Memahat Kulit Kerbau Jadi “Tak Bodoh”

Di tangan JB Soemarwoto, kulit kerbau bisa menjadi aneka hiasan dinding yang memperindah interior rumah. Dari wayang kulit hingga karya serupa lukisan yang indah: segala jenis wayang, kereta kencana, balapan kuda, hasto broto, yesus, dan ayat kursi. Sebuah karya yang beragam dan mencerahkan.

“Bodo koyo kebo” (bodoh seperti kerbau). Itulah perumpaan yang kerap muncul dalam sindiran Jawa. Kebo (kerbau) sering diidentikan dengan kebodohan, sebab kerbau tak pernah protes saat dicongok hidungnya meski merasa kesakitan. Singkatnya, kerbau tak mau mencoba berontak untuk merdeka! Karena itu, kerbau menjadi perlambang “perilaku bodoh”. Nah, di tangan JB Soemarwoto, pemilik sanggar Kartoyo, yang beralamat di Jalan Sutoyo, Madegondo, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, ini, kulit kerbau menjadi “pintar”.

Kulit kerbau dijadikan media kreasi berupa lukisan dan pahatan yang dibentuk menjadi berbagai macam produk interior. Kecuali wayang kulit, beberapa jenis karya Soemarwoto akan semakin indah dengan dibingkai oleh frame yang selaras. Misalnya karya pahatan yang seelok lukisan, seperti hasto broto, yesus, dan ayat kursi, kian sempurna dengan dilapisi frame yang seirama.

Karya besutan Soemarwoto ini membawa pencerahan bagi para penikmatnya. Misalnya wayang kulit, yang mengandung filosofi hidup dan kehidupan, kaya akan ajaran dan pergulatan. Kerajinan ukir kulit terutama wayang kulit, biasa disebut sebagai kerajinan yang memadukan seni dan sejarah wayang kulit. Kenapa? Karena untuk membuat wayang kulit memang harus melalui proses belajar tidak sebentar, membutuhkan keuletan, kemauan belajar yang tinggi dan rasa memiliki kecintaan akan seluk beluk pewayangan.

Ada pula pahatan yang membentuk lukisan yesus, yang membawa kasih sayang; ayat kursi yang mengurai keagungan Tuhan; dan hasto broto, yang mengajarkan delapan sifat kepemimpinan.

Delapan sifat kepemimpinan hasto broto adalah pertama, suryo (matahari). Sifatnya menyinari, memberikan penerangan dan menghidupi. Kedua, condro (bulan). Sesuatu yang indah, baik dan memberikan penerangan saat gelap. Ketiga, kartiko (bintang). Petunjuk arah, kiblat dan panutan. Keempat, dahono (api). Memberikan semangat. Kelima, bantolo (bumi). Menumbuhkembangkan. Keenam, tirto (air). Luwes. Ketujuh, samirono (angin atau udara). Merakyat. Kedelapan, akoso (mendung). Tak pantang memberitahu, bahkan marah untuk tujuan kebaikan.

Jadi, disamping berkarya untuk menopang hidup, Soemarwoto juga ingin karya-karyanya itu memberikan nilai tambah buat penikmatnya. Karena itu, “Saya memilih memahat sesuatu yang menjadi bermakna, bahkan buat pegangan hidup,” ujar pria yang telah menua ini, dalam usinya yang menginjak 58 tahun.

Pria kelahiran Sukoharjo, 21 Agustus 1950, yang telah dikarunia empat orang anak ini, bersama puluhan pekerjanya menyamak sendiri kulit kerbau yang akan dibikin wayang atau diukir. Caranya, kulit kerbau dikerok di bagian bulu dan daging. Tebal tipis kulit sesuai yang dikehendaki, namun umumnya 0,5-1 mili. Maka terlihatlah kulit kerbau yang transparan. Lalu, direndam air, dibentangkan di tempat teduh sampai kering, kira-kira membutuhkan waktu dua hari. Kalau musim hujan, masa pengeringan kulit bisa membutuhkan waktu lima hari.

Setelah kulit transparan itu kering, diangkat, dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki. Lalu, siapkan pola, ditaruh di bawah kulit, dan pekerjaan berikutnya adalah menggambar di atas kulit kerbau itu sesuai dengan pola. Selanjutnya, proses pemahatan, sungging (pewarnaan). Jadilah ukiran indah yang kemudian dilapisi bingkai yang serasi. Untuk membikin wayang kulit prosesnya sama, hanya saja perlu ditambah tangkai untuk tangan kaki wayang yang dibuat dari tanduk kerbau.

Untuk membikin wayang kulit dan ukiran berbagai jenis karya Soemarwoto, ia menggunakan 25 macam pahat kulit, alas tandu’an, tindih besi dan gandem (palu kayu).

Tahun 1980 Soemarwoto mulai merintis usahanya. Dalam setahun order bejibun hingga jumlah karyawan mencapai 50 orang. Namun, perang Teluk, krisis ekonomi dan bom Bali, membuat usaha Soemarwoto terus menurun, hingga jumlah karyawan tak lebih dari 10 orang.

Namun begitu, Soemarwoto tetap menjalani usahanya yang berbasis seni itu. Dengan 10 orang pekerja, ia masih mampu menghasilkan 150-200 pieces per bulan. Kalau dirata-rata harga per pieces Rp 350 ribu, maka omset per bulan tak kurang dari Rp 50 juta.

Masih tergolong lumayan keuntungan usaha ini, yakni Rp 50 juta dikurangi bahan baku Rp 25 juta, dikurangi lagi Rp 8 juta untuk gaji 10 karyawan, serta air-listrik dan lain-lain taruhlah Rp 7 juta; maka keuntungan bersih Rp 10 juta.

Seperti produk-produk kerajinan lainnya di Jawa, pasar wayang kulit dan berbagai jenis ukiran besutan Soemarwoto juga umumnya menjangkau luar negeri. Beberapa pembeli dari Jepang, Taiwan, Amerika Serikat, Australia, dan Portugal, pernah datang ke sanggar Kartoyo milik Soemarwoto. Selain itu, ada pasar dalam negeri seperti Jakarta dan Bali, baik karena pameran atau pedagang sendiri yang datang berbelanja ke sanggar.[Profil Usaha » Edisi 101 / Tahun II / Tanggal 26 Mei - 1 Juni 2008]

Label:

0 komentar: