Berharap Pada Pilkada Jatim

Pada 23 Juli 2008 Jawa Timur (Jatim) menggelar hajat besar bernama pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur. Mereka para calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono, Sutjipto-Ridwan Hisyam, Soenarjo-Ali Maschan Moesa, Achmady-Suhartono, dan Soekarwo-Saifullah Yusuf.

Para kandidat berupaya meraup simpati rakyat. Khofifah Indar Parawansa yang diusung PPP dan koalisi 12 parpol mencitrakan dirinya sebagai satu-satunya calon yang mewakili kaum Nahdliyyin dan kaum perempuan.

Pasangan Sutjipto-Ridwan Hisyam yang diusung PDIP tak mau kalah mengusung jargon: calon dari wong cilik. Dengan berbekal mengumpulkan tukang becak di berbagai kota, mereka yakin bahwa saat di mana wong cilik memimpin akan tiba. Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa diusung Partai Golkar memperbanyak reklame, mengumpulkan tukang becak dan kaum miskin kota, serta berebut pengaruh kiai dan santri.

Pasangan Akhmady-Suhartono yang diusung PKB, mendapat restu langsung Gus Dur, tokoh paling berkharisma di kalangan Nahdliyyin. Akhmadi mensejajarkan dirinya dengan Damar Wulan, salah satu raja Majapahit yang mengawali karir politiknya sebagai perumput istana. Ia dulunya tukang sapu pasar dan putra Mojokerto asli. Poster bertuliskan “Putra Majapahit” pun ditebar, seolah ingin mengingatkan tentang kebesaran Majapahit pada kurun 1200-an.

Sementara pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf yang diusung PAN-PD merapikan barisan PNS dan berusaha merebut simpati beberapa DPC PDIP, yang sebelumnya mencalonkan Soekarwo. Acara jalan sehat pun digelar di berbagai kota.

Kelima pasangan calon gubernur-wakil gubernur ini memiliki beberapa kesamaan: berusaha mencuri perhatian para kiai dan kaum santri, mengatasnamakan wong cilik, mengkotak-kotakkan rakyat sesuai dengan tingkatan sosial mereka untuk kemudian berusa mencuri perhatiaan pemilih.

Dengan caranya masing-masing, kelima pasang cagub-cawagub menjanjikan akan mengurangi kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan mutu pendidikan, serta beberapa sektor lain menyangkut ekonomi bakal digenjot pertumbuhannya.

Masalahnya, apakah sang pemenang bakal memenuhi jani-janjinya? Yang pasti, hasil Pilkada akan mempengaruhi nasib 35,56 juta penduduk Jatim, termasuk korban semburan lumpur Lapindo. Pada saat Pilkada digelar, semburan lumpur panas Lapindo berumur 784 hari. Hari-hari yang sangat panjang bagi para korban yang hingga kini tak kunjung terselesaikan.

Sejak lumpur panas Lapindo menyembur pada akhir Mei 2006, telah menenggelamkan sedikitnya 12 desa, termasuk 34 gedung sekolah (dari TK hingga SMU). Lebih 60 ribu orang mengungsi. Sekitar 87 industri skala rumahan hingga skala pabrik besar turut tenggelam. Belum lagi sarana publik seperti jalan tol, listrik, pipa gas, air minum dan telekomunikasi terganggu bahkan rusak tidak bisa digunakan. Dan di kawasan tersebut kian makin berbahaya.

Puluhan kali tanggul penahan lumpur jebol dan menggenangi kawasan sekitarnya. Belum lagi 90 semburan lumpur baru di sekitar rumah warga, yang mengandung zat kimia mudah terbakar dan hidrokarbon beracun. Di Siring Barat, ditemukan hidrokarbon yang kandungannya lebih 266 ribu kali ambang baku yang diperbolehkan. Gas-gas itu berbahaya dan bisa memicu kanker.

Dampak semburan lumpur Lapindo bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur tersebut juga memberikan efek bagi Jatim. Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya adalah semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas.

Seretnya pertumbuhan ekonomi antara lain akibat matinya sejumlah industri, hotel, dan tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti pada Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh tiga jam.

Dampak sosial juga parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan juga dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas.

Ironisnya, di saat nasib korban Lapindo makin tak jelas masa depannya, para cagub-cawagub seolah tak peduli. Hanya pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa yang mencantumkan program “relokasi infrastruktur untuk melancarkan kembali arus ekonomi, korban harus mendapat ganti rugi dan relokasi kalau bisa seperti sebelum terkena lumpur Lapindo”.

Padahal jika para cagub-cawagub memiliki komitmen menuntaskan persoalan masyarakat Jatim, sebagaimana yang diderita korban semburan lumpur Lapindo, serta berusaha meyakinkan masyarakat untuk menjalankan tekad mulia tersebut, tentunya Jatim memiliki harapan kembali tumbuh.

Andai soal lumpur panas Lapindo menjadi salah satu konsen cagub-cawagub, bisa jadi dapat mendongkrak suara para kandidat, sementara biaya politiknya tidak mahal. Ini jika dibandingkan dengan pasang iklan di media massa, menebar simpati berkeliling kota-desa, dan lain-lain. Anehnya, cara murah serta lebih menjanjikan ini malah tidak begitu diminati para kandidat. Mengapa?

Lantas, apakah cagub-cawagub yang rada gamblang mau membereskan nasib korban semburan lumpur panas Lapindo akan memenangi Pilkada? Jawabannya tentu kembali pada soal percaya dan tidak percaya: yakni, apakah mayoritas rakyat Jatim percaya pada Soenarjo (mantan Wakil Gubernur Jatim) yang orang Golkar? Jika Ali Maschan Moesa sebagai tokoh NU bisa meyakinkan komitmennya kepada warga NU, barangkali pasangan ini akan memenangi Pilkada (tapi kendala lainnya adalah kandidat lain yang juga dari NU, Khofifah-Achmady-Saifullah Yusuf).

Terus, bagaimana lanjutan nasib korban semburan lumpur panas Lapindo pasca terpilihnya gubernur-wakil gubernur Jatim? [OI, Teropong, Tahun III Edisi 109, 21-27 Juli 2008]


Label:

0 komentar: