Buruh Mbabar Juga Bikin Batik Cap Duit

Menyiasati keberlanjutan usaha, juragan batik di Pekalongan terus berproduksi. Anjloknya permintaan pasar karena pasar utama di Tanah Abang “diberangus” dan harga bahan baku perbatikan terus menanjak, tak membuat mereka putus asa. Sebab orang-orang yang bermental majikan ini, tiada guna jika harus menyerah menjadi kuli. Setidaknya, mereka tetap menjadi majikan meski status usahanya adalah buruh mbabar (juragan batik yang hanya menerima order produksi batik tanpa mengurusi pemasaran).

Salah seorang juragan batik yang kemudian memilih jadi buruh mbabar adalah Haji Wardi, biasa disapa Kaji Wardi. Sejak pasar Tanah Abang --salah satu pasar utama batik Pekalongan—“terbakar” pada 2003 dan berganti menjadi kompleks pertokoan mahal, kelas juragan seperti Kaji Wardi pelan-pelan mulai mengurangi perannya memasok batik ke Tanah Abang. Alasannya, pertama, permintaan pasar di pusat grosir batik itu melorot tajam sebab para pemilik toko yang rata-rata pribumi itu tak lagi berjualan. Umumnya mereka tak mampu menyewa toko-toko baru pasca kebakaran. Kedua, suasana hubungan bisnis berubah –tak lagi ramah, begitu Tanah Abang didominasi oleh orang-orang baru yang tak dikenal.

Ketika itu, Kaji Wardi baru dua tahun menjadi juragan batik, yang memproduksi dan memasarkan sendiri batiknya. Dengan modal awal Rp 10 juta pada 2001, ia sudah mengumpulkan omset Rp 100 juta pada 2003. Namun, tragedi pasar Tanah Abang membuat Kaji Wardi memilih memproduksi saja tanpa mengurusi pasar. Orang Pekalongan biasa menyebut model juragan ini dengan “Buruh Mbabar” atau “Juragan Buruh”.

Kini, Kaji Wardi mampu memproduksi 1.000 stel per minggu atau 4.000 stel dalam sebulan. Ongkos produksi per stel adalah Rp 22.500,- dengan keuntungan bersih Rp 2.500 per stel. Itu berarti omset yang berputar adalah Rp 90 juta per bulan, dengan keuntungan rata-rata Rp 10 juta per bulan. Omset per tahun mecapai Rp 500 jutaan. “Menjadi buruh mbabar juga bisa eksis seperti juragan beneran yang sukses,” ujar Wardi kepada OpiniIndonesia, Selasa pekan lalu.

Mantan TKI, yang menjadi sopir di Arab Saudi selama empat tahun ini pun tak peduli dengan soal status: buruh mbabar atau juragan beneran. Bagi Kaji Wardi, “Yang penting kita sama-sama bikin batik cap duit!” guraunya.

Namun, maksud dia adalah bahwa rata-rata juragan yang bergerak di jalur “batik cap” sama seperti dirinya, berusaha keras memproduksi batik dengan mutu tinggi dengan pendapatan lumayan: batik cap duit!

Apa pun status kelas sosial juragan, keberadaan buruh mbabar sebenarnya sama-sama ikut serta mengangkat ekonomi rakyat di kampungnya. Seperti Kaji Wardi, setidaknya sekitar 20 orang di Desanya, Tanjung, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, bekerja dan menggantungkan pendapatan ekonomi dari usaha Kaji Wardi. Mereka bekerja sebagai tukang ngeCap, membatik, nyolet, nglorod, hingga melempit batik. Rata-rata penghasilan mereka juga lumayan, bisa mencapai Rp 1-1,5 juta per bulan.

Kaji Wardi memproduksi batik jenis sutra, paris dan serat nanas. Batik sutra diminati orang-orang kota besar, sedangkan batik paris dan serat nanas umumnya laku di pasaran Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa Timur. Seperti lazimnya batik Pekalongan, batik produksi Kaji Wardi juga tak hanya di dalam negeri, tetapi juga terkenal di mancanegara.

Batik Pekalongan sejak lama diekspor ke sejumlah negara, antara lain Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sedemikian terkenalnya batik dari Pekalongan, Jawa Tengah, sehingga jenis batik ini tidak berhenti hanya menjadi hasil kegiatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi ikon wisata.

Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil seperti Kaji Wardi, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.

Inilah istimewanya (sakpore), batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik Pekalongan adalah nafas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.

Batik Hokokai, SBY, Hingga Tsunami
Anak-anak sedang bermain di sebuah sekolah dasar di Simbang Kulon, Buaran, Kabupaten Pekalongan. Mereka berseragam pramuka, bersarung batik dan memakai kopiah. Sebuah gambaran yang pas di Pekalongan. Sebab Pekalongan memang gudangnya produksi batik yang indah dan dinamis.

Lantas, bagaimana proses pembuatan batik tersebut? Secara umum proses pembuatan batik melalui 3 tahapan yaitu pewarnaan, pemberian malam (lilin) pada kain dan pelepasan lilin dari kain.

Kain putih yang akan dibatik dapat diberi warna dasar sesuai selera atau tetap berwarna putih sebelum kemudian diberi malam. Proses pemberian malam dapat menggunakan proses batik tulis dengan canting tangan atau dengan proses cap. Pada bagian kain yang diberi malam maka proses pewarnaan pada batik tidak dapat masuk karena tertutup oleh malam (wax resist). Setelah diberi malam, batik dicelup dengan warna. Proses pewarnaan ini dapat dilakukan beberapa kali sesuai keinginan, berapa warna yang diinginkan.

Jika proses pewarnaan dan pemberian malam selesai maka malam dilunturkan dengan proses pemanasan. Batik yang telah jadi direbus hingga malam menjadi leleh dan terlepas dari air. Proses perebusan ini dilakukan dua kali, yang terakhir dengan larutan soda ash untuk mematikan warna yang menempel pada batik, dan menghindari kelunturan. Setelah perebusan selesai, batik direndam air dingin dan dijemur.

Batik Pekalongan adalah batik pesisir yang paling kaya warna. Sebagaimana ciri khas batik pesisir, ragam hiasnya bersifat naturalis. Dibanding dengan batik pesisir lainnya, batik Pekalongan sangat dipengaruhi pendatang keturunan Cina dan Belanda. Motif batik Pekalongan sangat bebas, dan menarik, meskipun motifnya terkadang sama dengan batik Solo atau Yogya, seringkali dimodifikasi dengan variasi warna yang atraktif. Tak jarang pada sehelai kain batik dijumpai hingga 8 warna yang berani, dan kombinasi yang dinamis. Motif batik Pekalongan yang paling populer adalah batik Jlamprang.

Keistimewaan batik Pekalongan adalah, para pembatiknya selalu mengikuti perkembangan zaman. Misalnya pada waktu penjajahan Jepang, maka lahir batik dengan nama ’batik Jawa Hokokai’, yaitu batik dengan motif dan warna yang mirip kimono Jepang. Pada umumnya batik Jawa hokokai ini merupakan batik pagi-sore. Pada tahun 1960-an juga diciptakan batik dengan nama tritura. Bahkan pada tahun 2005, beberapa saat setelah Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, muncul batik dengan motif ‘SBY’ yaitu motif batik yang mirip dengan kain tenun ikat atau songket. Motif yang cukup populer belakangan ini adalah motif Tsunami. Orang Pekalongan memang tidak pernah kehabisan ide untuk membuat kreasi motif batik. [OI, Profil Usaha, Edisi 095, 14-20 April 2008]


Label:

0 komentar: