Berebut Tiket Capres

Semua kandidat capres 2009 masih menunggu hasil pileg April mendatang. Namun, prediksi perolehan kursi dan suara pileg tampaknya bahwa semua kandidat yang mau bertarung di pilpres harus berkoalisi.

Pasca kesiapan Jusuf Kalla (JK) menjadi calon presiden (capres) Partai Golkar, peta kandidat yang bakal mendapat tiket nyapres berubah. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bakal dihantui problem ticketing. Jika SBY tak menemukan partai koalisi yang mampu mengantar sebagai capres, maka ia akan tamat sebelum bertanding. PKS yang tadinya condong ke SBY, kini mulai melirik JK begitu posisi cawapres akan diberikan kepada Hidayat Nur Wahid: atawa PKS sedang menjajaki saja dan bisa tiba-tiba berpaling ke partai lain.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih limbung bergantung pada arah angin politik yang akan menguntungkannya. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diragukan mampu memperoleh suara signifikan sehingga tak cukup berperan mendorong SBY nyapres. Apalagi Partai Bulan Bintang (PBB), diragukan mampu melengkapi perolehan suara pemilu legislatif (pileg) menjadi 25% jika Partai Demokrat, PKB dan PBB berkoalisi mengusung SBY. Sama saja dengan kemungkinan perolehan kursi yang harus mencapai 20%.

Posisi JK untuk nyapres juga belum aman. Ketua Umum Partai Golkar ini masih harus berhadapan dengan gerilya Sultan Hamengku Buwono X. Keberadaan Sultan sebagai raja Yogyakarta yang akan memimpin Indonesia merupakan nilai plus tersendiri, sebab Sultan mau memimpin negeri ini tanpa pamrih “kekuasaan”: harta, tahta, wanita. Sedangkan JK adalah saudagar yang selama menjadi menteri dan wapres dipandang kerap memerankan dirinya sebagai sang pedagang. Kalau orang-orang Golkar membuka mata, maka JK akan terhalang nyapres oleh kerakusannya sendiri. Kekuatan JK ada pada HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Connection. Meskipun menurut pengalaman, para aktivis HMI itu tak dapat sepenuhnya dipercaya. Loyalitas mereka bisa tiba-tiba goyah oleh iming-iming kepentingan politik dari kubu lain yang lebih menarik. Tengok saja ketika Akbar Tandjung terjungkal dari pusaran kekuasaan Partai Beringin. Boleh di bilang, si Abang yang piawai memimpin Golkar kala itu tiba-tiba “mati kutu” tak ada yang membantu: ke mana para aktivis HMI? Nah, dalam konteks rebutan capres Golkar menunjukkan bahwa posisi JK juga belum aman, begitu pun dengan Sultan.

Secara riil politik, Megawati Soekarnoputri juga masih menunggu hasil pemilu legislatif; apakah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh suara seperti pada pemilu 2004 hampir 20% sehingga tak sulit maju nyapres hanya dengan menggandeng partai kecil. Masalahnya, apakah PDIP mampu mempertahankan suara sementara partai-partai baru yang lahir dari “rahim PDIP” juga akan menggerogoti suara PDIP.

Jadi, masing-masing kandidat capres masih risau untuk merebut tiket capres. Siapa yang bakal menjadi kandidat presiden 2009? Apalagi, alat ukur untuk memprediksi kemungkinan perolehan suara partai politik dan juga perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan berbagai indikatornya, kian sulit didapatkan dari lembaga-lembaga survei. Pangkal soalnya, lembaga-lembaga survei yang selama ini sudah dikenal masyarakat justru menghasilkan perolehan suara partai politik yang berbeda-beda. Yang unggul dari survei Lembaga Survei Indonesia adalah Partai Demokrat; yang unggul dari survei Lingkaran Survei Indonesia adalah PDIP; dan yang unggul dari survei Indo Barometer adalah Partai Golkar.

Nah, tambah rumit bukan? Karena itu, sabarlah menunggu hasil perolehan suara partai politik pasca pileg. Dari sinilah koalisi pencapresan baru dapat ditentukan: siapa berpasangan dengan siapa dan dengan kepentingan apa. Shodiqin [Polemik, Tahun I, Edisi 2, 9-15 Maret 2009]

Label:

0 komentar: