SBY-JK, Seia Sekata di Persimpangan Jalan

Galibnya, Presiden dan Wakil Presiden kompak dalam menjalani tugas-tugasnya sebagai negarawan. Namun, tindakan kedua petinggi negeri yang harus saling mengisi itu tak lagi seia sekata. Duet Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla, pelan-pelan terasa membuat dongkol rakyat yang dipimpinnya ketika keduanya samar-samar beradu tanduk: “duel”!

Meski nuansa persaingan untuk berebut kursi nomor 1 pada pemilihan presiden (Pilpres) 2009 sudah terbaca sejak M Jusuf Kalla (JK) menduduki posisi Ketua Umum Partai Golkar, tetapi belakangan kian kentara ketika Presiden mengajukan calon gubernur Bank Indonesia (BI) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dua calon yang diajukan presiden, ditolak DPR. Dalam spekulasi politik yang berkembang, ini terjadi karena JK tak mengawal partainya mengenai calon gubernur BI.

Kabar pecah kongsi SBY-JK makin mengemuka saat kepulangan SBY dari Timur Tengah belum lama ini. JK tak tampak menjemput SBY di Bandara Halim Perdanakusumah. Kemesraan yang dibalut dengan slogan “Bersama Kita Bisa” pun memudar. Perkara menonton film “Ayat-ayat Cinta” (AAC) pun menjadi komoditas politik. SBY yang berencana menonton AAC sebagaimana telah dilakukan JK, buru-buru dibantah stafnya. Namun setelah bertemu empat mata, SBY mengumumkan ajakannya kepada para duta besar asing agar menonton AAC.

Hubungan SBY-JK yang kadang mesra dan kadang tampak “bermusuhan” akan menghabiskan energi kenegarawanan kedua orang petinggi Indonesia itu. Sementara waktu setahun pemerintahan SBY-JK ke depan dalam mengurus negara-bangsa justru membutuhkan tambahan energi. Hal ini diperlukan karena target kinerja SBY-JK selama memerintah belum memenuhi janjinya baik ketika kampanye maupun menyangkut program pemberantasan korupsi dan menekan angka kemiskinan.

Tetap rekatlah SBY-JK, agar kendali pemerintahan terurus. Wong “bersama saja kadang tidak bisa melakukan apa-apa kok”, terutama dalam mengendalikan birokrasi agar tidak menyeleweng, memberantas korupsi (potretnya rada bopeng karena terkesan masih pilih-pilih) dan mengurangi angka kemiskinan. Apalagi kalau saling berseberangan, apa jadinya?

Dalam pengertian klasik mengenai penguasa mempercayai bahwa hati sanubari seorang raja itu harus laksana “samodra”, mencakupi wilayah itu sehingga kesadarannya merupakan perwujudan murni atau pencerminan masyarakat (Paul Stange, 1998). Lantas, kritik dibenarkan bilamana mulai tampak bahwa pamrih, motif kepentingan pribadi dan bukannya kepentingan umum, yang menjadi dasar kebijakan pemerintah. Nah, jadilah penguasa yang memiliki hati laksana “samodra”, bekerja tanpa pamrih dan bertindak untuk kepentingan rakyat.

Barangkali tafsir hubungan SBY-JK yang terkesan bersaing dan saling menjatuhkan akan segera sirna setelah mereka bertemu empat mata. Tapi tentu saja, apa yang mereka bincangkan, sepanjang menyangkut upaya kemaslahatan rakyat, ada baiknya dipublikasikan bahwa mereka tetap kompak memimpin pemerintahan yang tinggal setahun ini.

Agar langkah seia sekata yang menjadi modal sukses pasangan SBY-JK naik ke puncak kekuasaan itu terjaga, maka hindari basa-basi politik bagai janji seia sekata yang diumbar di persimpangan jalan –yang berlangsung saat jalan lengang, tapi begitu ada pengguna jalan lewat maka tak bisa jabat erat.

Adanya delegitimasi politik dari beberapa partai politik terhadap SBY, seperti hilangnya simbol kepresidenan pada saat presiden ke luar negeri dan usul Partai Golkar agar calon presiden memperoleh dukungan 30% suara nasional, tak perlu membuat SBY kalap. Bijak bestarilah dalam menghadapi Pilpres 2009. Andai nanti usulan Partai Golkar itu masuk dalam pasal Undang-Undang Pilpres, bukan jaminan JK akan memperoleh tiket capres. Meski Partai Golkar memperoleh 21,58% suara nasional, tak berarti mudah bagi JK menggandeng partai lain untuk memenuhi angka 30%.

Bagi JK, yang secara politik diuntungkan oleh partainya yang rindang dan Rapimnas 3 Partai Golkar (2007) telah menghapus konvensi, tak berarti jalan menuju 2009 begitu lempang. Justru dengan manuver-manuver politiknya, JK bisa saja terjerumus ke dalam alam pikirannya sendiri, yang mungkin terlalu percaya diri.

Jadi, jangan biarkan ancang-ancang menuju Pilpres 2009 menghambat kinerja Presiden dan Wakil Presiden. Buktikan bahwa “Bersama Kita Bisa” itu, mampu mewujudkan negara kesejahteraan yang berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Sebab sejauh ini belum ada pemimpin negara yang memiliki cetak biru yang komprehensif, solid, dan meyakinkan bagaimana mengatasi problem kemiskinan dan membangun masyarakat sejahtera dan makmur. Dan dari sinilah keberhasilan memberantas korupsi (program SBY-JK yang masyhur) itu diukur. [OI, Perspektif, Edisi 093, Maret 2008]


Label:

0 komentar: