Syahganda Nainggolan : Komisaris Mau Pimpin Demo?

Gegap gempita terbukanya kran pendirian partai politik pada 1999, membawa nama Syahganda Nainggolan mencuat ke permukaan. Bersama seniornya, Adi Sasono, ia mendirikan Partai Daulat Rakyat (PDR). Alumnus ITB yang pernah merasakan pengapnya penjara tersebut hampir selalu disebut-sebut sebagai aktivis yang tak pernah kempis!

Suaranya tetap menggelegar, bicaranya lepas tanpa basi-basi. Meski posisinya kini sebagai komisaris independen PT Pelindo tetap bersikap seperti aktifis, kritis dan tegas. “Sekarang ini zaman perubahan, zaman bersih-bersih, zaman KPK. Jadi jangan main-main lagi. Itu gebrakan saya terjadi,” ujar mantan ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) kepada Opini Indonesia, Kamis pekan lalu.

Tender saja dari nilai proyek Rp 70 miliar pembangunan jalan sepanjang 100 meter di Dermaga Banten, yang menang adalah PT yang berani mengajukan tawaran hanya Rp 54 Miliar. Jadi Pelindo bisa saving Rp 16 miliar. “Itu saya lakukan terus. Sehingga Pelindo dengan gebrakan itu keuntungannya dari Rp 800 miliar naik menjadi Rp 1 triliun lebih, dalam kurung waktu 1 tahun keuntungan bisa naik Rp 200 miliar. Saya tidak akan memperkarakan masa lalu, tetapi jangan main-main dengan yang sekarang,” kata Syahganda.

Ia berharap Indonesia ini menjadi bangsa besar. Untuk itu tambang, batu bara, minyak harus dihitung ulang. Setelah itu kemudian masuk industri, termasuk manufaktur dibenahi lagi. “Jangan sampai garmen kita hancur, jangan sampai alat-alat teknologi elementer impor dari Cina. Kita kan negara besar. Peta industri dan manufaktur harus ditata ulang,” tuturnya.

Ketika DPR main-main dengan Pelindo, dia pun bersuara keras. Dia pun mengajak pekerja Pelindo Demo. Hingga orang-orang Pelindo pun kaget. “Saya bilang sama teman-teman Pelindo kalau kalian tidak mau demo saya akan pimpin Demo. Kaget juga mereka kan, komisaris mau mimpin demo, “ ceritanya.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelayaran yang sudah diketok DPR RI diprotes. Sebagai komisaris Pelindo, Syahganda keras kepada DPR. “Kejam itu DPR terhadap kita (Pelindo). Oleh karena itu kita sedang judicial reveiw ke Mahkamah Konstitusi. Kita mau minta beberapa pasal dicabut,” tandasnya. Sebagai Komisaris Pelindo, dia minta presiden untuk tidak menandatangani UU itu.


Seharusnya mereka itu realistis, perbandingannya, ketika Pertamina dibuat BP Migas, kekuasaan Pertamina dikurangi tetapi dia tetap mengelola konsesi minyak dia. Jasa Marga ketika diprivatisasi oleh perusahaan asing dan perusahaan swasta buat jalan tol, dia tetap dikasih jalan sekarang. Pelindo, di Tanjung Priok saja mau diambil oleh BPP pemerintah. Pelindo itu punya negara, “Itu kita kecewa, padahal itu punya kita.”

Kalau mau bangun, misalnya Sutiyoso dulu akan bangun Jakarta Newport, silahkan saja nanti bersaing. Pelindo hanya mau diberi terminal operator, bukan port operator. Kalau terminal itu, hanya ada dermaga. Sekarang Pelindo punya kawasan yang namanya pelabuhan.

Memang ada BUMN yang gagal, tetapi ada juga BUMN yang berhasil. Di Cina misalnya Petro Cina, Bank Exim Cina, di Singapura Temasek BUMN. Di Malaysia, Khazanah itu BUMN berhasil. BUMN itu bisa buruk bisa baik tergantung pengelolaannya.

Kalau asing atau swasta tidak boleh masuk, kenapa kita harus bilang swasta. Kalau ini punya negara, untungnya buat negara. Syahganda menjelaskan, UU kita awalnya lebih pada sosialis atau kerakyatan, bukan lebih pada liberalis. Sekarang mau dibuat liberalis semua.

Seperti kereta api diliberalisasi, untung saja dihentikan oleh menteri perhubungan selama 3 tahun. Kalau misalnya masuk PT KA Singapura atau Jepang, bisa mati rakyat. Makanya Indonesia butuh revolusi, cuma pemimpinnya belum ada. “Saya kemarin mengorganisir 21 serikat buruh KOBAR (Komando Buruh Revolusioner),” tegas Syahganda.

Posisinya sebagai Komisaris di Pelindo II sekarang semakin membuatnya independen. Menurutnya, itu merupakan bagian dari pekerjaan. Seoarang aktifis yang tidak punya pekerjaan akan bisa dibayar orang. Ia tidak mau seperti itu. “Kalau saya ditawari menteri juga saya ambil,” katanya.

Dia tidak pernah berubah sikap sejak muali mahasiswa dulu, sebab kalau dirinya berubah, namanya Pelindo itu dulu getset. Dulu yang namanya komisaris itu bisa dapat uang ratusan juta sekali menginjak Tanjung Priok “Cuma saja saya nggak mau,” tegasnya.

Tapi penempatan komisaris itu jangan asal penempatan, sehingga orang-orang tidak kompeten masuk ke situ. Menurut penilaian BPKB, prestasi Syahganda cukup bagus selama menjadi Komisaris Pelindo II. Itu terekam dari hasil audit terhadap good corporate governance (GCG) yang nilainya 80% baik. Artinya peran sang aktifis ini diterima.

Pengalaman aktivis selama di Pelindo mempengaruhi kerjanya di Pelindo. Pertama, dia tidak bisa dibeli. Kedua, berpikir independen, tidak bisa diatur-atur demi kepentingan orang. Ketiga, tidak kemaruk dengan harta. Keempat, mampu berunding.

Dalam konteks SBY ngambil aktivis jadi komisaris di beberapa BUMN, menurut pria kelahiran Medan itu, sebenarnya lebih bagus dari Taufik Kiemas. Taufik Kiemas waktu itu tidak ada membantu aktivis. “Saya jadi komisaris tidak ada kaitannya dengan kebencian orang sama SBY kan ?,” katanya.

Ia pun yakin pada kemampuan anak-anak muda termasuk dirinya, mampu menjadi pemimpin. Dalam gerakan buruh misalnya, hampir semua pimpinannya anak muda. Tetapi sejauh apa media massa mengapresiasi perjuangan mereka. Media lebih senang cari anak muda di DPR sudah selebritis kemudian dimuat terus.

Ia membuat surat resmi melalui CIDES, Edy Sucipto jadi Bawaslu, tetapi tidak ada media yang mendukung. Ia meyakini jaringan itu sangat penting dalam gerakan. “Kita teliti lagi jaringan-jaringan mana yang masih ada akal sehat untuk membangun bangsa ini,” ungkapnya.

Aktifis yang sudah bergerak sejak 84 itu tetap yakin atas perjuangannya, baik sendiri seratus, atau seribu bukan halangan bagi dirinya. “Sendiri, seratus, atau seribu orang, saya tetap berjuang. Saya dari dulu prinsipnya begitu, “ katanya. Ia tidak pernah berubah sikap tetap menjadi aktifis sampai sekarang.[Figur » Edisi 100 / Tahun II / Tanggal 19 Mei - 25 Mei 2008]

Label:

0 komentar: