu, memelihara pemilih, dan mengamankan posisi di partai.

Dengan keadaan seperti ini, pemberantasan korupsi di DPR tidak dapat hanya dilakukan dengan mengandalkan tindakan tegas KPK. Namun juga harus diiringi upaya lain, seperti perbaikan dalam perekrutan politik dan peningkatan kesadaran politik masyarakat sehingga mereka dapat lebih mengawasi kerja para wakilnya di parlemen.

Jadi, membersihkan koruptor dari DPR perlu dukungan partai. Dalam praktik demokrasi, partai politik merupakan pilar utama yang eksistensinya bersifat mutlak dalam pelaksanaan agregasi aspirasi rakyat. Partailah yang melaksanakan kedaulatan rakyat, sebab daulat rakyat tidak bisa dilakukan langsung seperti pernah dipraktikkan pada zaman demokrasi langsung di masa negara kota Athena.

Nah, cara partai mendukung pemberantasan korupsi di DPR sebenarnya sederhana. Lakukan saja tugas dan fungsi partai politik dalam negara demokrasi, yakni melakukan pendidikan politik untuk rakyat, melakukan agregasi politik, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Jika hal itu dilakukan tentu tak akan ada korupsi di DPR, sebab begitu ada anggota DPR berniat korupsi maka partai politik yang memayunginya sudah mencampakkan sang calon koruptor itu! [OI, Perspektif, Edisi 107 / Tahun III / Tanggal 07 Juli - 13 Juli 2008]




Label:

0 komentar: