Menuju Zaman Kalasuba

Zaman carut marut. Tata hukum, tata kenegaraan, dan tata pembangunan amburadul, lantas melahirkan kalatida dan kalabendu. Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan, perbedaan benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tidak adil, tak digubris. Kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan didewakan.

Coba simak peristiwa demi peristiwa korupsi (juga kolusi dan nepotisme) yang melilit negara Indonesia ini, tak kunjung berhenti. Yang terjadi justru, cenderung menyeruak ke segala ranah kepentingan: dari kepentingan memperkaya diri (keluarga dan kerabat), menyumbang partai politik, hingga bisnis! Karena itu praktik korupsi kerap berjalin berkelindan dengan pelibatan orang secara berjamaah, serta menjangkau ke lintas profesi dan kelembagaan.

Lihat saja kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang melibatkan banyak orang, profesi dan lembaga. Begitu pula dengan korupsi menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan kasus-kasus korupsi lainnya. Kisah kasus korupsi ini juga pernah melanda Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Namun yang masih hangat adalah kejahatan korupsi yang membuka borok lembaga legislatif.

Setelah Al Amin Nur Nasution (kasus alihfungsi lahan) dan Bulyan Royan (kasus lelang pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut) menjadi tersangka korupsi, kasus lainnya terungkap. Sedikitnya, sebagaimana kesaksian Hamka Yandhu di depan persidangan, 52 anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX pada periode 1999-2004 terlibat korupsi: yakni menerima duit dari aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR.

Tampaknya korupsi telah melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat dan para penyelenggara negara di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para penyelenggara negara kerap menciptakan sistem yang menguntungkan dirinya sendiri demi melanggengkan kekuasaan. Di sisi lain masyarakat dipaksa menanggung akibat dari sistem yang mereka ciptakan. Akibatnya, masyarakat terperangkap di dalam sistem yang dikuasai oleh orang-orang yang korup. Nah, jika dari jajaran Rukun Tetangga (RT) hingga lembaga kepresidenan (serta lembaga yudikatif dan legislatif) diisi oleh aparat-aparat yang korup, maka praktik korupsi merajalela di setiap strata lembaga pemerintahan.

Sepertinya, pada tatanan penyelenggaraan negara, korupsi menjalar mulai dari level lembaga tinggi negara hingga level terendah. Sebagian besar aparat negara sudah terkontaminasi praktik korupsi, secara terang-terangan maupun terselubung. Sementara itu, berkembangnya korupsi juga didukung oleh berbagai kepentingan masyarakat yang memberi ruang tumbuh suburnya praktik korupsi. Bagi sebagian orang, menyogok aparat telah menjadi keseharian dan budaya yang wajar untuk dilakukan.

Inikah zaman edan? Seperti tersurat dalam karya sastra tembang “Sinom” dalam “Serat Kalatida” bab 8: //Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ melu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya kaduman melik/ kaliren wekasanipun// Ndilallah karsa Allah/ Sakbeja-bejane kang lali/ luwih beja kang eling lawan waspada// (Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak, ikut gila tidak tahan, jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik, akhirnya menjadi ketaparan. Namun dari kehendak Allah, seuntung-untungnya orang yang lupa diri, masih lebih berbahagia orang yang ingat dan waspada).

Isyarat dari Raden Ngabehi Ronggowarsito perlu ditilik bahwa bangsa Indonesia harus bersikap waspada menghadapi kalatida dan kalabendu. Tokoh yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan “warisan piwulang yang sangat berharga” berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estetika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya dan teologi, mendudukkannya sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.

Ramalan R. Ng. Ronggowarsito yang terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 Jawi atau 1802 Masehi, putra dari RM. Ng. Pajangsworo, ternyata terjadi sekarang ini dan mungkin juga nanti, kalau zaman kalatida-kalabendu tak kunjung berujung pada lahirnya zaman kalasuba. Kalasuba adalah zaman stabilitas dan kemakmuran.

Menuju Zaman Kalasuba
Masyarakat tahu bahwa lembaga-lembaga kenegaraan, seperti lembaga kepresidenan, kabinet, DPR, dan peradilan, tak bersih dari korupsi. Betapa canggihnya para pelaku korupsi dengan predikat pejabat negara memindahkan uang rakyat yang terkumpul melalui pajak atau retribusi ke kantung-kantung mereka. Belum lagi uang-uang lain yang berasal dari pinjaman, atau bantuan dari negara-negara lain. Bagaikan mencari jarum di dalam tumpukan jerami, sulit menemukan aparat yang bersih.

Tak berlebihan kalau ada anggapan bahwa perilaku korup sudah ada bersama dengan adanya kekuasaan dalam masyarakat. Karena kekuasaan itu dianggap bersifat korup, dengan sendirinya orang yang mempunyai kekuasaan akan sama saja. Tak heran jika kemudian ada orang yang menganggap bahwa kecenderungan korupsi yang ada dalam diri aparat selama ini muncul karena mereka mempunyai kekuasaan untuk melakukan itu.
Kekuasaan pula yang membuat aparat yang korup menjadi kebal hukum. Mungkin ini salah satu sifat dari kekuasaan dan pemegang kekuasaan di negeri ini yang bisa berbuat apa saja tanpa harus merasa takut dengan hukum. Dampaknya, aparat hukum menjadi mandul ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. Kalaupun terjadi keputusan hukum, paling-paling hukumannya ringan, atau dibebaskan dengan berbagai alasan. Bagaimana tidak, citra mereka selama ini jauh dari yang diharapkan masyarakat.
Untuk itu, janganlah menyerah pada kekuasaan yang korup. Jadikan kekuasaan itu untuk menyejahterakan dan memakmurkan sang pemegang kedaulatan. Mereka adalah rakyat! yang sungguh-sungguh memiliki kekuasaan. //Wis wayahe ana presiden utama/ wakil presiden linuwih/ pra nayaka tyas raharja/ panekare becik-becik..// (Sudah saatnya ada presiden yang baik, wakil presidennya cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik..)
Jika para pemimpin itu dapat dipercaya, memegang janji-janjinya ketika membujuk rakyat agar dapat menaiki singgasana, maka zaman kalasuba akan segera datang. Andai zaman kalatida-kalabendu adalah puncak aji mumpung, maka sebagaimana berputarnya roda sejarah –zaman kalasuba hampir tiba: hidup rakyat makmur dan tenteram. Kapan? Mungkin setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk semua koruptor: dari daun, ranting, pohon, hingga ke akar-akarnya! [OI, Perspektif, Tahun III, Edisi 111, 4-10 Agustus 2008]


Label:

0 komentar: