Kuda Lumping: Dari Kediri Diminati Seantero Negeri

Kesenian kuda lumping tak lekang oleh zaman. Sejak masa kerajaan Majapahit keberadaan seni tradisi asal Kediri ini terus tumbuh dan berkembang. Seluruh kawasan ibu pertiwi dan negeri-negeri Melayu mengenalnya lalu membentuk grup kuda buatan ini.


Puluhan orang mengangkat tinggi-tinggi kuda lumping yang dipegang erat tangan masing-masing para pemain itu. Lalu, secara serempak mereka menurunkan kuda lumpingnya masing-masing yang hampir menyentuh tanah. Episode menunggangi kuda lumping-kuda lumping yang dihias berwarna warni yang menimbulkan kesan garang, juga eksotik, itu pun dimulai. Sementara musik gamelan yang dilengkapi alat musik semacam kempling, kendang, rebana, kecrik, suling –hampir selengkap musik campusari, mengiringinya penuh warna: bervariasi serta mengalun dari nada rendah hingga nada paling tinggi.

Barisan kuda lumping yang berjumlah puluhan itu dengan cekatan berjingkrak-kringkrak mengikuti langkah atraktif para penunggangnya. Meringkik, meronta-ronta, mengangkat tinggi-tinggi kedua kakinya ke arah penonton yang berjubel lalu lari sekencang-kencangnya berputar-putar bagai di arena balapan kuda: dinamis dan penuh gaya, seperti saat menikung dengan kemiringan yang hampir menyentuh tanah. Lantas, perlahan-perlahan kecepatan dikurangi: berhenti, menyeringai dan mengangkat kembali kedua kakinya tinggi-tinggi menyalami penonton.

Atraksi kuda lumping bersama para penunggangnya pun usai. Tetapi atraksi berikutnya tak kalah seru. Dengan tanpa melibatkan kuda lumping-kuda lumping, para penungggang beratraksi akrobatik. Para penunggang yang tampil garang dan juga eksotik itu beratraksi layaknya pemain pencak silat yang piawai: dengan posisi kuda-kuda yang kokoh, kedua tangan menggerakkan jurus-jurus silat dari memukul, menangkis, dan mematikan jurus lawan, sampai melepas posisi kuda-kuda di kedua kaki lantas menendang dalam berbagai jurus dan seolah bercanda dengan memainkan gerak-gerik kepala dan mata yang memandang tajam.

Suara musik gamelan kian bernada tinggi, menghentak, memompa semangat, membawa ke aura spritualitas. Kala itu para aktor dan aktris kuda lumping mengambil tampah berisi tumpukan beling lalu dima­kannya: lahap bagai orang kelaparan, hingga tampak kesurupan! Atawa benar-benar kesurupan sebab usai makan beling, permainan itu menjadi, meringis lalu diteruskan dengan menyemburkan api yang menyala berkobar-kobar dari mulut! Mungkin trance. Lunglai sejenak, terus mencapailah kembali pada kondisi normal: mengokop air di ember dan berakhir dengan menyemburkan usap dari mulut. Wus! Semuanya mengalir hingga pada satu titik. Kesem­purnaan!

Itulah pesona kesenian kuda lumping yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Minggu pekan lalu, atas prakarsa Sanyuri (Santi Paguyuban Kediri). Oleh sebab itu, seluruh pemain kuda lumping didatangkan langsung dari Kediri, Jawa Timur.

Orang Kediri boleh berbangga. Salah satu kekayaan tradisi warisan nenek moyangnya, kuda lumping –yang pernah dimainkan 350 penari sekaligus dan menyabet MURI--merambah ke seantero ibu pertiwi: di pulau Jawa-Bali hampir merata, begitu juga di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua serta negeri-negeri Melayu semacam Malaysia.

Tumbuh kembang kuda lum­ping di seantero negeri Indonesia dan negeri-negeri Melayu lainnya, meng­enspirasi Rhoma Irama membuat lagu kuda lumping. //..Itu kuda lumping/ kuda lumping/ kesurupan// Itu kuda lumping/ kuda lumping/ lompat-lompatan..// Iwan Fals dengan lagunya, //..Kuda lumping nasibnya nungging/ Mencari makan terpontang panting/ Aku juga dianggap sinting/ Sebenarnya siapa yang sinting?..//

Sementara kelompok band Naif, membuat buku dengan judul “Kenapa Kuda Lumping Makan Beling?” Judul buku perdana Naif itu merupakan salah satu dari 62 daftar pertanyaan yang diajukan kepada para personelnya. Coba simak jawaban David (vokal) ketika ditanya, kenapa kuda lumping makan beling?: “Kedengarannya enak, berirama. Bisa juga sih, kuda lumping makan emping. Tapi siapa yang mau nonton, kalau cuma makan emping.” Nah, seni pertunjukan memang butuh eksotika: aneh-aneh dan luar biasa![Budaya » Edisi 103 / Tahun II / Tanggal 9 Juni - 15 Juni 2008]

Label:

0 komentar: