Saatnya Elite NU Belajar pada Warganya

Membaca warga NU, bahkan Kiai NU, itu gampang. Kalau Anda ke kampung-kampung yang dihuni mayoritas warga NU, di sana Anda akan mudah mendapati model kehidupan yang sederhana, yang apa adanya. Rasanya tidak ada rasa pamer dan sikap serakah yang berlebihan. Semua serba mudah dipahami. Jika ada orang pamer dan atau serakah, dia akan terdeteksi di acara jamaah Tahlilan dan Yasinan yang berlangsung tiap malam Jum’at. Usai kumpulan di malam Jum’at itu, biasanya orang yang sok pamer dan serakah itu segera menyadari kekeliruannya.

Jadi, menyelesaikan masalah untuk kemaslahatan itu mudah bagi orang-orang NU di kampung. Secara kultural, bahkan warga NU mengerti bagaimana menyikapi Kiai-nya yang tak lagi bersikap independen. Tanpa ruang kelas, tanpa SKS, tanpa embel-embel gelar kesarjanaan, mereka mengerti bagaimana berpolitik yang santun dan bermartabat. Kalau sang Kiai “menjual” mereka untuk kepentingan politik pragmatis, mereka akan segera bertindak! Namun tindakan mereka tetap santun dan damai. Biasanya Kiai model ini akan ditinggalkan jamaahnya. Cara itu sangat elegan dan tidak memakan korban.

Andai pun ada kerusuhan atau adu otot antar warga NU dan atau dengan warga lainnya, biasanya pangkal soalnya hampir selalu berada pada sikap sang Kiai. Permusuhan antar warga NU yang dipicu oleh perilaku Kiai pernah terjadi di Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan beberapa daerah lain, pada Pemilu 1999. Namun begitu, perlu digarisbawahi, bahwa Kiai-kiai kampung umumnya berjalan seiring dengan warganya –sebab warga kampung itulah yang menjadikan seseorang itu diberi gelar Kiai atau Ustadz. Jadi, naif andai seorang Kiai lalu mengingkari sang pemegang kedaulatan itu!

Kalau Anda datang ke kantong-kantong NU yang masih ndeso, kampungan, bahkan kerap disebut kurang pendidikan, ternyata mereka lebih terdidik ketimbang para pendidik itu sendiri –yang belakangan terus menerus berjuang menaikkan gajinya meski dibanding warga masyarakat umumnya, mereka sudah berkecukupan. Bayangkan, di kampung-kampung, di desa-desa banyak warga NU yang bertindak sosial tanpa pamrih. Bahkan ketika mereka berkali-kali ditipu politisi, mereka tak berteriak-teriak mau golput! Dalam Pilkades-Pilkada-Pemilu, mereka tetap bersahaja memilih calon pemimpin. Setidaknya memilih orang yang terbaik dari yang terburuk.

Semakin sederhana, semakin bersahaja, semakin menerima pandume gusti Allah (pemberian Allah), akan semakin ketahuan bahwa mereka adalah orang NU. Mereka benar-benar nunut urip marang gusti Allah (menyerahkan hidupnya pada Allah). Hidup yang serba menggantungkan pada kehendak Allah itulah yang lazim mewarnai denyut kehidupan di kampung. Semua serba alamiah. Yang menjadi juragan adalah juragan tulen, begitu juga yang menjadi petani, pengrajian, bahkan Kiai. Karena itu, setiap orang mampu menakar kemampuan ekonomi masing-masing warga. Suasana hidup dan kehidupan warga masyarakat aman, nyaman, tenteram, dan tak bergejolak.

Suasana kampung berubah begitu budaya kota menghentak masuk. Hal-hal yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme pun tak ayal masuk kampung. Akhirnya sikap warga di beberapa kampung pun telah terdistorsi. Bahkan, sistem kepercayaan dalam pergaulan kampung pelan-pelan mulai terkiskis. Beberapa tokoh dari kampung yang tadinya bertangan bersih, mulai berani bertangan kotor. Alasan yang belakangan ngetrend adalah “tak mungkin menghindari tindakan maling kalau hidup di kampung maling”.

Lantas, bagaimana cara berbenah kembali membebaskan kampung-kampung itu dari tangan-tangan kotor orang-orang yang bermental maling? Jawabannya, mungkin, harus ada gerakan kampungisasi. Orang-orang yang telah menjadi elite itu segera dilengserkan kembali lantas hidup dari awal lagi bersama warga kampung yang masih bersahaja, sederhana, apa adanya. Hidup tanpa embel-embel menjadi “munafik”. Barangkali kejujuran akan kembali pulih begitu orang-orang yang telah menjadi elite (dengan segala keserakahannya itu) hidup bersama di tengah orang-orang yang lugu dan jujur.

Mungkin, gejolak PWNU Jawa Tengah adalah potret elite NU secara nasional. Ketika Rais Aam PBNU Dr KHMA Sahal Mahfudh melepaskan kegundahannya pada Konferensi Wilayah ke-13 PWNU Jawa Tengah di Pesantren Alhikmah 2 Desa Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, 11-13 Juli lalu, bisa jadi merupakan bom waktu di mana anomali-anomali struktural maupun gerakan politik terselubung mulai terkuak oleh publik. Kiai Sahal tiba-tiba bertentangan dengan arus yang berkembang di level pengurus wilayah.

Berbagai komentar miring tentang para pimpinan NU muncul dari Kiai tersohor ini, sampai-sampai beliau menolak namanya dicantumkan sebagai Mustasyar PWNU Jawa Tengah 2008-2013. Ungkapan beliau yang mengatakan tidak ada manfaat jika berada di Mustasyar, maupun ungkapannya bahwa NU telah kehilangan idealismenya dan hanya menjadi pembenar pikiran pimpinan yang penuh syahwat politik praktis, menimbulkan spekulasi sangat luas.

Kenapa Kiai santun itu berkata dengan konotasi keras? Ini tak mungkin terjadi hanya karena terpantik kasus kecil. Pasti ada kasus besar yang melatarbelakangi kemarahan Kiai Sahal. Apa yang dia ungkapkan merupakan indikasi kuat bahwa para elite NU sudah melakukan penyelewengan dan penyimpangan.

Mungkin virus politik yang telah menyebabkan friksi-friksi di tubuh NU itu yang ingin dibasmi oleh Kiai Sahal. Friksi-friksi itu muncul dari kalangan struktural yang secara pribadi melakukan politisasi NU dalam pilkades, pilkada, pemilu legislatif dan pilpres. Mereka menggunakan NU sebagai alat menggolkan tujuan politik.

Akibatnya, meskipun NU secara institusional bukan partai politik, keterlibatan elite NU secara pribadi atau kelompok dengan membawa simbol-simbol ormas dalam ajang dukung-mendukung dan tim sukses telah menyeret NU dalam kancah politik praktis. Ketika tim sukses melibatkan pribadi pimpinan NU, maka disadari atau tidak, institusi ini dibawa masuk ke kancah politik kekuasaan.

Apa yang terjadi di PWNU Jawa Tengah mestinya menjadi pijakan bagi seluruh institusi NU secara nasional, agar melakukan introspeksi dan restrospeksi menuju fungsionalisasi institusi dalam kancah sosial keberagamaan yang benar. Para elite NU, mulai dari tingkat ranting hingga pengurus besar, perlu melakukan penyembuhan diri dari berbagai penyakit akibat tidak mampu mengendalikan nafsu politik. Caranya mudah, belajarlah pada warga NU di kampung-kampung itu! [OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 110, 28 Juli-3 Agustus 2008]


Label:

0 komentar: