Menyangkal Sebutan "Sarang Korupsi"

Tersinggung. Kata itulah mungkin yang cocok dialamatkan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat. Kalau tidak semua, setidaknya untuk beberapa anggota DPR, yang tersinggung oleh bait lagu yang dinyanyikan Slank berikut ini://Mau tau gak mafia di senayan/ Kerjanya tukang buat peraturan/ Bikin UUD ujung-ujungnya duit//

Lagu yang dirilis pada 2004 itu mengoyak hati para wakil rakyat di Senayan, hingga sempat terlontar bahwa politisi DPR bakal menggugat Slank. Untunglah rencana menggugat itu padam, dan Slank tak perlu direpotkan wira-wiri ke pengadilan.

Tersinggung. Mungkin kata itu pula yang dapat mewakili sikap beberapa anggota DPR yang menolak kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Senayan menggeledah ruang-ruang wakil rakyat yang ditengarai berbau korupsi: dari ruang kerja anggota Komisi IV Al Amin Nasution sampai ke ruang kerja 10 anggota DPR lainnya.

Penolakan ini menimbulkan tanda tanya: mengapa sikap pimpinan, fraksi, Komisi III, dan Badan Kehormatan (BK) DPR, mendukung Ketua DPR Agung Laksono yang melarang KPK menggeledah DPR? Padahal mereka juga tahu bahwa menolak KPK berarti melanggar hukum. Sebab, sikap ketua DPR itu sama saja dengan upaya melindungi anggotanya yang terlibat dalam kasus suap. Bukankah Undang-Undang yang dibuat DPR itulah yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penggeledahan?

Coba simak pasal 21 UU No. 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).”

KPK bisa menggunakan instrumen hukum yang ada untuk melakukan penggeledahan, tak terkecuali terhadap lembaga DPR.

Mestinya, kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR itu justru dijadikan momen bagi lembaga DPR untuk menepis tudingan “korup”. Menyangkal sebutan “sarang korupsi” akan lebih mudah jika lembaga wakil rakyat ini membukakan pintu lebar-lebar buat KPK.

***

Prestasi DPR RI di mata dunia internasional belum beranjak dari soal korupsi. DPR dinobatkan sebagai lima besar lembaga parlemen internasional paling korup dengan indeks persepsi korupsi 4,2 pada 2006. Lima besar parlemen terkorup internasional adalah Paraguay (4,6), Taiwan (4,5), Panama (4,3), Indonesia (4,2) dan Kamerun (4,2). Transparansi Internasional Indonesia (TII) juga menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Dengan indeks persepsi korupsi 4,2, DPR ditetapkan sebagai sarang korupsi di Indonesia. Dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain, korupsi DPR dinobatkan sebagai yang tertinggi.
Lembaga-lembaga lain di Indonesia yang menyusul prestasi buruk DPR dalam hal korupsi adalah peradilan (4,2), kepolisian (4,2), partai politik (4,1), perizinan/regristrasi (3,6), pajak (3,4) militer/TNI (3,3) pendidikan (3,3) dan kesehatan (3,0). Lembaga dengan indeks 3 hingga 5 disebut sebagai sarang korupsi.
Negara sebesar Indonesia kalah jauh dengan Singapura, yang besarnya satu atau dua kabupaten di Bali. Singapura merupakan negara terbersih di dunia dengan rata-rata indeks persepsi korupsinya sekitar 2,0. Parlemen Singapura saja mendapatkan indeks 1,8 jauh sekali jika dibandingkan dengan parlemen Indonesia yang 4,2 atau DPR Amerika Serikat (3,9). Partai politik Singapura (2,1) tergolong bersih jika dibandingkan dengan partai politik di AS mendapatkan indeks 4,3.
Baru-baru ini Prof Dr Amien Rais merasa yakin bahwa pusat korupsi berada di jantung kekuasaan, yaitu istana. “Istana bukan bagian dari solusi, istana adalah bagian dari masalah korupsi. DPR yang berdekatan dengan jantung kekuasaan juga merupakan sarang korupsi.” Jadi, kalau DPR menghalang-halangi KPK menggeledah kantor wakil rakyat itu, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif.
Sejak kasus-kasus dugaan korupsi anggota DPR mendapat giliran untuk dibongkar, lembaga wakil rakyat itu seolah mulai garang dan mudah tersinggung. Menghadapi masalah “korupsi” menyangkut politisi Senayan, para anggota DPR itu langsung bersuara “tak percaya”. Dimulai dari Al Amin Nasution (FPPP) dalam kasus alihfungsi lahan Bintan, serta Saleh Djasit (FPG) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pemadam kebakaran di Provinsi Riau, Hamka Yandhu (FPG) dan Anthony Zeidra Abidin (mantan FPG yang kini menjabat wakil gubernur Jambi) terkait dugaan kasus aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR pada 2003.
Dari berbagai kasus yang terungkap, banyak aliran dana menuju DPR dan dinikmati sejumlah anggotanya. Salah satu yang tergolong besar adalah aliran dana BI. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikirim kepada KPK pada November 2006 menyebut aliran dana BI sebesar Rp100 milyar.
Berdasarkan audit BPK, kasus aliran dana BI menunjukkan secara nyata telah terjadi gratifikasi. BPK menemukan korelasi antara pihak pemberi dan tujuan atau motivasi pemberian itu kepada para anggota DPR yang justru sedang melakukan revisi Undang-Undang BI. Dalam kasus ini, Ketua BK DPR Irsyad Sudiro (FPG) berniat menutup kasus dugaan aliran dana BI itu karena pihak pelapor tak menyebutkan anggota DPR yang diduga menerima.
KPK sebagai instrumen penting penegak hukum yang dapat dipercaya untuk membongkar korupsi, khususnya yang diduga banyak terdapat di DPR, harus mampu membuktikannya kepada masyarakat.
***
Mungkin sudah saatnya label wakil rakyat dipertanyakan kembali kepada para anggota DPR. Sebab bukan saja mereka telah mengabaikan amanah yang diberikan sang empunya kedaulatan Republik Indonesia, tetapi lebih jauh mereka telah “menjual” rakyat untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mengumpulkan suara rakyat hingga duduk di Senayan --bukan untuk membela kepentingan pemilihnya, melainkan semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri mengumpulkan pundi-pundi (dan tentu saja dengan menipu rakyat).
Jadi, bagaimana langkah membersihkan lembaga DPR dari tangan-tangan kotor para anggotanya? Beberapa langkah konkret mendesak diambil terutama ketika kita sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama bagi bangsa ini dan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak terampuni.
Dalam rangka membantu memerangi korupsi yang kian menggurita (termasuk di lembaga DPR), maka cara yang pernah diusulkan Masdar Hilmy, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, perlu ditempuh. Pertama, jalinan sinergi sosial untuk memerangi korupsi harus dikembangkan secara lebih masif di tingkat nonstruktural. Kedua, merangkai sistem teologi baru yang lebih aksiologis, yakni jihad melawan korupsi di seluruh jenjang dan lini kehidupan, yang dimaksudkan memberi basis normatif yang jelas dan terarah.
Ketiga, langkah diseminasi doktrin jihad melawan korupsi harus dikorporasikan dengan pranata strategis kelembagaan agar bisa diakses seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah, sebab pendidikan adalah langkah efektif membangun peradaban. Keempat, membangun personifikasi atau pencitraan kesyahidan baru yang relevan dengan tuntutan pemberantasan korupsi. Kalau perlu, seluruh elemen masyarakat mendesak agar negara mengangkat para mujahid yang mati dalam memberantas korupsi sebagai pahlawan nasional, serta menerapkan capital punishment bagi para koruptor kakap.
Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, pemberantasan korupsi hanya bisa berhasil melalui cara-cara yang luar biasa pula. Sebab masyarakat mulai meragukan cara-cara struktural yang justru terkesan kian menumbuhsuburkan perilaku korupsi. Menurut catatan TII, 68 persen masyarakat Indonesia tak percaya pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif. Lantas, apakah doktrin jihad melawan korupsi lebih ampuh memberantas korupsi?
Jawabannya, kalau pikiran semua rakyat menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, barangkali para politisi di Senayan juga akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Dan insya Allah, ampuh, orang-orang yang duduk di lembaga DPR itu akan menyangkal sebutan “sarang korupsi” dengan menghindari korupsi![Perspektif » Edisi 97 / Tahun II / Tanggal 28 April - 2 Mei 2008]

Label:

0 komentar: