Jaipongan Tanpa Gitek, Geol, Goyang?

Ketika isu pelarangan jaipongan berembus kencang, istilah gitek, geol, goyang, juga mencuat populer. Mungkinkah jaipongan tanpa 3G?

Sebagian pelaku seni di Jawa Barat menyoal wacana pengurangan unsur 3G (gitek, geol, goyang) dalam jaipongan. Koreografer muda, Datam Ali Topan, menyatakan bahwa esensi dan nilai seni tari jaipongan meliputi unsur 3G tersebut. Seni tari jaipongan tidak bisa disamakan dengan seni tari tradisional Sunda lainnya, seperti tari klasik.

“Jika seni tari jaipongan dikurangi unsur 3G-nya, lama kelamaan maka seni tari ini akan hilang. Padahal seni tari jaipongan merupakan salah satu ikon seni Jawa Barat dan selama ini turut membawa nama harum Jawa Barat,” ujar Topan awal Februari lalu di Bandung.

Hal senada disampaikan staf pengajar STSI Bandung Mas Nanu Muda, yang menyoroti bahwa telah terjadi kemunduran andai unsur 3G dalam seni jaipongan dihaluskan. “Kalau ada instruksi semacam itu, berarti telah terjadi pemasungan kreativitas seniman, khususnya seniman tari jaipongan,” katanya.

Benarkah penghalusan 3G memasung kreativitas? Pencipa jaipongan Gugum Gumbira menepis anggapan tersebut. Kalau persoalan halus, mungkin mereka sebagai apresiator meningkatkan nilai-nilai yang tidak terlalu vulgar. Jadi yang dikatakan oleh yang meributkan 3G, sebenarnya tanpa itu pun sejuta gerak masih bisa menggambarkan apa saja. Tidak masalah dan sangat gampang memperhalus gerakan dalam bahasa tubuh atau gesture.

“Saya berkarya sudah halus dari awal. Kemungkinan sekarang ada pengadopsian oleh murid-murid saya, atau siapa saja yang bisa jaipongan. Terus mereka mengeksploitasi gerakan apa saja seperti gerakan erotis, itu tanggung jawab mereka. Kalau cuma menghaluskan, menambah lebih bagus kenapa nggak, saya setuju saja. Kalau selama ini tidak dianggap vulgar, saya setuju aja untuk dihaluskan,” kata Gugum.

Pencipta jaipongan ini lalu menjelaskan bahwa komentar Mas Nanu kurang benar. Menurut Gugum, Mas Nanu bukan ahli jaipongan. Jadi kalau dia bertahan bahwa kalau tidak ada 3G itu bukan jaipongan, itu salah. “Jaipongan itu berjuta-juta gerak, bukan hanya tiga gerak. Tapi kalau dia sudah mengarah pada suatu erotis yang sangat mengeksploitasi sensual of.., itu mungkin di Jawa Barat kurang kena, nggak tau kalau di luar negeri,” jelasnya.

Dalam jaipongan, gerak pantat berputar, tidak goyang. “Jadi mungkin ada komunitas yang keterlaluan, goyangnya terlalu erotik. Ya, saya setuju kalau memang itu diperhalus, kenapa nggak? Semua koreografer yang namanya punya ilmu apa pun bisa. Jadi kalau terlalu mengeksploitasi gerak goyang yang sangat erotis, saya juga kurang setuju,” jelas Gugum lagi.

Jadi, kata sang maestro, jaipongan dengan mengurangi gitek, geol dan goyang, bukanlah suatu hal yang terlarang. Ada sejuta kreativitas yang bisa membuat jaipongan tidak memunculkan gerakan erotis. Jaipongan yang Gugum ciptakan, sejak awal sudah sopan dan tidak menonjolkan gerakan erotis.

Jaipongan hasil karya Gugum adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari sebuah kreativitas. Perhatian Gugum terhadap kesenian rakyat menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan gerak tari tradisi yang ada pada kliningan, bajidoran atau ketuk tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan ragam gerak mincid dari beberapa kesenian tersebut membuat inspirasi sang maestro mengembangkan kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.

Kemunculan tarian Gugum pada awalnya disebut ketuk tilu perkembangan. Karya pertama Gugum ini masih kental dengan warna ibing ketuk tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya. Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong”, keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dan, dari tarian itu muncul beberapa nama penari jaipongan yang tersohor seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi.
Sejuta gerak tak bertepi, namun berjaipongan tak kudu mengumbar gitek, geol dan goyang. Shodiqin [Polemik, Tahun I, Edisi 1, 2-8 Maret 2009]


Label:

0 komentar: