Bulan Muharram Bulan Cinta

Musik kasidah mengalun pelan hamper sepanjang hari di rumah Kiai Nuri. Syair-syair lagu bertema mahabbah (cinta kasih) it uterus mengumandang di hari pertama bulan Muharram. Setiap tahun, tepat pada tanggal 1 Muharram, keluarga Kiai Nuri hampir selalu memperingati datangnya tahun baru Hijriyah.

Cara memperingatinya berbeda dengan kebiasaan orang ketika menyambut datangnya tahun baru Masehi. Di sini, tak ada petasan, tak ada balon, tak ada terompet, tak ada alcohol. Di balik sayup-sayup suara kasidah, keluarga besar Kiai Nuri secara berkelompok berzikir, mengevaluasi diri terhadap aktivitas pada tahun yang baru saja ditinggalkan, dan bermahabbah kepada Allah.

Menurut Kiai Nuri, mahabbah adalah cinta kepada Allah. Di dalamnya terkandung arti patuh kepada Allah dan menjauhi sikap melawan kepada-Nya; menyerahkan seluruh diri kepada Sang Kekasih; mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Yang Dikasihi. Seorang sufi dari Bagdad, Muhammad bin Ali al-Kattani, mengatakan, mahabbah adalah menyukai yang disenangi Allah dan segala sesuatu yang dating dari Allah.

Di hari-hari Raisul ‘Am al-Hijriyyah itu (bulan utama tahun Hijriyah, bulan Muharram), sepanjang waktu Kiai Nuri hanya berzikir kepada Allah. Ia memimpin keluarga dan beberapa muridnya untuk berzikir sepanjang hari. Harapannya, agar aktivitas hidup di hari-hari berikutnya kian terang. Cintanya kepada Allah menular kepada sesama manusia dan makhluk lain ciptaan-Nya. Baginya, mengisi bulan Muharram dengan mahabbah akan meneguhkan cintanya kepada Sang Khalik dan makhluk-Nya sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, sepanjang usia, sepanjang tergelarnya alam.

Itu sebabnya, Muharram merupakan bulan yang disucikan. Karena itu, pelajarilah sejarahnya. Di bulan Muharram, ada hari Asyura’ yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, yang menurut kalangan Suni merupakan “hari raya derma”, sementara kalangan Syi’i memandang hari Asyura’ sebagai puncak duka cita ketika terjadi pembantaian atas diri Imam Husain Alaihis Salam, cucunda Rasulullah Saw. Kedua cara pandang itu sama-sama mengandung cinta. Pandangan pertama mengaplikasikan cinta dengan berderma, sementara pandangan kedua mengimplementasikan cinta dengan mengenang kesyahidan.

Nah, andai bangsa ini mau mengisi hari-hari dengan cinta, niscaya tragedi Aceh segera terhenti; konflik Maluku, Poso, dan Papua, segera sirna pula. Namun, semua terpulang pada diri kita. Masihkah kita punya cinta? [Alkisah No. 04/ 16-29 Februari 2004 – 24 Dzulhijjah 1424-8 Muharram 1425]


Label:

0 komentar: