Mimpi Berhaji

Sampai ajal menjemput, niat Kiai Nuri untuk berhaji tak kesampaian. Namun, mimpi kiai dusun yang tak kesohor itu terus bergemuruh di benak istri dan putra-putrinya. Mereka rindu bertemu Allah di Masjid al-Haram, Mina, Muzdalifah, dan di Padang Arafah. Mereka rindu dipanggil Tuhannya untuk melaksanakan ihram, thawaf, wukuf, sa’i, tahallul, memanjatkan doa di sebuah tempat antara Hajar al-Aswad dan pintu Ka’bah, salat sunah dua rakaat di maqam Ibrahim, meminum air zamzam, dan melempar jumrah. Pendeknya, mereka bermimpi dapat memenuhi panggilan berhaji. Betapa indah rasanya memenuhi panggilan Allah di hari Tarwiyyah, Yawm al-Wukuf, Yawm al-Nahr, dan Yawm al-Tasyriq. “Labbaika Allahumma Labbaik…” (Wahai Tuhanku, kami datang memenuhi panggilan-Mu…).

Keluarga Nuri adalah keluarga santri. Sejak kecil mereka akrab dengan gema takbir, shalawat badar, berzanji, dan rajin mengaji. Jadi wajar saja, seperti kaum muslim pada umumnya yang hidup di kampung santri, berhaji hampir selalu menjadi cita-cita. Bahkan, berhaji tak saja disambut sebagai kewajiban memenuhi panggilan ilahi, tetapi juga untuk meningkatkan gengsi. Makna berhaji memang terus terdistorsi. Orang-orang di kampong Kiai Nuri kian tak peduli terhadap makna hahikat haji.
Tak mengherankan bila di kampung yang dulunya hanya ada satu-dua orang yang bergelar haji, kini jumlah orang yang bergelar haji mendominasi: hanya ada satu-dua orang yang tak bergelar haji. Salah satunya adalah Kiai Nuri. Sampai-sampai kampung yang sesungguhnya miskin secara ekonomi itu dijuluki “Kampung Haji”. Julukan itu makin kukuh, beritanya menyebar ke seantero kabupaten. Dalam perkembangannya orang-orang di kampung ini menjadi lazim dipanggil Pak Haji, Bu Haji, Kang Haji, Dik Haji, Pakde Haji, Bude Haji, Lek Haji. Orang-orang kampung itu puas menepuk dada, “Kamilah para haji.”

Kiai Nuri cemas. Ibadah haji, yang merupakan presentasi diri di hadapan Allah, bergeser menjadi presentasi diri di hadapan manusia. Mahkota penutup kehidupan itu ternistakan oleh kekuatan symbol, gelar, dan gengsi. Mata Kiai Nuri menerawang, “Mengapa syarat berhaji, seperti membayar hutang, zakat, mengembalikan amanat, dan menjamin nafkah keluarga, tak dipenuhi? Mengapa saudara-saudaraku berhaji dengan menjual harta warisan? Dan, lebih dari itu, hak anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan diabaikan?”

Puncaknya, Kiai Nuri terkaget-kaget ketika suatu hari anak sulungnya dan dia berkunjung ke Jakarta. Ternyata, orang-orang gede di metropolitan, yang menurut berita-berita di koran dan televisi banyak di antara mereka terlibat korupsi, kolusi, dan manipulasi uang rakyat, malah berhaji berkali-kali. Bahkan, ketika jumlah calon jamaah haji lebih besar dari kuota yang tersedia, mereka tetap terdaftar sebagai calon jamaah haji yang dipastikan berangkat ke Tanah Suci.

“Astaghfirullah al-Adzim,” kata Kiai Nuri, sambil menasihati istri dan putra-putrinya beberapa saat menjelang kepergiannya ke alam baka. “Kalian bermimpilah untuk berhaji. Tetapi jangan sekali-kali memaksakan diri. Demi haji lupa diri, apalagi dengan menzalimi sesamanya.” [Alkisah No. 03/ 2-15 Februari 2004 – 10-23 Dzulhijjah 1424]




Label:

0 komentar: