Calon Perseorangan: Kabar Baik, Sabar Menunggu

Gol! Itulah kabar baik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang telah menggolkan calon perseorangan dapat bertarung menjadi kepala daerah. Itu berarti, pencalonan kepala daerah tidak lagi dimonopoli partai politik. Bahkan, lebih dari itu incumbent harus mengundurkan diri dari jabatannya pada saat pendaftaran calon.

Calon perseorangan dan incumbent masuk pada perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan telah disetujui DPR dan pemerintah. Selebihya, tinggal menunggu tandatangan presiden.

Perubahan UU No. 32/2004 membuka lembaran baru. Adanya calon perseorangan dalam pilkada, maka tanpa partai politik seseorang bisa mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur, bupati atau wali kota.

Namun begitu, tidak mudah menjadi calon perseorangan, karena persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain memeroleh dukungan minimal antara 3-6,5 persen dari jumlah penduduk. Hitung-hitungannya: untuk pemilihan gubernur, jumlah penduduk sampai dengan 2 juta maka calon perseorangan harus mendapat dukungan 6,5%, 2-6 juta (5%), 6-12 juta (4%), di atas 12 juta (3%). Untuk pemilihan bupati atau walikota, jumlah penduduk sampai dengan 250 ribu, maka calon perseorangan harus mendapat dukungan 6,5%, 250-500 ribu (5%), 500 ribu-1 juta (4%), dan lebih dari 1 juta (3%).

Sebuah syarat yang mengandung modal sosial yang tidak otomatis dimiliki calon yang diusung partai politik. Untuk mendapatkan jumlah dukungan itu jelas diperlukan jaringan, kerja keras, dan kemampuan membujuk rakyat. Bukan urusan gampang, tetapi sekali diperoleh dukungan itu, sedikit atau banyak, di sana ada segenggam kepercayaan. Dan bagi seorang tokoh populer dan memiliki basis massa banyak, bisa jadi tak sulit memeroleh dukungan.

Sebaliknya, calon kepala daerah yang diajukan partai politik, bisa dikatakan merupakan hasil pilihan elite partai. Bahkan, tidak jarang hasil pilihan dewan pimpinan pusat (DPP) partai yang berdomisili di Jakarta, yang jauh dari daerah pilkada.

Pertarungan menjadi kepala daerah juga bakal kian seru dan menarik, sebab jumlah suara sah yang harus diperoleh untuk menjadi kepala daerah terpilih dinaikkan dari 25% menjadi minimal 30% dari suara sah. Mencari tambahan 5% dari suara sah tentu bukan perkara mudah. Hal itu mengakibatkan, putaran pilkada tak cukup sekali jika pada putaran pertama tak ada calon yang mendapatkan suara 30%.

Calon Perseorangan Harus Bersabar
Kabar baik tentang diakomodirnya calon perseorangan dalam pilkada memerlukan kesabaran. Di tengah riuhnya pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Tengah, sepasang calon perseorangan yang mendaftar ke KPUD ditolak. Sri Susaid (asal Pati) dan Sujianto (Sragen) sebagai pasangan calon gubernur-wakil gubernur perseorangan itu pun gagal, tak terdaftar.

Khawatir bernasib sama dengan pasangan calon perseorangan yang ditolak di Jawa Tengah, memicu masalah di sejumlah daerah. Misalnya, Koalisi Calon Perseorangan Bali Nusa Tenggara atau KCPBN di Bali bersikukuh meminta agar Pilkada Bali yang dijadwalkan 9 Juli mendatang ditunda. Tuntutan mengundurkan jadwal pilkada juga muncul di Kota Bandung, Jawa Barat. Walhi Jabar meminta KPU Kota Bandung menunda pilkada sehingga calon perseorangan bisa terakomodasi.

Padahal, setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk ikut serta dalam pilkada sejak keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi 23 Juli 2007. ”Untuk menghindari kekosongan hukum (rechts-vacuum) sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, Mahkamah berpendapat bahwa KPU berdasarkan Pasal 8 Ayat (3) huruf a dan huruf f UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum berwenang mengadakan pengaturan atau regulasi tentang hal dimaksud dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggaraan Pilkada. Dalam hal ini, KPU dapat menggunakan ketentuan Pasal 68 Ayat (1) UU Pemerintahan Aceh sebagai acuan.”

Apalagi, sekarang ini, setelah revisi UU No. 32/2004 disahkan DPR, dan pengesahan presiden bukan lagi perkara mutlak. Soalnya, konstitusi hasil amendemen mengatakan sekalipun rancangan UU yang telah disetujui tidak disahkan presiden, dalam tempo 30 hari sejak RUU disetujui, maka RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Karena itu, adalah sebuah kepastian hukum adanya calon perseorangan dalam pilkada.

Dengan demikian, calon perseorangan dalam pilkada di sejumlah daerah bisa segera diakomodasi. Setidaknya, untuk penyelenggaraan pilkada yang pendaftarannya masih berlangsung pada 1 Mei 2008. Akan lebih menarik, jika KPUD yang menggelar pilkada 2008 mau merevisi tahapan pilkada, termasuk pendaftaran calon.

Masalahnya kalau permainan partai politik yang diwakili orang-orangnya yang duduk di DPR memaksa bahwa revisi UU No. 32/2004 harus ditindaklanjuti dengan merevisi PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka bisa jadi tak ada calon perseorangan yang maju ikut serta dalam pilkada 2008. Lebih-lebih, jika KPU memaksakan pula membuat aturan pelaksanaan dan sosialisasi. Maka, molor sudah pasti. Dan, entah sampai kapan calon perseorangan harus bersabar! [OI, Perspektif, Edisi 094, 7-13 April 2008]


Label:

0 komentar: