Meneropong Calon Pendamping Mega

Meski masih sulit meneropong siapa calon pendamping Mega, namun jumlah kandidat cawapres yang menjadi incaran PDIP kian mengerucut. JK, Sultan, Akbar, Prabowo, atau Hidayat Nur Wahid?

Pemilu legislatif kian dekat, pertemuan antar tokoh partai politik pun kian ramai. Jusuf Kalla menyambangi PKS (Hidayat Nur Wahid dan Tifatul Sembiring) dan PDIP (Megawati Soekarnoputri); Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Prabowo Subianto menemui Mega; Partai Demokrat berkunjung ke Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional; dan Mega pun datang ke acara rutin Partai Persatuan Pembangunan yang dibidani Suryadarma Ali.

Lantas, siapakah yang bakal menjadi pendamping Mega? Nyaris tak ada peluang tentu, kalau kita menyebut ketua umum PKB Muhaimin Iskandar dan ketua umum PAN Sutrisno Bachir. Kedua tokoh ini diprediksi lebih mungkin menjadi pendamping Susilo Bambang Yudhoyono.

Andai kesepakatan Mega-JK untuk “membangun pemerintahan yang kuat”, tak sekadar berhenti sebagai kongkow-kongkow politik, maka jika PDIP memenangi pemilu legislatif maka yang menjadi pendamping Mega adalah JK. Sebab kesepakatan yang diteken di rumah Jalan Imam Bonjol Nomor 66 itu tidak ujuk-ujuk terjadi. Pendahuluannya telah dimulai sejak dua tahun lalu di Tokyo. Kala itu Surya Paloh dan Taufiq Kiemas bertemu dan lalu menggagas Koalisi Kebangsaan, di mana Partai Golkar dan PDIP sebagai pilar utama. Waktu itu, Taufiq Kiemas sudah terang menyatakan jika Golkar menjadi nomor satu dalam pemilu legislatif, maka calon PDIP cukup duduk di kursi RI-2. Begitu pula sebaliknya.

Lagi-lagi, andai itu terjadi maka rajutan koalisi Golkar-PDIP amatlah menarik. Secara kalkulatif, Golkar dan PDIP adalah partai besar. Kelebihan kedua partai ini
dibandingkan dengan partai lainya adalah memiliki jaringan infrastruktur yang
kuat dan tersebar secara merata. Merek politik Golkar-PDIP juga lebih mengakar. Menyatunya Golkar-PDIP akan memberikan rasa kepercayaan diri yang tinggi bagi keduanya untuk memenangi pemilu. Koalisi Golkar-PDIP lebih memberikan jaminan untuk mengantongi tiket pencapresan.

Masalahnya, ide koalisi Golkar-PDIP tampaknya bakal terbentur pada persoalan yang rumit: terutama menyangkut penentuan posisi capres-cawapres. Negosiasi format
capres-cawapres akan alot, sebab baik Golkar maupun PDIP sama-sama mematok posisi capres. Bab pendahuluan yang dibincangkan Taufiq-Surya Paloh akan bergantung pada dinamika politik internal kedua partai tersebut.

Pada akhirnya kalau JK menolak mendampingi Mega, nama Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi incaran berikutnya. Namun, selain modal Sultan tak sebesar JK –yang berarti akan menyulitkan Mega meraih tiket pencapresan, wakil ketua Dewan Penasehat Partai Golkar ini juga masih mengincar kursi presiden. Orang berikutnya adalah Akbar Tandung, yang modal dukungannya dari Golkar nyaris sama dengan Sultan. Bedanya, Akbar tampaknya akan menerima posisi cawapres.

Sementara Prabowo Subianto, yang partainya akan sangat mungkin mampu melengkapi kekurangan suara PDIP (katakanlah PDIP mampu meraup 20% dan Gerindra 5% suara) untuk mendapatkan tiket pencapresan, namun mantan Danjen Kopassus itu masih getol menyuarakan memilih posisi capres.

Walhasil, andai JK, Sultan, dan Prabowo, menolak mendampingi Mega, maka tinggal dua nama yang ditengarai bersedia menjadi cawapres: Akbar Tanjung dan Hidayat Nur Wahid.

Mengusung Akbar Tanjung sebagai cawapresnya Mega, masih merepotkan PDIP karena harus berkoalisi dengan partai lain, setidaknya sekelas PPP namun tokohnya tak hirau dengan urusan cawapres. Sementara kalau PDIP berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera dengan menduetkan Mega-Hidayat, pihak Mega tak perlu repot-repot mencari partai lain untuk menguatkan memperoleh tiket pencapresan. Dengan hitung-hitungan sedikit mengurangi perolehan suara dan kursi pada 2004, kedua partai ini sudah mampu meraih tiket pencapresan. Rasanya PDIP-PKS tak sulit memperoleh 25% suara dan 112 kursi DPR RI pada pemilu legislatif 2009.

Namun, pastinya tunggu pemilu legislatif 9 April 2009 usai. Dan, cawapres pendamping Mega pun akan muncul: mungkin nama orang yang pada mulanya gembar-gembor capres, atau orang yang memang sejak awal bersedia menjadi cawapres. Shodiqin [Polemik, Tahun I, Edisi 4, 23-29 Maret 2009]


Label:

0 komentar: