BBM Naik, Lirik Energi Alternatif

Jeritan rakyat terus membahana di bumi Indonesia. Para pemimpin negeri yang kaya akan sumber daya alam ini tak kuasa mengentaskan rakyatnya dari derita kemiskinan. “Salah urus”, itu yang selalu jadi kata pamungkas dari kejenuhan publik mengurai kata atas ketidakberdayaan pemerintah menjalankan amanah sang pemilik kedaulatan.

Yang masih hangat menyembul menjadi isu nasional adalah rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Departemen Keuangan telah melakukan kajian kenaikan harga BBM bersubsidi sekitar 28,7 persen pada Juni 2008, akibat kenaikan harga minyak dunia yang hampir menembus 124 dolar AS per barel dan mulai menurunnya kepercayaan terhadap APBN P 2008 dalam menghadapi tekanan harga minyak.

Harga BBM jenis premium akan naik dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per liter, solar naik dari Rp4.300 menjadi Rp5.500 per liter, dan minyak tanah naik dari Rp2.000 menjadi Rp2.300 per liter. Menurut Depkeu, kenaikan sebesar itu akan memberi ruang fiskal yang cukup longgar bagi APBN sebesar Rp21,491 triliun serta menambah penghematan anggaran menjadi Rp25,877 triliun.

Dari penghematan anggaran akibat kenaikan harga BBM itu, sebagian besar Rp11,5 triliun akan dialokasikan untuk pemberian program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) untuk periode Juni 2008-Mei 2009 sebesar Rp100.000 per masing-masing RTM.

Selain itu, ruang fiskal tersebut akan digunakan untuk penambahan cadangan risiko Rp3 triliun dari yang sudah dicadangkan pada APBN P sebesar Rp8,254 triliun, pengurangan defisit Rp8,377 triliun atau 0,2 persen sehingga defisit anggaran tinggal 1,9 persen, dan tambahan subsidi beras untuk masyarakat miskin (raskin) sebesar Rp3 triliun.
Dengan demikian, inflasi bisa ditekan pada 11,1 persen dan pertumbuhan ekonomi dijaga pada 6,4 persen, dengan rasio penduduk miskin menjadi 14,2 persen.

Masalahnya, keputusan menaikkan harga BBM selalu diikuti panas dinginnya suhu politik dalam negeri. Suhu politik kian meninggi jika relasi presiden dan politisi tidak berjalan serasi.

Sebagai eksekutor peraturan perundangan, presiden memiliki kewenangan menaikkan harga BBM. Tetapi dukungan politik atas kewenangan eksekutorial presiden itu akan sangat bergantung pada konfigurasi politik para politisi. Beragamnya kemauan politisi menyebabkan isu BBM yang amat populis dapat menjadi dagangan politik.

Paling tidak ada tiga motivasi politik dari sikap para politisi atas naiknya harga BBM. Pertama, politisi betul-betul menolak kenaikan harga BBM; kedua, mereka hanya ingin memperburuk citra pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mata rakyat; dan ketiga, mereka hanya mau mengambil keuntungan dari naik daunnya saham politik BBM. Dengan menolak keputusan pemerintah, mereka dapat menebar pesona seakan-akan peduli terhadap penderitaan rakyat dan karena itu layak dipilih pada pemilihan umum 2009 mendatang.

Namun, dari ketiga motivasi itu, kemungkinan pertama bahwa mereka betul-betul menolak kenaikan harga BBM merupakan motivasi paling kecil, sementara upaya menurunkan citra SBY dan menggunakan isu BBM sebagai dagangan politik adalah niatan yang lebih dominan.

Megawati Soekarnoputri (ketua umum PDIP), Wiranto (ketua umum Partai Hanura), dan Tifatul Sembiring (presiden PKS), kompak menolak kenaikan harga BBM yang bakal dilakukan pemerintah. Mereka menolak kenaikan BBM dengan alasan bahwa nasib ekonomi rakyat akan semakin sulit. Kesulitan ekonomi rakyat kian parah dengan ikut naiknya kebutuhan pokok dan bahkan semua produk atau barang yang membutuhkan jasa angkutan.

Tapi, benarkah ketiga pimpinan partai itu berteriak “menolak” kenaikan harga BBM karena terdorong oleh kepedulian mereka terhadap kesulitan ekonomi rakyat? Lantas, jalan keluar apa yang bisa mengatasi problem melambungnya harga minyak dunia yang kian tak terkendali? Upaya kongkret itulah yang belum dilakukan oleh para petinggi partai yang menolak kenaikan harga BBM, sehingga kesan politisasi BBM yang bersender di balik pernyataan-pernyataan penolakan tak terelakkan. Apalagi, ketika Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, juga pernah menaikkan harga BBM.

Sementara itu, presiden SBY juga tersandera dengan janjinya sendiri yang tak akan menaikkan BBM. Padahal dengan kondisi seperti sekarang ini opsi menaikkan harga BBM cukup rasional. Selain itu, bila pemerintah tidak menaikkan harga BBM maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa menjadi masalah besar.

Karena itu, meski menelan janjinya sendiri, SBY dan JK (Jusuf Kalla) lebih baik memilih berhenti sekarang dari posisinya sebagai presiden dan wakil presiden daripada tidak berani mengambil keputusan menaikkan harga BBM.

Mengembangkan Energi Alternatif

Menghadapi gejolak minyak dunia, sebenarnya ada jalan keluar dengan mengembangkan energi alternative, yakni energi hijau yang berbahan bakar nabati (BBN). Bahan bakunya bisa singkong, jagung, sorgum, tebu, bahkan alang-alang dan batang padi pun dapat diolah jadi etanol yang menjadi campuran bensin.

Bahan baku singkong dipandang lebi efisien karena memiliki kandungan gula atau pati lebih baik di bawah jagung. Untuk satu liter bioetanol dapat diperoleh dari 6,5 kg singkong, sedangkan jagung 2,5 kg dapat satu liter bioetanol. Harga produksi etanol singkong hanya Rp4.000, dan harga jualnya untuk campuran bensin di pasaran mencapai Rp8.000 hingga 10.000 per liter. Sedangkan untuk jumlah besar, Pertamina membeli Rp 5.500 per liter.

Jika energi bioetanol menjadi gerakan nasional, maka rakyat juga untung. Tenaga kerja akan terserap untuk memproduksi singkong, dan menjadi tenaga kerja memproduksi etanol. Sebagian persoalan lingkungan juga dapat teratasi. Emisi gas buang yang biasa dikeluarkan kendaraan mejadi bersih, karena tanpa timbal.

Jadi, kenaikan harga minyak dunia bisa jadi tak membuat sulit rakyat, kalau kita mau kreatif, sehingga petani singkong sejahtera dan generasi anak singkong nantinya tak lagi minder dihadapan anak-anak keju. Tapi ini memerlukan jaminan keseriusan dari pemerintah, karena usaha ini bukan tanpa masalah. Ketentuan pajak etanol jadi momok buat produsen skala rumahan. Mereka tentu tidak mampu kalau harus membayar cukai Rp10.000 per liter etanol, sementara ongkos produksinya saja hanya Rp 4.000, dan Pertamina hanya mampu membeli Rp 5.500.

Energi alternatif lainnya adalah jarak pagar yang kini sedang dikembangkan oleh beberapa perusahaan dan juga Dekopin, yang menanam dalam sekala luas. Meskipun harus menunggu lima tahun, upaya ini akan cukup membantu kebutuhan akan minyak. Namun, penamanan pohon jarak dan mengolahnya menjadi minyak tak harus dalam skala besar yang hanya bisa dilakukan oleh para pengusaha dan sejenisnya. Rakyat kecil juga harus diberi peluang memproduksi minyak jarak (dengan mesin manual) dan memasarkannya dalam skala kecil (misalnya dengan menjualnya di teras rumah mereka).

Dengan mengembangkan energi alternatif, dibarengi dukungan regulasi yang berpihak kepada keadilan, maka pada akhirnya rakyat akan mengerti betapa cadangan minyak dunia (apalagi Indonesia) kian menipis –sehingga suatu saat nanti kita harus berpaling pada energi alternatif. [OI, Perspektif, Edisi 99 / Tahun II / Tanggal 12 Mei - 18 Mei 2008]


Label:

1 komentar:

Unknown said...

Ijin menyimak dan belajar semoga kita semua ada dalam kelancaran salam hormat dari pengrajin
Jaket kulit Garut .Thank Admin