Benang Kusut Salah Urus Minyak

Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) memicu “pemberontakan” di kalangan parlemen. Alasannya, kebijakan menaikkan harga BBM telah menimbulkan keresahan dan berpotensi menimbulkan konflik. Beberapa fraksi di DPR seperti FKB, FPDIP, FPAN dan FPDS, mengancam mengajukan hak interpelasi kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lebih jauh, Ketua Umum DPP PKB versi Gus Dur, Ali Masykur Musa, dan Ketua Fraksi PDIP DPR RI Tjahjo Kumolo, meminta MPR berinisiatif menggelar sidang istimewa (SI) meminta penjelasan presiden.

Sah-sah saja hak interpelasi digunakan (tapi untuk SI belum perlu karena SBY belum dapat dikategorikan melanggar UU dan tidak melakukan tindak pidana), namun bukankah pasal 14 APBN Perubahan 2008, pemerintah diberi keleluasaan melakukan berbagai kebijakan tambahan jika harga rata-rata minyak Indonesia (ICP) membengkak di atas 100 dolar AS per barel? Dalam rapat paripurna 9 April 2009 yang membahas tentang APBN Perubahan, semua fraksi juga menyetujui Undang-Undang (UU) APBN Perubahan, untuk mengamankan anggaran belanja negara.

Seperti kata anggota DPR RI Ali Masykur Musa, “Saat ini Indonesia dipimpin pemimpin yang menjadikan aspek untung rugi sebagai frame untuk memimpin. Memimpin berarti berdagang, dan rakyatlah yang menjadi obyek dagangannya. Tidak ada keinginan untuk menyejahterakan rakyat.” Nah, DPR ada di mana? Sebab DPR lah yang membuat UU, menyusun APBN dan melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Jamak diketahui, beberapa anggota DPR juga terlibat korupsi uang negara (uang rakyat)!

Wajar saja suara miring muncul bahwa fraksi DPR yang menolak naiknya harga BBM bertumpu pada kepentingan pencitraan partainya, tidak ada niatan tulus untuk mengubah kondisi rakyat: mengurangi beban kemiskinan. Menjelang pemilu 2009, pura-pura membela rakyat dapat menaikkan popularitas dan syukur-syukur rakyat benar-benar lengah dicuri hatinya.

Di sisi lain keterdesakan pemerintah SBY menaikkan harga BBM didorong oleh agenda liberalisasi atas minyak dan gas. Sebagai boneka dari aktor liberalisasi, seperti lembaga keuangan internasional dan pemodal, SBY telah mendedikasikan sektor migas untuk pasar bebas. Disinyalir, kenaikan harga BBM akan membuka pintu bagi 107 pengusaha swasta asing dan domestik yang sudah memiliki izin prinsip usaha hilir BBM sesuai dengan UU No. 22/2001, di mana 90% usaha hulu (eksploitasi) migas telah dikuasai modal asing. Salah satu paket yang tercantum dalam nota kesepahaman antara Indonesia dan IMF pada 1998 adalah liberalisasi migas.

Sebagai negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC, mestinya kenaikan harga minyak dunia mencapai 126 dolar AS per barel itu justru menguntungkan Indonesia. Tetapi mengapa Indonesia malah limbung: rakyat tetap miskin? Sebuah negara yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa besar tetapi rakyatnya miskin, itu ironi. Akar masalahnya sudah pasti terletak pada kesalahan pengelolaan.

Sementara itu, sebagian besar komposisi anggaran APBN dipergunakan untuk pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri mencapai Rp 94 triliun per tahun, peruntukan obligasi perbankan Indonesia antara lain melalui BLBI Rp 60 triliun per tahun, dan diperuntukkan membiayai kebutuhan birokrasi aparatus negara.

Jadi, bisa disaksikan bahwa para pemimpin (eksekutif dan juga legislatif) telah mengabaikan bahwa negara memberi jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya. Pasal 33 UUD 1945, yang menyebut bahwa “cabang-cabang produksi yang penting dikuasai negara untuk memenuhi hajat hidup orang banyak”, telah diselewengkan.

GERAKAN PERLENTE MENOLAK BLT

Tuntutan menolak bantuan langsung tunai (BLT) mengemuka: dari lurah, bupati, gubernur, pimpinan partai politik, hingga kiai. Tetapi buat rakyat miskin, apa untungnya menolak BLT? Apalagi di saat harga-harga sembako dan sejenisnya cenderung naik. Terbukti, suara penolakan BLT hanya datang dari orang-orang yang umumnya kaya: Pak Lurah, Pak Bupati, Pak Gubernur dan Pak Kiai.

Alasannya macam-macam: dari soal penyaluran BLT 2005 yang dianggap kurang berhasil, membuat sang penerima malas, dan mendidik rakyat menjadi pengemis! Mengenai alasan yang pertama rada masuk akal, sebab menurut laporan pemerintah, pelaksanaan BLT tahun 2005 dan 2006, ada kebocoran 5,83%.

Namun untuk alasan berikutnya bahwa rakyat penerima BLT menjadi malas dan mendidik rakyat bermental pengemis, jelas tak betul argumentasi tersebut. Itu kan argumentasi orang-orang kaya tadi, yang umumnya memang berpendapatan berkecukupan. Orang-orang yang umumnya tak peduli terhadap nasib rakyatnya. Sebab, bukankah pembagian BLT juga menjadi tanggungjawab mereka untuk mengawasinya?

Faktanya, rakyat Indonesia itu beretos kerja tinggi, ulet, dan tak pernah menyerah meski bagi pedagang kecil kerap diusir oleh Satpol PP. Mereka miskin juga bukan karena malas, tapi kemiskinan itulah yang membuat orang-orang tak berpunya itu malas. Jadi struktur ekonomi Indonesia itulah yang membuat mereka itu terdesak dan miskin! Demikian juga dengan mental orang-orang miskin, terbukti baik dan tak pernah menjadi peminta-minta. Siapakah yang sesungguhnya menjadi pengemis? Jawabannya tentu bukan orang miskin! Sebab mereka tak punya ruang untuk melakukan hal itu. Yang bermental pengemis adalah mereka-mereka yang ber-KKN meminta proyek ini itu: dari proyek sosialisasi sampai proyek amunisi.

Karena itu, teriakan-teriakan bahwa BLT lebih cocok dipergunakan untuk proyek padat karya, membantu UMKM, membantu program pembangunan desa, patut dicurigai. Soalnya, dengan pola ini maka pengelolaannya akan jatuh kepada para penolak BLT ini: Pak Lurah dan seterusnya. Dan, mana ada program pemberdayaan rakyat miskin, yang pengelolaannya lewat aparatus Desa atau Kabupaten, berbekas buat si miskin?

Dengan begitu, rakyat miskin tak perlu risau dengan para kepala desa-nya, dengan bupati-nya, dengan gubernur-nya, dengan kiai-nya. Para bupati dan aparatnya sudah banyak mengelola dana-dana besar seperti DAU(Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), PAD (Pendapatan Asli Daerah), bahkan juga PNPM (Program Nasional Pembangunan Mandiri) dan lain-lain, yang tak mampu dikontrol rakyat. Wong umumnya rakyat tak tahu rincian APBD dan penggunaannya untuk apa. Di sini, rakyat memang sengaja tak diberitahu.

Uang Rp 100.000 yang bakal dibagikan per bulan per rumah tangga miskin, sejak 23 Mei sampai akhir 2008, masih terasa asin buat menggarami sayur sebagai pelengkap nasi. Bukankah orang miskin memang jatahnya sedikit (sekali)?

Jika benang kusut salah urus minyak tak pernah terurai hingga membuat rakyat sejahtera, barangkali kita harus waspada: menolak semua orang yang kini berkuasa untuk kembali berkuasa! Jangan percaya janji-janji manis mereka saat berkampanye, saat safari politik turun ke bawah (akar rumput) dan lain-lain, yang muaranya hanya untuk mengumpulkan suara: demi jabatan, demi uang, demi partai, demi katebelece! Kita perlu bangkit, memilih orang-orang yang mampu memimpin dan dipimpin. Memimpin rakyat sekaligus tunduk dipimpin oleh kedaulatan rakyat! [OI, Perspektif, Edisi 101 / Tahun II / Tanggal 26 Mei - 1 Juni 2008]


Label:

0 komentar: