Syahwat Korupsi

Berbagai data korupsi yang sudah menjadi milik publik diketahui bahwa jumlah nominalnya sangat besar dan tingkat penyebarannya sudah sangat luas, dari birokrasi pemerintahan hingga wakil rakyat. Dari segi peningkatan kasus, Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan sampai awal 2007 terjadi peningkatan kasus korupsi hingga Rp14,4 triliun dari 161 kasus korupsi. Benteng trias politika, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif, pun tak ada yang bersih dari korupsi.

Setelah korupsi para pejabat eksekutif disentuh, belakangan pejabat yudikatif dan legislatif juga menjadi sasaran. Namun berbeda dengan upaya membekuk pelaku korupsi dari eksekutif dan yudikatif yang relatif berjalan lancar, tidak demikian dengan upaya membekuk pelaku korupsi dari legislatif.

Hari-hari ini, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus (lalu menangkap dan seterusnya) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terindikasi melakukan korupsi, berbuntut panjang. Yang lagi ramai, penangkapan KPK terhadap anggota Komisi IV DPR RI Al Amin Nur Nasution, baru-baru ini, terus disoal. Bukan saja beberapa anggota DPR yang menyoal “peristiwa penangkapan” Al Amin, tetapi juga partainya Al Amin --yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), merasa kebakaran jenggot.

Malah, pembelaan DPP PPP terhadap Al Amin tak saja berlebihan tetapi lebih jauh terkesan melakukan intervensi kepada KPK. Apa pun alasannya, langkah tim DPP PPP mendatangi kantor KPK telah memberi kesan tak sedap kepada publik, bahwa orang-orang DPP PPP itu tak rela jika salah satu anggotanya, Al Amin, yang juga pengurus teras DPW PPP Jambi, diduga melakukan korupsi.

Masalahnya, tak cukupkah DPP PPP melakukan pembelaan sesuai mekanisme dan prosedur hukum yang lazim berlaku? yaitu, dengan mengikuti proses peradilan. Setelah Al Amin dinyatakan tersangka, pada saatnya nanti akan disidang di pengadilan. Di sanalah nanti vonis akan berbicara: Al Amin bersalah atau tidak bersalah. Itu berarti, siapa pun orangnya, anggota DPR atau bukan, akan punya kesempatan melakukan pembelaan. Jadi, ikuti saja prosedurnya.

Wajar jika ada pendapat yang menyatakan bahwa tim PPP yang mengklarifikasi kasus Al Amin dengan mendatangi kantor KPK adalah bentuk intervensi. Bahkan wajar pula bila ada pendapat bahwa orang-orang PPP yang “mencampuri” urusan KPK itu harus diperiksa.

Meskipun Al Amin belum tentu salah, tetapi urusan tersebut biarlah bergulir sesuai proses hukum yang sedang berjalan. Ada baiknya DPP PPP berperan sebagai ayah bagi kader-kader PPP lainnya yang masih membutuhkan nasehat bahwa korupsi itu membuat orang “lumpuh”. “Orang berakal itu, ialah orang yang menguasai nafsunya dan berbuat bagi sesuatu (yang akan ada dan terjadi) sesudah mati. Orang lumpuh, ialah orang yang memperturutkan selera nafsunya dan berangan-angan atas Allah akan segala angan-angan”. (hadis riwayat Ahmad).

Maka berilah nasehat seperti nasehat raja Plefus kepada anaknya: “Ketahuilah anakku, banyak orang yang meraih cita-cita melalui jalan yang salah atau tujuan yang menghalalkan segala cara. Hal itu adalah karena orang telah dikuasai nafsu, mementingkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Akibat menurutkan hawa nafsu, ialah terjadinya kekacauan yang dapat merugikan semua pihak termasuk dirimu sendiri. Oleh karena itu janganlah engkau turutkan godaan nafsu dan tetaplah engkau berlaku jujur dan dengan kerja keras demi mencapai cita-cita.” (Panjimas, 11-20/2/1991).

Pernyataan Presiden dan Syahwat Korupsi
Seperti dikabarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta aspek pendidikan lebih ditekankan dalam pemberantasan korupsi. Jangan menjebak. Korupsi bisa terjadi karena ketidaktahuan warga negara.

Pernyataan presiden tersebut dapat menimbulkan efek negatif, pertama, sebagai upaya melemahkan penanganan korupsi, khususnya upaya yang dilakukan KPK. Meski arah dari pernyataan presiden tidak tersurat jelas, namun pernyataan yang muncul sepekan setelah Al Amin ditangkap, amat sulit untuk tak menghubungkannya dengan penangkapan ketua DPW PPP Jambi itu oleh KPK. Kedua, “teguran” presiden agar penegak hukum tidak menjebak koruptor bisa kontraproduktif. Dalam kasus Al Amin, KPK tidak bisa disebut menjebak warga negara. Soalnya, yang dilakukan KPK adalah bagian dari mengungkap korupsi. Dikhawatirkan, pernyataan presiden dapat membuka peluang manipulasi proses legislasi untuk mengubah materi UU No. 30/2002 tentang KPK, terutama terkait kewenangan KPK.

Presiden SBY yang menjadikan “pemberantasan korupsi” sebagai salah satu program unggulan pemerintahannya, mestinya mengecam syahwat korupsi yang melanda berbagai kalangan, termasuk anggota DPR itu. Baru-baru ini dua anggota DPR dari Partai Golkar, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, juga ditahan sebagai tersangka dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR.

Pada acara Presidential Lecture (2/8/2006), Presiden SBY mengakui bahwa korupsi telah menggurita. Presiden mengharapkan pemberantasan korupsi tidak terjebak dalam pertanyaan yang tidak pernah berhenti, seperti dari mana harus dimulai atau siapa yang akan jadi sasaran. “Saya tekankan, pemberantasan korupsi harus dilakukan sekarang, jangan ditunda dan jangan ada pengecualian. Kalau kita tidak melakukan aksi sekarang, korupsi akan terus terjadi dan semakin membebani perekonomian dan rakyat kita.” (radarbanten.com, 3/8/06).

Katakan Pak Presiden kepada para pemimpin negeri ini, sebagaimana Haji Abdul Malik Karim Amrullah mengatakan, “Untuk menjaga syahwat, haruslah engkau ketahui bahwasanya syahwat itu senantiasa mengurangi akal sehatmu, syahwat dapat menjatuhkan kehormatan, menghalangimu dari pekerjaan yang baik dan benar, karena syahwat itu salah satu bentuk nafsu. Kalau nafsu itu telah dipuaskan, akal sehat pastilah akan hilang. Kalau syahwatmu itu membawa engkau keluar dari jalan yang mesti dilalui, hendaklah dihalangi dengan sekuat tenaga, bahwa dia kembali ke jalan yang lurus dan benar dan bertobatlah kepada Tuhan.”

Biar perilaku pejabat semacam anggota DPR tak menimbulkan berita buruk, jadilah pejabat yang bersih, tidak terlibat perbuatan jahat seperti korupsi. Bukankah partai-partai politik, juga PPP, berkomitmen memberantas korupsi?

Dalam pengertian minimalis, Syed Hussein Alatas (1990:3-4) menyebut, “corruption is the abuse of trust in the interest of private gain”, yakni penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Ragamnya bisa berupa korupsi transaktif, yakni korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak; korupsi ekstortif, yakni korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi; dan korupsi investif, yakni korupsi yang bermula dengan tawaran (iming-iming) yang merupakan “investasi” untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang.

Jadi, untuk mengurangi syahwat korupsi yang menggurita, langkah KPK yang terus menerobos ke “ruang-ruang gelap politik” perlu mendapat apresiasi dan dukungan masyarakat, lebih-lebih para pemimpin yang seharusnya bertabiat lebih baik. Hal itu juga akan menjadi titik tolak bahwa salah satu karakteristik untuk membangun masyarakat “tanpa korupsi” adalah adanya orang-orang yang selalu memelihara amanah. Amanah harus terjaga, sebab penerimaan manusia atas amanah telah dikokohkan dengan ahd (janji) dan aqd (komitmen) yang dilakukan bersama-sama dan berulang-ulang dalam bentuk ahd al intimai al islami dan ahd al intimai al jamai yang dilaksanakan dengan beragam wazhifah, posisi dan penugasan.

Bahu membahu membangun negeri “tanpa korupsi” lebih mulia ketimbang mempersoalkan bagaimana cara menangkap para koruptor. Dalam proses membekuk koruptor, sistem penyadapan juga tak tabu bagi masyarakat Indonesia. Sejak dulu, “penjahat” tak masuk dalam ruang bijak budaya nusantara. Oleh sebab itu, dalam konteks pemberantasan korupsi, yang penting para koruptor itu tertangkap lalu diadili dan mengembalikan uang hasil korupsinya kepada yang berhak: negara atawa rakyat sang pemilik kedaulatan. Syahwat korupsi memang harus dipreteli! [OI, Perspektif, Tahun II, Edisi 096, 21-27 April 2008]


Label:

0 komentar: