Gejolak Capres Beringin

Unjuk kekuatan bahwa Golkar adalah partai besar tak bisa ditunda lagi. Meski sebenarnya segala sesuatu menyangkut pemilihan umum (legislatif) tak menentu berapa perolehan suara yang bakal didapat, namun memunculkan tekad partai bergambar beringin harus majukan capres adalah sebuah keberanian.

Berani karena Partai Golkar memang besar jika dilihat dari perolehan suara pemilu legislatif pada 2004, yakni 24 juta suara (21%). Dengan begitu, capres dari Golkar sudah dapat memenuhi syarat minimal maju capres, yakni terpenuhinya 25 persen perolehan suara nasional atau 20 persen kursi DPR.

Masalahnya kondisi kepartaian di Indonesia telah berkembang, terutama dengan munculnya partai-partai baru yang didirikan oleh bekas pengurus teras partai beringin. Sebut saja Partai Gerindra dan Partai Hanura yang debutnya kian moncer di ranah publik. Dari dua partai ini saja, Golkar bisa kehilangan suara yang jumlahnya cukup mengganggu. Coba hitung kalau dari 10 juta anggota Partai Gerindra menghasilkan angka riil 3% suara saja dari pemilih Golkar yang berpindah pilihan dan Partai Hanura mampu mengorganisir beberapa persen dari suara yang ditangguk Wiranto-Wahid pada Pilpres 2004 yakni 26.286.788 (22,154%), taruhlah 3% saja yang datang dari pemilih Golkar, maka setidaknya suara Golkar tergerogoti sejumlah 6%.

Jika ini terjadi, artinya perolehan suara Golkar tergerogoti sampai 6%. Berarti, Golkar memerlukan koalisi dengan partai lain agar dapat mengusung capres. Peluang ini mulai dijajaki dengan kunjungan JK ke DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pantun berbalas pantun dan saling puji antara JK-Tifatul Sembiring-Hidayat Nur Wahid meluncur di acara silaturrahmi itu. Isyarat menggandengkan JK-Hidayat pun menyembul.

Seberapa jauh isyarat ini akan menjadi nyata? Jawabnya tak sekadar berhenti pada soal ketersediaan PKS berkoalisi dengan Golkar. Tetapi juga, apakah pada akhirnya Golkar akan mengusung JK sebagai capres. Soalnya, gejolak beringin mengusung capres sendiri itu pun masih penuh dinamika: persaingan antar faksi di dalam tubuh Golkar belum mengerucut untuk bersatu mengusung nama calon. Nama JK muncul lebih karena dia mewacanakan Golkar mau mengajukan capres, dan bukan berarti orang yang dimaksud adalah JK. Nama Sultan lebih populer di tengah masyarakat, dan itu berarti Golkar akan rugi jika mengabaikan kekuatan Sultan. Mengacu pendapat Sukardi Rinakit, Sultan lah yang mampu menyatukan Golkar.

Golkar berani mengusung capres karena partai ini memang memiliki kader yang layak diusung menjadi capres. Ada JK, Akbar Tandjung, Surya Paloh, dan Sultan. Lantas, siapa nama yang bakal diusung? JK masih punya peluang karena dia berpengalaman memimpin pemerintahan sebagai Wakil Presiden, sementara Akbar Tandjung dan Surya Paloh belum tampak menonjol. Namun, pada dasarnya semua kandidat berpeluang menjadi capres. Hanya saja, menurut beberapa survei peluang JK dan Sultan lebih besar.

Lalu, apakah gejolak capres beringin adalah gejolak JK untuk maju capres? Jika jawabannya iya, maka JK harus berani mengambil langkah cepat sejak sekarang. Karena dia yang pegang kendali puncak di Golkar, tak sulit rasanya mengendalikan partai beringin agar nama yang muncul diusung Golkar adalah JK. Sebaliknya, andai hasrat mencapreskan JK datang dari desakan orang-orang beringin yang berpetualang politik, maka hati-hatilah JK. Sebab pasangan SBY-JK masih lebih unggul dari pasangan mana pun. Jadi, andai JK memaksakan diri maju capres, bisa jadi tak hanya JK yang gigit jari tapi juga Golkar. (shodiqin) [Polemik, Tahun I, Edisi 1, 2-8 Maret 2009]


Label:

0 komentar: