Dicari: Pemimpin Musuh Koruptor

Satu per satu para pelaku korupsi dari kalangan anggota DPR RI terdeteksi dan bahkan tertangkap tangan hingga berujung masuk bui. Pemandangan yang mestinya aneh ini kian aneh karena jumlah pelakunya tampak menggurita. Rakyat dan para konstituen yang memilih mereka terus dibikin kecewa: dari dibohongi oleh janji-jani manis saat kampanye hingga pelanggaran yang mereka lakukan justru dengan menginjak-injak hak hidup rakyatnya (termasuk konstituen yang memilih).

Lantas, siapakah wakil rakyat yang masih bisa dipercaya? Sebab, mereka yang belum tersentuh tuduhan korupsi pun secara kasat mata terlihat kejanggalan-kejanggalan: pundi-pundi yang dipunyai tampak melampaui pendapatannya secara resmi. Inikah yang dinamakan politik sebagai tujuan?

Sejarah mencatat, pertumpahan darah yang paling banyak menelan korban adalah akibat permainan politik. Gara-gara perbedaan aliran politik, dua orang saudara bisa saling bermusuhan. Tak jarang pula, akibat beda partai politik, dua orang teman dekat menjadi lawan sengit.

Sejarah politik adalah sejarah kemanusiaan itu sendiri. Umur politik setua umur manusia. Namun sepanjang politik itu didasarkan pada nilai-nilai ilahiyah berupa keadilan, kejujuran, amanah dan kasih sayang, maka Allah Subhanahu Wata’ala pasti memberi dukungan.

Masalahnya, fakta menunjukkan bahwa politik sudah dibelokkan untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atawa demi memperbesar pengaruh dan penguasaan sejumlah kekayaan. Ada kecenderungan, orientasi politik tak lagi berupaya mendapatkan ridha Allah, yang ujung-ujungnya mengarah pada perilaku jahiliyyah: menghalalkan segala cara.

Untuk mencapai ambisi dalam kekuasaan, tak sedikit orang yang menghalalkan suap (juga korupsi), manipulasi dan intimidasi. Untuk maju menjadi calon anggota legislatif, calon presiden, gubernur, bupati, walikota dan jabatan-jabatan lainnya, banyak orang tak segan berbuat curang untuk menang. Akibatnya, seperti yang kerap muncul dalam pemberitaan media massa, para politisi dan seterusnya, tega menjual rakyatnya. Empat belas abad lalu, Nabi Muhammad telah menengarai bahwa mereka akan menjadi pengkhianat bangsa: “Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya.” (Hadist Riwayat At-Thabari).

Langkah menghalalkan segala cara juga muncul dengan penampilan yang kalem dan santun. Mereka pandai menyimpan taringnya dalam senyuman, pintar menyembunyikan niat busuk dengan pidato yang sejuk dan merakyat. Nabi sudah mengingatkan bakal datangnya penguasa model ini: “Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (Hadist Riwayat At-Thabrani).

***

Ketika politik sudah berubah menjadi tujuan (bukan alat), pada saat itu seseorang telah melakukan kemusyrikan di bidang politik. Ridha Allah tak lagi menjadi tujuan, tetapi kekuasaan lah target buruannya.

Menurut Amin Rais, realitas bangsa Indonesia seringkali menumbuhkan gejala syirik politik, dalam ekonomi dan sosial. Kita begitu terkekang oleh paternalisme, feodalisme, dan masih belum merdeka (freedom of action) sebagai ibadurrahman dalam arti yang sebenarnya. Dalam praktek kehidupan sosial dan politik, sebagian besar pemimpin kita belum bisa mengejawantahkan nilai-nilai tauhid, baik dalam kehidupan social, ekonomi dan politik. Dan yang memprihatinkan, ulama yang merupakan sandaran terakhir umat, juga tidak luput dari penyakit ini. Ulama juga belum berani memberantas korupsi, penyakit kronis yang menghancurkan bangsa itu!

Jauh-jauh hari, Mohammad Natsir mengatakan bahwa watak seperti itu sudah menyatu betul (built in), sudah terpatri. Sehingga watak itu, walaupun besok pagi diberitahu malaikat bahwa akan dicabut nyawanya, ia masih memulas kebenaran dengan kebatilan.

Untuk mengecek apakah kekuasaan telah menjadi tujuan atau sebagai alat, Nabi memberikan gambaran: “Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka.” (Hadist Riwayat Abu Na’im).

Tanah surga membutuhkan pemimpin yang bertangan ‘dingin’, bukan pemimpin bertangan ‘panas’. Bukan pula pemimpin yang berkuasa dengan menampilkan wajah tanpa dosa atas kesalahannya. Ibaratnya, kita tak mungkin dapat masuk ke ‘gerbang Madani’ sedangkan pemimpin kita masih menggembala kita di ‘gerbang tirani’: menjadi hamba harta, hamba jabatan, hamba syahwat, hamba politik dan hamba kekuasaan.

Kita membutuhkan pemimpin teladan dan beradab, tidak korupsi, atau yang dapat membawa kita dari ‘gerbang tirani’ ke ‘gerbang keampunan’ yakni bertaubat atas syirik politik yang menggembalakan kita untuk mempertuhankan harta, jabatan, syahwat, politik dan kekuasaan, menjadi hamba Allah.
Maka pemimpin yang menjadi hamba Allah sejati dan beradab itulah yang kita tunggu. Sosok pemimpin bernurani itulah orangnya, yakni selalu menaburkan ‘pesona hati bukan pesona materi’, berjiwa madani bukan urani, menunjukkan visi dan fungsi bukan gengsi dan arogansi.
Kalau kita mau dipimpin oleh pemimpin yang menebarkan ‘pesona hati’ yakni bersifat jujur, amanah, ikhlas, bertanggungjawab, tanpa masalah dan mencintai rakyatnya, maka tengoklah KH Hasyim Asy’ari dan KH Achmad Dahlan, dua pendiri organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sebagai rujukan.

Kalau dua pemimpin besar NU dan Muhammadiyah itu menyaksikan keadaan sekarang, di mana banyak pemimpin yang ‘korup’, sudah pasti gerakan perang melawan korupsi bisa jadi difardlukan. Memang, NU dan Muhammadiyah sekarang ini juga telah mengikrarkan perang melawan korupsi, tetapi gemanya belum mampu membuat orang takut korupsi.

Di era reformasi yang amanahnya membersihkan negeri ini dari korupsi, ternyata faktanya tak mampu menekan angka korupsi. Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam menyelidiki, menangkap, menyidik dan menghukum para pelaku korupsi juga masih terkesan tebang pilih. Istana dan DPR, yang dibilang Amien Rais sebagai sumber korupsi, belum benar-benar dibabat habis.

Meminjam pendapat Syafii Ma’arif, Indonesia menyandang gelar sebagai salah satu negeri yang tingkat korupsinya berada di papan atas. Kondisi moral kita dari hari ke hari semakin runyam dan suram, sedangkan keteladanan sudah hampir lenyap dari seluruh peta birokrasi kita, dari pucuk sampai ke akar, dari hulu sampai ke hilir.
Menurut Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332-1406), sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Korupsi pada kelompok penguasa menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi yang pada gilirannya menjangkitkan korupsi lebih lanjut.
Karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari akarnya, yaitu kelompok yang memerintah dan penanggulangannya harus pula dengan melibatkan seluruh kelompok tersebut. Secara kultural dan struktural memberantas korupsi adalah mensosialisasikan nilai baru bahwa korupsi merupakan sebuah tindakan yang beresiko tinggi dan bernilai rendah, dan akan dikenai pembuktian terbalik bahwa harta yang diperolehnya adalah halal. [Perspektif » Edisi 98 / Tahun II / Tanggal 5 Mei - 11 Mei 2008]

Label:

0 komentar: