Menambang “Emas” di Hutan Bakau

Penunggu mangrove itu bernama kepiting bakau. Pada mulanya ia dianggap sebagai pengganggu, kini kehadirannya diburu.

Capit kepiting berwarna kehitaman itu kerap membuat pematang tambak bocor. Para petambak pun marah dan menempatkan kepiting bakau sebagai hama yang mengganggu pertambakan mereka. Namun, setelah mereka tahu bahwa kepiting bakau merupakan komoditas perikanan pantai yang memiliki nilai ekonomi tinggi, keberadaan si “hitam” yang lezat itu banyak diburu.

Menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting bakau maupun rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat mencapai 450 ton per bulan. Belum lagi permintaan dari negara-negara lain seperti Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa. Total permintaan kepiting tak kurang dari 1.900 ton per bulan.

Kepiting bakau diekspor dalam bentuk segar-hidup, beku maupun dalam kaleng. Di luar negeri, kepiting menjadi menu bergengsi di restoran. Pada musim-musim tertentu harga kepiting melonjak karena permintaan meningkat tajam pada perayaan imlek dan lain-lain. Harga kepiting hidup di tingkat pedagang pengumpul dapat mencapai Rp100.000 ribu per kg yang pada hari biasa hanya Rp40.000 untuk grade CB (betina besar berisi/bertelur, ukuran >200 g/ekor) dan Rp30.000 untuk LB (jantan besar berisi, ukuran >500g- 1.000g/ekor). Kepiting lunak/soka harganya dua kali lipat lebih tinggi. Sementara di luar negeri, harga kepiting bakau grade CB dapat mencapai U$8.40-U$9.70 per kg sedangkan LB dihargai U$6.10-U$9.00 per kg. Ukuran >1.000g (super crab) harganya mencapai U$10.5 per kg.

Mengapa kepiting diminati pasar dunia? Ternyata daging kepiting yang lezat itu menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan.

Meski mengandung kolesterol, kepiting bakau ini rendah kandungan lemak jenuh: sumber Niacin, Folate, dan Potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom, serta meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri.

Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting buat pertumbuhan dan kecerdasan anak.

Pada rajungan, kandungan asam lemaknya lebih tinggi lagi. Dalam 100 gram daging rajungan mengandung 137 mg Omega-3 (EPA), 90 mg Omega-3 (DHA), dan 86 mg Omega-6 (AA). Untuk kepiting lunak/soka, nilai nutrisinya sangat tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid: terdapat pada kulit, yang semuanya dapat dimakan.
Tak ada yang dibuang dari kepiting, sebab kulit kepiting pun dapat diuangkan. Pasar luar negeri menerima kulit kepiting dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid. Industri-industri di sana memanfaatkannya sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai anti virus dan anti bakteri, serta digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar. Manfaat lain, kulit kepiting dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang murah dan aman.

Sayangnya, permintaan pasar yang tinggi tak sebanding dengan populasi kepiting bakau. Ekspor yang terus meningkat: 12.381 ton (2000) dan 22.726 ton (2007), belum dapat dikatakan mampu memenuhi permintaan yang terus membesar. Apa solusinya? Menurut Kepala Risert Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Indroyono Soesilo Sudarman, “Dengan budidaya, ketersediaan kepiting dapat berkesinambungan sehingga permintaan luar negeri dapat dijamin.” Jadi, mari membudidayakan kepiting di mangrove (hutan bakau) yang masih luas. Dengan begitu, kita dapat menambang “emas” di hutan bakau! Shodiqin

Pontang Panting Demi Kepiting
Tak jauh dari Batu 24, kira-kira sepanjang 5 kilometer melewati hamparan pohon kelapa, terdapat hutan bakau seluas 20 hektar milik Sukardi (42). Untuk memasuki hutan bakau yang berada di pinggir laut di kecamatan Gunung Kijang itu, Anda harus menumpang perahu yang disediakan oleh sang pemilik mangrove tersebut. Dan dalam hitungan menit, Anda akan sampai di rerimbunan mangrove yang menawarkan irama cipak cipuk dari suara air laut yang ombaknya menerpa setiap pohon-pohon bakau.

Di situlah Sukardi dibantu kedua anaknya, Muhajir (18) dan Muhandri (11) membudidayakan kepiting bakau. Hampir sepenuh waktu, Sukardi menghabiskan kegiatannya bersama kepiting-kepiting yang ia pelihara, kecuali pada saat mengantar Muhandri bersekolah di salah satu Sekolah Dasar yang berada di daratan di Desa Gunung Kijang.

Sukardi memulai membudidayakan kepiting bakau pada Maret 2008, dengan total biaya Rp 80 juta. Uang itu digunakan untuk membeli perlengkapan membuat petak berukuran 12X12 meter sebanyak tiga buah dan kotak 15X5 dua buah, rumah papan berukuran kecil dan jalan dengan papan yang memanjang menuju lokasi pembudidayaan kepiting bakau.

Petak yang dibuat berkotak-kotak tersebut dibuat dari batang-batang kayu lonjoran yang tahan air. Di dalam setiap petak setinggi dua setengah meter diisi bibit kepiting bakau sebanyak 400 ekor. “Saat itu satu kilogram bibit berisi 10 ekor harganya Rp 20 ribu,” katanya.

Selama enam kurun enam bulan, kepiting bakau milik Sukardi sudah tumbuh membesar hingga rata-rata beratnya mencapai 6 ons per ekor dengan harga per kilogram Rp 80 ribu. “Hanya sedikit saja jumlah kepiting bakau ini yang beratnya 3-5 ons. Yang ini dijual laku Rp 60 ribu per kilogram,” ujarnya.

Pria dua anak ini mengerti betul bagaimana memelihara kepiting bakau, sehingga bibit yang mati, tak hidup sampai masa panen cuma 17 ekor per kotak. Dari 2.000 ekor kepiting yang dibudidayakan ini, yang mati hanya 85 ekor. Jadi, Sukardi memanen sebanyak 1.915 ekor atau sekitar 9.00 kilogram, bernilai nominal sekitar Rp 70 juta. Kalau setengahnya dikurangi untuk biaya operasional dan kebutuhan keluarga, maka hampir separuh modal Sukardi sudah balik. “Dalam hitungan saya, dalam dua kali panen sudah untung bersih lah kira-kira Rp 30 juta,” kata Sukardi, yang ditinggal ayahnya, Nartim, karena meninggal, sewaktu remaja.

Kini Sukardi sudah dua kali memanen hasil budidaya kepiting bakau. “Untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak sangatlah cukup,” jelas Sukardi, masih mengurus ibunya yang berusia 84 tahun. Jadi, pontang panting Sukardi, dari darat ke mangrove dan sebaliknya, membawa berkah rezeki cukup melimpah.

Anda tertarik bagaimana cara membudidayakan kepiting bakau? Sukardi akan senang hati berbagi: silakan dating ke Kampung Galang Batang, Desa Gunung Kijang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Jarak tempuh kira-kira cuma 29 kilometer dari Kota Tanjungpinang. Shodiqin [Polemik, Tahun I, Edisi 2, 9-15 Maret 2009]


Label:

0 komentar: