Polemik PKS Populerkan Jaipongan

Isu “pelarangan” jaipongan berbuah polemik. Namun, dari situ nama kesenian khas Sunda ini justru terkerek, moncer!

Siapa sangka Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang notabene tak begitu akrab dengan tari jaipongan, malah mengangkat nama kesenian yang berbasis pada ketuk tilu itu. Gara-garanya, muncul isu “pelarangan” jaipongan dari petinggi Jawa Barat, Gubernur Ahmad Heryawan. Kader PKS ini pun menjadi sasaran kritik, hingga kemudian ancaman menarik dukungan kepada PKS untuk Pemilu 2009 merebak.

Drama “pelarangan” pun selesai setelah para seniman Jawa Barat duduk bareng dengan Gubernur. “Polemik jaipongan sudah selesai,” kata Ahmad Heryawan akhir Februari lalu. Hal senada dikatakan pencipta jaipongan Gugum Gumbira. “Kita dengan bapak gubernur sudah clear. Tidak ada himbauan, tidak ada larangan dari bapak gubernur,” ujarnya.

Selama isu itu bergulir, nama tari jaipongan membahana. Isu “pelarangan” jaipongan yang kemudian memunculkan polemik berkepanjangan di ruang-ruang media massa dan kelompok kesenian jaipongan, seolah justru menjadi wahana efektif mengangkat nama seni jaipongan yang telah meredup.

Seni jaipongan meredup karena di lingkungan seniman sendiri muncul gejala redup sebagai indikasi sakitnya budaya tradisi. Di sisi lain, pemerintah daerah tidak berpihak penuh mendorong seni jaipongan. Sementara itu, seni jaipongan kerap dibuat ngadat akibat stigma subyektif yang dilemparkan pihak-pihak yang mengalami gegar budaya.

Faktor lain yang meliputi goyang, geol, dan gitek (3G) dalam olah gerak jaipongan acap digunakan sebagai alat atau tuduhan untuk memperlambat akselerasi seni tradisi ini. Malah, ada pihak yang secara subyektif melabelkan 3G sebagai manifestasi erotisme terhadap penari jaipongan.

Berbagai stigma dan kurangnya pemihakan membuat langkah jaipongan semakin meredup. Jaipongan terasingkan oleh pejabat daerahnya sendiri sehingga geregetnya kian pudar. Terbukti, pentas-pentas jaipongan di tengah masyarakat, acara pemerintahan, acara hotel, dan kegiatan di sekolah, semakin jarang dilakukan.

Beruntung, masih ada festival jaipongan yang digelar. BTM Art Festival yang diadakan di Bandung Trade Mal (BTM), Jalan Kiaracondong, Kota Bandung, 15-21 Februari lalu, diikuti 200 peserta dari Bandung Raya, Purwakarta, Subang, Karawang, Bogor, Sukabumi, dan berbagai daerah di Jawa Barat. Festival jaipongan untuk semua usia itu setidaknya mampu mengangkat kembali semarak jaipongan yang sedang redup.

Panggung Jaipongan di Kolong Jembatan
Jaipongan terus hidup berkat jasa para seniman tulen, yang justru berpenghasilan pas-pasan sekadar untuk hidup. Tapi bagi mereka, hidup tanpa jaipongan serasa kering, tak bermakna.

Tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak dinamis ini lebih banyak bergerak di kawasan yang terpinggirkan. Tangan, bahu, dan pinggul yang selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah para penari perempuan yang menebar senyum dan kerlingan mata, hanya dapat disaksikan pada saat grup jaipongan keliling menghampiri rumah kita dan atau di panggung jaipongan di kawasan kumuh.

Mereka para seniman beneran rela hidup seadanya dan seirit mungkin. Bagi para penjaja tari jaipongan, mereka berkeliling Jakarta dengan menumpang angkot atau bus umum. Bekal minum dibawa dari kontrakan, dan makan di warung murah semacam warteg (warung Tegal).

Sedangkan para pelestari jaipongan yang gampang dijumpai adalah grup yang manggung di Jatinegara. Di kolong jembatan bypass Jatinegara, Jakarta Timur, penonton menikmati goyangan para penari jaipongan. Di sana, denyut kehidupan malam terasa oleh musik yang membahana dari perangkat pengeras suara, mengiringi goyangan pinggul tujuh penari berkebaya di atas panggung kayu. Orang-orang yang lewat banyak yang berhenti menatap aksi di atas panggung berukuran 3 meter x 3 meter.
Mirip gemerlapnya para penari di gedung pertunjukan, penari jaipongan di panggung kios itu tampil dengan riasan tebal, bulu mata palsu, pulas mata kelap-kelip, serta lipstik merah manyala. Juga, sanggul besar, kebaya, dan kain jarik ketat.
Itulah para seniman jaipongan yang hidup dengan sepenuh hati berjaipongan. Meski rata-rata pendapatannya kecil, Rp 20 ribu per orang setiap manggung, namun semangat untuk terus menghidupkan seni jaipongan tak pernah mati! Shodiqin [Polemik, Tahun I, Edisi 1, 2-8 Maret 2009]


Label:

0 komentar: